Syiah dalam tradisi penyebutan fukaha dan mutakalim adalah para pengikut Sahabat Ali dan keturunannya. Mazhab mereka dipersatukan oleh keyakinan bahwa urusan imamah bukanlah referendum, melainkan penunjukan langsung dari Nabi. Mereka juga meyakini bahwa Nabi tidak boleh lalai dalam pemilihan ini, ataupun menyerahkannya kepada umat (Syahrastani, 2016, hal. 118) (Ibnu Khladun, 2017, hal. 183). Ditambah lagi, dalam perihal iman, mereka mensyaratkan kemaksuman seorang imam. Secara umum, pokok ajaran mazhab Syiah hanya berkutat pada urusan imamah. Sehingga tidak mengherankan jika Abu Zahrah mengidentifikasi Syiah sebagai aliran politik pertama yang muncul sejak masa pemerintahan Usman (Abu Zahrah, 2020, hal. 39).
Syiah terus berkembang hingga masa pemerintahan Ali, hingga terdapat dari mereka yang membentuk watak ekstrem. Di antara ekstremis Syiah adalah firkah Saba’iyah yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Abdullah bin Saba’ mulai aktif menyebarkan ideologi ekstrem setelah Ali naik kursi pemerintahan. Ia merasa bahwa impian imamah Syiah telah terwujud walaupun jauh dari yang diharapkan. Karenanya, Abdullah bin Saba’ mulai mendeklarasikan keagungan sang khalifah Ali hingga ia secara berlebihan menyatakan bahwa Ali adalah purwarupa Tuhan. Ideologi semacam ini merupakan yang pertama kali muncul dalam sejarah Islam. Bahkan dalam sejarah agama samawi belum pernah ada fenomena menuhankan manusia kecuali perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa. Kini Abdullah bin Saba’ telah mengukir garis baru dalam sejarah agama Islam dengan pemikirannya.
Tulisan ini akan mengungkap bagaimana dan sejauh mana pengaruh Abdullah bin Saba’ mengontaminasi Syiah, sehingga membuat ideologi yang dianutnya jauh dari ajaran Islam yang otentik. Keberadaan Abdullah bin Saba’ dan pengaruhnya bisa diulik dengan analisa sosio-historis ekspansi Islam di Irak pada masa Abu Bakar, hingga berakhirnya pemerintahan khulafa rasyidun. Tindakan Abdullah bin Saba’ berkaitan erat dengan keadaan Islam pasca ekspansi yang berimplikasi pada masa depan agama Islam sesudahnya. Ideologinya bukan semata dipicu oleh ketidakmampuan dalam menerima ajaran Islam. Terdapat banyak faktor kompleks yang saling berkaitan dan hanya bisa ditemukan dengan menganalisis sejarahnya.
Kondisi Irak pasca Ekspansi
Pelacakan historis bisa dimulai ketika Islam melakukan perluasan wilayah menuju Persia. Pada tahun 12 H Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk memandu ekspansi wilayah menuju Irak. Ekspansi ini menyebabkan benturan corak peradaban Arab dan Persia, mulai dari bahasa hingga agama. Sebelum Islam memasuki Persia, pribumi Persia menganut agama Zoroaster yang mana merupakan agama mayoritas di sana. Persia memiliki corak peradaban tersendiri yang berbeda dengan Arab. Misalnya, cara pandang pribumi Persia dalam pemerintahan. Mereka menganggap raja mereka selalu benar, memandangnya seolah seorang pemimpin mesti suci dari kesalahan. Mereka juga berpandangan bahwa mereka adalah orang-orang yang merdeka tidak mau patuh ditundukkan, sehingga memandang sebelah mata bangsa lain.
Imperium Persia terletak tepat bersebelahan dengan Arab. Wilayah Persia bersinggungan di barat daya dengan Arab di kawasan Hirah, bersinggungan di barat laut dengan Syam. Fakta sejarah mengatakan peradaban Persia jauh lebih tua dan lebih mapan, baik secara ekonomi maupun pemerintahan dibanding Arab pada saat itu. Dipastikan juga bahwa kekuatan Persia dapat memberi ancaman terhadap pemerintahan Islam yang notabene masih baru berdiri.
