Nahu adalah sebuah diskursus ilmu yang membincang seputar sintaksis dalam Bahasa Arab. Ia adalah sebuah sistematika keilmuan yang wajib dipelajari oleh setiap diri yang memutuskan untuk terjun ke dalam pelajaran yang bersifat ke-Arab-an atau (lebih umumnya) dalam bidang agama. Kaidah-kaidahnya menjadi rujukan pokok bagi mereka dalam memahami teks berbahasa Arab (terlebih al-Quran dan Hadits). Sehingga, untuk dapat memperoleh pesan secara sempurna dari teks tersebut, diperlukannya pemahaman yang cukup matang terhadap kaidah-kaidah Nahu itu sendiri.
Terlepas dari urgensitas Nahu sebagai panduan memahami bahasa Muhammad, dewasa ini, sering kali saya menemukan beberapa orang yang mempelajari Nahu, namun hanya sebatas membaca, menghafal, memahami, kemudian mengaplikasikan kaidahnya begitu saja. Hal tersebut dikarenakan orientasi terbesar yang ingin mereka capai dalam belajar Nahu hanya sebatas “mampu membaca kitab”. Mungkin tujuan tersebut terdengar sangat wajar. Namun, cara berpikir yang sedemikian rupa nyatanya berhasil membangun sebuah asumsi bahwa Nahu hanyalah sebuah ilmu stagnan, yang mana kaidah-kaidah statisnya merupakan sesuatu yang bersifat mu’thâ atau terberi begitu saja. Atas beberapa catatan inilah, kiranya diperlukan sebuah ulasan yang mampu menjadi antitesa terhadap asumsi-asumsi di atas.
Dialektika Basrah dan Kufah
Pada dasarnya, untuk mencapai derajat “diskursus”, sebuah ilmu pasti telah melalui proses diskusi yang cukup panjang dengan ragam metode yang dimilikinya. Begitu juga dengan Nahu. Ia pun memiliki metode dalam proses pembuatan kaidahnya. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah metode seperti apa yang digunakan dalam proses pembuatan kaidah tersebut? Ibnu al-Anbari dalam Luma’ al–Adillah menuliskan, “Ketahuilah bahwa mengingkari qiyas (analogi) dalam Nahu adalah perkara yang tidak sah, sebab Nahu (seluruhnya) adalah qiyas”. Jika saya maknai, ungkapan di atas adalah upaya Ibnu al-Anbari untuk menegaskan bahwa kaidah-kaidah Nahu merupakan istinbat-istinbat hukum yang dilahirkan dari proses analogi. Hal ini juga diafirmasi oleh para ahli Nahu (yang selanjutnya saya sebut dengan nuhât) seperti Imam Suyuthi dan Amin Khuli. Kemudian, untuk membahas metode analogi di dalam Nahu, saya lebih terkesan untuk menggunakan kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Imam Suyuthi dalam karangannya yang berjudul Ushûl al–Nahwiy. Imam Suyuthi menyebutkan bahwa ada dua metode lain yang digunakan oleh para nuhât sebelum menggunakan proses penganalogian, yakni proses audiolingual dan konsensus.
Selain menjadikan al-Quran, Hadits, maupun syair-syair jahiliah sebagai rujukan observasi primer, para nuhât juga menggunakan kalam dari fushaha Arab sebagai bahan observasi sekunder. Proses membaur, mendengar dan kemudian mengamati kalam fushaha Arab inilah yang dinamakan dengan proses audiolingual. Proses ini juga yang menjadi pemicu persaingan masyhur antara aliran Basrah dan Kufah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sudut pandang dalam mengukur standar kefasihan orang Arab. Dalam masalah ini, literatur kita menilai bahwa aliran Kufah kurang akurat dalam proses penggalian data atau istidlal. Sebab, mereka tidak membatasi lapangan penelitian layaknya apa yang dilakukan oleh aliran Basrah. Yang artinya, para nuhât Kufah lebih menerima dan mengafirmasi setiap kalam orang Arab, dan kemudian menjadikannya sebagai dalil. Mereka berkeyakinan bahwa bahasa Arab adalah sebuah warisan turun temurun yang tidak mungkin terasimilasi, pun dikotori oleh bahasa lain. Sehingga rasanya apa yang mereka dengar dari orang Arab tidak perlu diverifikasi lagi.
