Seusai AS menarik pasukan terakhir pada 31 Agustus, rupanya konflik di Afghanistan masih berlanjut. Darah-darah masih bercucuran. Nyawa, lagi-lagi dipertaruhkan. Media-media Timur Tengah semakin ramai membicarakan apa yang sedang terjadi. Namun yang merasahkan saya adalah di hadapan kekacauan itu, apa lagi guna dari kata-kata?
Dalam kaosnya perpindahan pemerintahan, tidak ada yang bisa memastikan bagaimana Afghanistan di masa depan. Namun, barangkali satu hal yang pasti ialah bahwa Afghanistan akan mengarah ke model imperial yang diinginkan Taliban. Islam yang disuarakan, adalah Islam versi Taliban. Syariat yang dilaksanakan dalam tata negara, adalah syariat versi Taliban. Kebijakan pemerintahan soal ekonomi dan pendidikan, tak lain dan tak bukan sepenuhnya di bawah kendali Taliban.
Melihat rentetan peristiwa di Afghanistan, ada kecamuk dalam pikiran saya yang menyisakan kemusykilan serta kecurigaan. Jangan-jangan selama ini kita menikmati Afghanistan sebagai tontonan?
Kita bisa melihat perjalanan konflik di Afghanistan dan Timur Tengah secara umum melalui warta, opini, esai maupun kajian-kajian strategis yang diterbitkan oleh lembaga kajian terkait. Di tengah darurat seperti hari ini, saya merasa bahwa sekian ‘kajian’ soal Afghanistan dan Taliban tadi menguap begitu saja. Seberapa pentingkah kita berkata dan bersuara?
Mustafa Mahmud, di dalam bukunya Nâr tahta al-Ramâd berpesan untuk tidak menyepelekan kata-kata. Dia berpendapat, realitas dunia adalah realitas kata-kata. Hitler adalah kata, karena Jerman sempat mengalami masa kegilaan terbesar dalam sejarah dunia tersebab kata-katanya. Marxisme hanyalah kata. Gamal Abdul Nasir adalah kata. “Bukankah selama dua puluh tahun lamanya kita menjadi tawanan kata-katanya, sehingga kita berperang di Yaman, di Kongo, Mesir bersekutu dengan Rusia ?” Tukas Mustafa Mahmud.
Jika dihitung mundur, empat belas abad yang lalu terdapat sekelompok manusia dari kabilah Quraisy pergi memerangi Romawi, Persia. Mereka berperang dari ujung Persia hingga ke Atlantika. Bangsa Arab yang awal mulanya terasing dan terbelakang itu lantas menjadi bangsa yang besar. Mereka mampu seperti itu karena ditolong oleh al-Quran; kitab suci berisikan kata-kata.
Barangkali demikianlah wajah sejarah. Baik-buruk dan nilai berawal dan digerakkan oleh kata. Kaitannya dengan hal ini, Mustafa Mahmud mengaitkan dengan kejadian Adam yang diajari semua nama oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi. Adam dibekali pengetahuan nama-nama, yang berarti ia berperan sebagai tuan atas kalimat, bukan malah diperbudak olehnya.
Dalam kajian turats bertema i’jaz (kajian ilmu paramasastra Arab; al-ma’ani wa al-bayan) misalnya, pencapaian final para pengkajinya adalah persaksian akan kemukjizatan al-Quran. Sebuah persaksian pada kata yang tak biasa, kata yang tak mungkin ia berasal dari sesuatu yang di muka bumi ini. Mustahil kata itu dicipta atau dikarang oleh manusia. Itu adalah kata yang diturunkan dari langit, diajarkan kepada penduduk bumi sebagai wahyu kepada Rasulullah SAW.
Pada titik itulah al-Quran dimengerti tidak sebagai serangkaian huruf begitu saja. Kitab suci berisi kata-kata itu adalah petunjuk, yang terpahami pula sebagai cahaya makna serta cahaya kesejatian, tempat manusia mencari dan merindukan keselamatan.
“Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan.
Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya.” ( al-Maidah: 15-16)
Kalau boleh berterus terang, apa yang dituliskan oleh para pemikir memang tidak berdampak apapun pada kejadian Afghanistan. Orang laki-laki terpaksa memanjangkan jenggot. Para perempuan masih tetap menangis. Hak asasi manusia tak punya ruang. Perempuan harus pakai burqa. Sebagian dari mereka membakar jeans, jalan-jalan menjadi sepi. Rakyat beragama harus sesuai prosedur penguasa, Taliban.
Meski Taliban berjanji tidak akan mengulangi sikapnya saat memimpin pada rentang 1996-2001, ribuan warganya memilih mengungsi ke negara lain. Mereka memutuskan pergi, rela berjalan ribuan mil demi mendapat kemerdekaan diri. Seorang mantan menteri Afghanistan bahkan tak malu menjadi kurir di luar negeri.
Walau demikian, kita masih perlu memikirkan Afghanistan bukan sebagai tontonan belaka, namun melihat kembali apa yang terjadi menyangkut kemanusiaan di sana. Mempelajari bahwa terkadang keluasan Islam jadi terbatas dan sempit saat berhadapan tafsir dan kekuasaan. Seperti yang dikatakan Mustafa Mahmud, “… kita berawal dan berakhir pada kalimat”, Afghanistan kini menjadi sederet kata yang perlu untuk dibaca dan dipahami di manakah kita meletakkan prinsip-prinsip beragama dan bernegara hari ini.
Editor: Hamidatul Hasanah
Ilustrator: Faiq Irfan