Ekspansi Persia selesai pada masa Umar. Banyak sekali perubahan yang terjadi pasca ekspansi, seperti munculnya generasi baru Persia yang mahir berbahasa Arab dan banyaknya pribumi yang memeluk Islam. Ini selaras dengan kaidah, bahwa bangsa yang menang atas bangsa lain sudah sepantasnya menyebarkan peradabannya (Khalil, hal. 29). Kedatangan umat Islam di Persia seakan meniscayakan perintah untuk memeluk Islam. Fenomena banyaknya mualaf dari pribumi Persia berawal dari peraturan pemerintah Islam yang mewajibkan pribumi untuk memeluk Islam. Mereka diberi pilihan antara menganut ajaran Islam atau membayar pajak sebagai gantinya. Banyak dari mereka yang memeluk Islam dengan kerangka keberagamaan yang telah mereka anut sebelumnya, sehingga menimbulkan corak baru dalam beragama Islam seperti al tasyayu’. Penerapan tasyayu’ dalam Zoroaster adalah dengan memilih untuk mengikuti tuhan yang mana, apakah mengikuti Ahura atau Ahriman, walaupun dikatakan bahwa Ahura akan selalu mendaku sebagai pemenang[1].
Di sisi lain, kaum muslim berada dalam kesibukan politik mengatur dan menata wilayah baru Islam. Jumlah kaum muslim yang kompeten untuk mengajarkan Islam di Persia tidak berbanding lurus dengan luas wilayahnya. Irak yang begitu luas hanya ditinggali oleh beberapa senior saja dari kalangan sahabat. Di antaranya Abdullah bin Masud di Kufah, Abu Musa Al-Asy’ari dan Anas bin Malik di Basrah (Khalil, hal. 112). Tentu menimbang luasnya wilayah, mereka tidak bisa mengawasi perkembangan intelektual Islam di pelosok wilayah Persia. Keadaan ini menyebabkan kaum muslim kurang awas terhadap ancaman kontaminasi pemahaman. Islam lengah untuk mengantisipasi kontaminasi tersebut, sehingga pencegahan tidak sempat dilakukan dengan maksimal.
Kemunculan Syiah
Syiah secara etimologi berarti pengikut, sedangkan secara terminologi adalah pengikut Ali yang mengklaim otoritas khilafah ada pada dirinya. Dalam perjalanannya, Syiah telah mengalami beberapa perubahan pemikiran dan massa. Abu Jamrah mengklasifikasi perkembangan Syiah menjadi tiga fase. Syiah fase pertama adalah Syiah pengikut Ali yang sezaman dengannya. Syiah pada fase ini tidak mempunyai perbedaan apa pun perihal akidah. Mereka adalah pecinta Ali atau orang-orang yang mengetahui kelebihannya secara intelektual. Mereka juga bersepakat mengenai keutamaan Abu Bakar dan Umar atas Ali. Yang tidak disepakati adalah mana yang lebih utama di antara Usman dan Ali. Dalam kasus ini mereka termasuk dalam kelompok Ahlusunah Waljamaah. Namun setelah munculnya Ghulat Syiah, mereka enggan untuk disebut Syiah dan meninggalkan sebutan tersebut.
Kemudian Syiah fase kedua muncul setelah Usman naik jabatan sebagai Amirul Mukminin. Pada fase ini Syiah terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama adalah Syiah yang mengutamakan Ali dari Usman, tidak lebih. Mereka juga merupakan Syiah fase pertama, tapi sebagian mereka mengutamakan Usman dan menjadi Syiah Usman. Meskipun Usman wafat, mereka masih loyal mengikuti Ali ketika ia menjabat. Sedangkan Syiah yang kedua adalah mereka yang mengutamakan Ali dari seluruh sahabat, akan tetapi mereka tidak pernah menisbatkan kezaliman kepada siapa pun apalagi mengkafirkan.
Syiah fase terakhir ditandai dengan kemunculan mereka yang fanatik ekstrem terhadap Ali (Ghulat). Pada fase munculnya ghulat, Syiah terbagi menjadi beberapa golongan. Di antara mereka ada yang moderat. Sedangkan mereka yang ekstremis salah satunya adalah Syiah Saba’iyah, pengikut Abdullah bin Saba’, yang mengklaim bahwa Ali adalah purwarupa tuhan.