Padahal, jika dilihat dari historisasi awal gagasan lahirnya Nahu, salah satu faktornya adalah kepesatan perluasan wilayah Islam yang menimbulkan percampuran bahasa dari orang-orang non-Arab, dan kemudian merusak bahasa Arab itu sendiri. Berangkat dari beberapa kekeliruan dalam pelafalan orang Arab inilah Sayidina Ali yang menjadi khalifah kala itu meminta Abu Aswad al-Duali untuk mengkaji gramatikal serta membuatkan kaidah untuknya (pen; bahasa Arab). Berangkat dari jejak historisasi inilah, nuhât Basrah mengambil langkah yang berbeda dari Kufah. Mereka lebih membatasi lapangan penelitian mereka, yakni dengan hanya meneliti beberapa kabilah saja yang dianggap masih memiliki kefasihan yang kuat. Seperti Kabilah Qis, Tamim, Asad, Huzayl, dan sebagian dari Kinanah. Pun perkataan dari beberapa orang yang dianggap fasih. Tersebab, perbedaan sudut pandang inilah yang di kemudian hari menjadi penyebab ditemukannya beberapa perbedaan istinbat hukum yang dilahirkan dari proses konsensus mereka.
Konsensus dalam Nahu juga layaknya konsensus yang terdapat dalam Fikih. Jika konsensus dalam Fikih adalah wadah pemufakatan para fukaha untuk mencari hukum yang belum termaktub baik di dalam al-Quran maupun Hadits, maka konsensus dalam Nahu pun wadah pemufakatan para nuhât dalam mencari al–hukm al-‘âm (hukum umum). Sehingga, setiap hukum yang menjadi hasil kesepakatan bersama dalam konsensus tersebut dianggap sebuah keabsahan yang layak untuk diaplikasikan. Sebagai contoh adalah bantahan dari Abu Abas terhadap legislasi hukum pendahuluan khabar laysa ( ليس ) dari lafaznya. Kemudian ia dibantah oleh salah seorang ahli Nahu yang mengatakan bahwa legislasi hukum tersebut telah diafirmasi oleh Sibawaih maupun nuhât Kufah. Maka, berangkat dari bantahan tersebut, pendahuluan khabar laysa dari lafaznya menjadi hukum yang sah bagi kedua aliran di muka.
Metode Qiyas dalam Nahu
Kembali kepada kaul Imam al-Anbari di atas. Penyebutan qiyas secara khusus juga bermakna sebagai himbauan, bahwa proses pembuatan kaidah dalam Nahu tidak hanya sebatas pada konsensus nuhât, melainkan ada proses terakhir yaitu tahap penganalogian setelahnya. Sebagaimana konsensus, laku analogi dalam Nahu juga memiliki kemiripan dengan analogi dalam fikih secara umum, dan kehadirannya juga bertujuan untuk menentukan hukum cabang. Dalam Fikih ataupun Nahu, kita mendapati empat rukun yang menjadi pondasi qiyas. Pertama, hukum asli atau al–maqîs ‘alayh (objek yang digunakan penganalogian). Kedua, hukum far’i (cabang) atau al–maqîs (barang/zat yang dianalogikan). Ketiga, ‘illah (sebab penganalogian), dan yang keempat adalah al–hukm (hukum/hasil penganalogian).
Imam Suyuthi, di dalam kitab yang sama juga memberikan sebuah contoh penganalogian dalam Nahu, yakni pencarian dari hukum nâ’ib al–fâil (subjek pengganti dalam kalimat pasif). Jabatan al–maqîs dalam hal ini dipegang oleh nâ’ib al–fâ’il itu sendiri yang memang memerankan diri sebagai bahan yang dianalogikan. Sedangkan yang menjabat sebagai al–maqîs alayh adalah fâ’il (subjek). Untuk menjadikan fâil sebagai al–maqîs alayh bukanlah sebuah laku tanpa sebab. Hal tersebut dikarenakan keduanya (baik fâ’il, maupun nâ’ib al-fa’il) memiliki ‘illah atau sebab yang sama yaitu dalam hal penyandaran atau al–isnâd. Fâ’il yang merupakan sebuah isim, ia tidak akan memiliki maknanya sebagai subjek tanpa menyandarkan dirinya kepada fi’il (predikat) ma’lûm yang mendahuluinya (kalimat aktif). Hal serupa juga terjadi pada nâib al–fâil, ia akan menjadi ambigu tanpa menyandarkan diri kepada fî’il majhûl sebelumnya (kalimat pasif). Maka, yang dihasilkan dari analogi tersebut adalah nâib al–fâil dihukumi rafa’ sebagaimana hukum fâ’il yang dibaca rafa’.
Usaha Imam Suyuthi dalam menjabarkan metodologi pembuatan kaidah Nahu secara rapi dan teoritis, semestinya sudah lebih dari cukup untuk menjawab asumsi-asumsi keliru di atas. Hal ini semestinya mampu melahirkan paradigma baru bahwa bagaimanapun juga, kesempurnaan kaidah Nahu yang ada di depan kita saat ini bukanlah sebuah “produk siap saji” yang mewujud begitu saja, atau produk seorang Abu Aswad al-Duali saja. Ia adalah hasil campur tangan dari nuhât lainn yang juga memerlukan bentang waktu untuk menyempurnakan kaidahnya.[]