Kemunculan Abdullah bin Saba’
Abdullah bin Saba’ yang dikenal sebagai Ibnu Sauda’ adalah seorang Yahudi yang berasal dari Yaman. Ia memeluk Islam pada masa pemerintahan Usman (Al Uud, 1992, hal. 144). Tidak disebutkan secara eksplisit tahun ia dilahirkan, ataupun tahun ia mati. Namun dapat dipastikan bahwa ia masih menjumpai Ali. Muncul perdebatan tentang keberadaan Abdullah bin Saba’ apakah dia benar nyata atau tokoh fiksi belaka. Abu Jamrah mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ merupakan tokoh nyata. Ia juga mengatakan bahwa keberadaan Ibnu Saba’ disepakati oleh ulama terdahulu, baik oleh Ahlusunah ataupun Syiah. Penyebutannya terdapat dalam beberapa teks, seperti syair A’sya Hamdan:
شهدت عليكم أنكم سبئية وإني بكم يا شرطة الكفر عارف
Ada juga perkataan As-Sya’bi:
أول من كذب عبد الله بن سبأ
Selain itu, ada beberapa bukti teks lain yang disebutkan oleh Abdurrahman bin Fahd dalam karyanya yang bertajuk Abdullah ibn Saba’ wa Atsaruhu. Ia mendatangkan bukti dari beberapa literatur mulai dari literatur Ahlusunah, Syiah, hingga orientalis (Al Uud, 1992, hal. 53).
Terdapat perbedaan mengenai dari mana ia berasal, namun teks yang saya temukan sebagian besar menyebutkan bahwa ia berasal dari Yaman. Baladzuri misalnya mengatakan Ibnu Sauda’ berasal dari kabilah Hamdan, sebuah kabilah agung di Yaman. Nama kabilah ini melangit setelah berhasil merebut takhta kerajaan Saba’. Adapun Ibnu Hazm berpendapat bahwa Ibnu Sauda’ berasal dari Bani Hamir. Selain itu dalam tarikh Tabari dikatakan bahwa ia berasal dari Shan’ā.
Tak hanya keberadaan dan asalnya, status bahwa ia Yahudi pun juga diperselisihkan. Levi Della Vida, seorang orientalis asal Jerman, mengatakan bahwa Ibnu Sauda’ adalah seseorang dari kabilah Yaman, maka seharusnya ia tidak Yahudi (Al Uud, 1992, hal. 43). Pernyataan itu dibantah oleh Abdurrahman Badawi. Ia menegaskan bahwa keberadaan Ibnu Sauda’ yang dinisbatkan kepada suatu kabilah Yaman tidak menegasikan statusnya sebagai Yahudi (Al Uud, 1992, hal. 43). Klaim keyahudiannya sudah didukung oleh bukti yang rasional dari bukti sejarah, maka sangat sulit argumen tersebut dibantah dengan hipotesa lain. Abdurrahman bin Fahd mengasumsikan bahwa ajaran Yahudi yang dianut oleh Ibnu Sauda’ merupakan percampuran Injil. Demikian Abdurrahman Badawi, ia juga mengatakan bahwa Ajaran Yahudi Ibnu Sauda’ telah tercampur dengan Kekristenan disebabkan oleh tercampurnya dogma agama yang dianut masyarakat Yaman. Ajaran tersebut lebih identik dengan Yahudiyah al-Falasya (Falash Mura), Yahudi di wilayah Etiopia (Al Uud, 1992, hal. 44). Yahudi Falasya ini menggunakan kitab suci yang sama dengan kitab suci Nasrani, dengan bahasa yang sama pula, yaitu bahasa Ge’ez kuno[2]. Bahkan kitab mereka selain kitab suci pun juga dipenuhi dengan berita yang diambil dari perjanjian baru (Abu Jamrah, 2023, hal. 159). Dari sini sudah jelas bahwa penyandaran status Yahudi kepada Ibnu Sauda’ merupakan kebenaran yang kuat.
Ideologi Ibnu Sauda’
Abdullah bin Saba’ telah menyebarkan paham teologisnya berkali-kali namun tak banyak yang menoleh kepadanya. Kemunculan Ibnu Sauda’ diperkirakan pada tahun 30 H. Ia mencoba mengaspirasikan ide-idenya dengan berkelana di berbagai daerah. Dimulai dari Hijaz, Basrah, Kufah, Syam, dan Mesir. Ia mulai mendapat banyak pengikut di Mesir dengan paham politik yang erat terhubung dengan agama. Di Mesir ia menyerukan kezaliman Usman, dengan mengatakan Usman telah merebut posisi kekhalifahan Ali.
Terdapat banyak perbedaan tentang kepastian ajaran Ibnu Sauda. Berikut adalah buah pikiran yang dinisbatkan kepadanya (Abu Jamrah, 2023, hal. 155):
- Meyakini Ali adalah tuhan
- Klaim bahwa dirinya seorang Nabi
- Klaim bahwa Nabi memilih Ali secara langsung menjadi khalifah (al-washiyah)
- Keharusan Ali menjadi seorang imam
- Menuduh Abu Bakar, Umar, dan Usman telah kafir
- Larangan menyembunyikan identitas (al-taqiyyah)
- Ali belum wafat, ia diangkat ke langit seperti nabi Isa (al-ghaibah)
- Turunnya Ali sebelum hari kiamat untuk memimpin tanah Arab (al-raj’ah)
- Keluarnya Ali untuk menegakkan keadilan setelah dunia berada dalam kezaliman (al-mahdiyah)
- Klaim bahwa imamah tidak berpindah dan berhenti di Ali (al waqf)
Abu Jamrah mengutip Abdurrahman Badawi mengatakan bahwa klaim Abdullah bin Saba’ yang menuhankan Ali hanya ditemukan dalam perkataan Abdul Qahir al-Baghdadi, sedangkan dalam literatur At-Thabari dan Al-Asy’ari tidak (Abu Jamrah, 2023, hal. 157). Namun telah diketahui sebelumnya bahwa ajaran Yahudi yang diterima Ibnu Sauda’ adalah percampuran Yahudi Nasrani. Jika hasil percampuran tersebut menyertakan nama Yahudi, berarti ajaran Yahudi masih dominan daripada Nasrani―sekalipun dengan kitab suci yang sama. Dengan kata lain Nasrani telah mengontaminasi Yahudi Yaman. Dari sinilah berdasar klaim bahwa Ibnu Sauda’ mengontaminasi ajaran Islam dengan ajaran Yahudi, dan bukan Nasrani. Walaupun kontaminasi tersebut dapat dikenali sebagai unsur dari ajaran Nasrani.
Dari transmisi beberapa ajaran Abdullah bin Saba’ terhadap ajaran Islam, dapat dipertanyakan apakah ajaran Islam mereka masih otentik? Telah tampak bahwa ajaran Abdullah bin Saba’ merupakan bidah atau tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Semua ajarannya sangat jauh dari syariat Islam, terutama klaim ketuhanan Ali yang sangat bertentangan. Adapun status keislamannya yang mungkin bisa dicari pembenaran hanyalah keyakinan bahwa imamah adalah hak Ali. Ini dengan jelas dikatakan oleh Al-Ghazali dalam Faysal al-Tafriqah, bahwa keyakinan akan imamah tidak membuat seseorang menjadi kafir. Dalam literatur lain, seperti Al-Farq bayn al-Firaq dikatakan bahwa Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya jelas telah keluar dari firkah Islam dan tidak termasuk dalam 73 firkah dalam hadis Nabi (Abu Mansur, 2016, hal. 44).
Menariknya ajaran Abdullah bin Saba’ banyak diikuti, bahkan ketika Ali masih hidup. Dalam banyak riwayat diceritakan tentang pembakaran pengikut Abdullah bin Saba’ oleh Ali. Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dari Ikrimah, bahwasanya Ali telah membakar sebuah kelompok, kabar ini didengar oleh Ibnu Abbas, kemudian ia menimpali, “Andaikan terjadi padaku, maka aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi bersabda, ‘Janganlah kalian mengazab dengan azab Allah’. Akan tetapi aku akan tetap membunuh mereka seperti yang disabdakan Nabi, ‘Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia’.” Riwayat seperti ini banyak sekali ditemukan dalam literatur ulama klasik. Misalnya Lisan al-Mizan, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Mu’jam al-Ausath (Al Uud, 1992, hal. 215-216). Abdullah bin Saba’ juga mempunyai murid yang menjadi ‘pentolan’ mazhabnya. Di antaranya Kinanah ibnu Basyar at-Tajibi, Amir ibnu Dhabi, Rasyid al-Hijri, al-Mughirah ibnu Sa’id, dan Jabir al-Ju’fi.
Keberadaan murid Abdullah bin Saba’ yang menjadi pentolan mazhabnya, dan validitas riwayat mengenai pembakaran Saba’iyah menjadi bukti bahwa Abdullah bin Saba’ dan ideologinya banyak diminati dan berbahaya. Bayangkan saja, ideologi yang dianut membuat sebagian mereka harus mati dibakar. Bahkan sahabat senior sekelas Abu Bakar pun tidak memperlakukan manusia demikian. Abu Bakar hanya sebatas memerangi kelompok yang murtad atau mereka yang enggan membayar zakat. Sudah jelas bahwa fenomena yang terjadi pada Ali jauh lebih ekstrem daripada yang terjadi pada Abu Bakar.
Peralihan ideologi Syiah pada fase pertama hingga fase ketiga ini sudah sangat jauh. Transisi ini juga terjadi pada cakupan massanya. Telah dijelaskan di atas bahwa cakupan massa dan ideologi Syiah fase pertama berbeda dengan fase kemunculan Abdullah bin Saba’. Alasan transisi ini terjadi dengan cepat adalah wafatnya khulafa rasyidun yang memiliki kekuatan otoritas berlebih dalam urusan pemerintahan. Sejak itu Abdullah bin Saba’ mulai gencar mengaspirasikan ide-idenya. Secara gamblang Abdullah bin Saba’ menyusupkan pemahaman yang berasal dari agamanya terdahulu. Hal ini dapat dibaca dalam pemahamannya mengenai al-ghaibah, pemahaman diangkatnya Isa ke langit ini berasal dari ajaran Nasrani. Ajaran Yahudi yang dianut Ibnu Sauda’―sebelum memeluk Islam―merupakan campuran interpretasi Injil dan Taurat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ideologi yang dianutnya terinspirasi Yahudi Yaman, tempat ia berasal.
Perilaku Ibnu Sauda’ mengindikasikan bahwa ia sebenarnya bukan orang dungu. Dengan sengaja atau tidak, Ibnu Sauda’ telah mengontaminasi ajaran Islam yang berakibat pada pecah-belahnya persatuan umat, baik siyāsah ataupun dīniyah. Usahanya berpindah-pindah wilayah ketika Islam mulai menguasai wilayah baru menjadi salah satu faktor dari keberhasilan pengaruh yang ia sebarkan. Sementara wilayah baru Islam dipenuhi orang-orang beriman lemah dan di sisi lain tokoh-tokoh muslim yang berpengaruh juga sedang sibuk dalam urusan politik, Ia menyebarkan ajaran yang ia klaim sebagai ‘Islam’ tanpa diketahui oleh para mualaf.
Muhammad Nurhakim
Mahasiswa tingkat I Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo
Referensi:
Abu Jamrah, A. A. (2023). Taatsur al Firaq al Diniyah bi al Falsafat wa al Diyanat al Ukhra. Kairo: Markaz Ihya li al Buhust wa al Dirasat.
Abu Mansur, A. Q. (2016). Al Farq baina al Firaq (2 ed.). Kairo: Dar al Salam.
Abu Zahrah, M. (2020). Tarikh al Madzahib al Islamiah. Kairo: Dar al Fikr al Arabi.
Al Uud, S. b. (1992). Abdullah ibn Saba’ wa Atsaruhu fi Ahdast al Fitnah fi Shadr al Islam. Riyadh: Dar Thaibah.
Amin, A. (2015). Fajr al Islam. Kairo: Dar al Syuruq.
Ibnu Khladun, A. b. (2017). Muqaddimah ibn Khaldun. Beirut: Dar al Syarq al Arabi.
Khalil, R. H. (t.thn.). Tarikh al Tasyri’ al Islami.
Syahrastani, M. A. (2016). Al Milal wa al Nihal. Beirut: Dar al Fikr.
[1] Ahura adalah tuhan baik dalam ajaran Zoroaster, Ia dilambangkan sebagai cahaya. Sedangkan Ahriman adalah tuhan jahat yang dilambangkan sebagai kegelapan (Amin, 2015, hal. 136).
[2] Bahasa Semit tertua di Habasyah