Pada kurun tiga Hijriah, masyarakat Islam ramai menyoal perihal letak i’jaz Al-Quran. I’jaz Al-Quran merupakan istilah muhdas dan muwallad[1] (Syakir, 2002: 8). Persoalan ini mengemuka ketika Islam tidak hanya sebatas menaungi jazirah Arab, melainkan mulai merambah ke berbagai penjuru luar. Basrah yang kala itu menjadi salah satu ladang bercampurnya berbagai arus pemikiran, memunculkan salah satu tokoh Muktazilah yang berupaya menjawab persoalan di atas. Tokoh itu adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar al-Nazzam, yang mengajukan argumen bahwa i’jaz Al-Quran terdapat pada sharfah (pemalingan/pengalihan) dan kandungan Al-Quran tentang kabar gaib.
Jika menilik kembali kehidupan Rasul, akan ditemukan benih dari wacana i’jaz Al-Quran (Al-Hamshi, 1980: 8). Mulanya, kenabian Muhammad menjadi persoalan yang tidak dapat dihindari. Kemudian ketika Al-Quran diturunkan kepadanya, orang-orang beranjak menyangsikan kebenaran Al-Quran. Bangsa Arab yang sudah dibekali kefasihan dalam berbicara, segera menyadari bahwa ayat yang dilantunkan oleh Rasul bukanlah baris biasa yang bisa dianggit oleh manusia. Kisah masyhur Walid bin Mughirah hingga Umar bin Khathab agaknya sudah cukup dijadikan sampel atas bukti kebenaran Al-Quran.
Semasa hidup Rasul, para sahabat tidak menaruh kecurigaan terhadap Al-Quran. Sebagaimana perkataaan Ibnu Mas’ud, “Al-Quran tidak dapat diremehkan, maupun didistorsi”. Seumpama terdapat kejanggalan dalam Al-Quran, mereka bisa menyelesaikannya dengan berkonsultasi langsung kepada Rasul. Jadi, pada masa ini para sahabat tersibukkan oleh Al-Quran yang mereka jadikan sebagai rujukan pertama dalam menghadapi segala persoalan. Dari sini, bisa kita lihat bahwa masyarakat Arab sudah menyadari adanya i’jaz Al-Quran, tetapi mereka belum bisa menjelaskan bukti-bukti i’jaz secara ilmiah.
Meski begitu, bangsa Arab saat itu tidak seluruhnya berada di satu arus. Tetap ada pihak-pihak yang tidak mengimani kedua hal di atas. Contohnya adalah Salam bin Misykam. Akibat ketidakpuasannya terhadap Al-Quran yang menurutnya tidak runtut, ia menuntut Rasul untuk menurunkan kitab lain sebagaimana kitab suci yang mereka kenal sebelumnya. Jika tidak, merekalah yang akan datang membawa kitab lain seperti yang dibawa Rasul (As-Suyuthi, 2015: 332). Dari kisah ini turunlah ayat 88 surah al-Isra’, salah satunya sebagai tantangan kepada orang kafir untuk menandingi Al-Quran.
Persoalan perihal kenabian Rasul dan kebenaran Al-Quran kembali diperbincangkan ketika ekspansi sedang digencarkan oleh Islam. Ekspansi ini tidak hanya menimbulkan percampuran darah, melainkan juga percampuran sistem sosial, pemikiran, hingga kepercayaan (Amin, 2018: 98). Islam menduduki negeri-negeri yang sudah memiliki peradaban dan ajaran sendiri sebelum datangnya Islam. Percampuran ini tentu memiliki konsekuensi terhadap bahasa Arab. Bahasa Arab digunakan tidak hanya oleh bangsa Arab sendiri, melainkan Bangsa-bangsa baru di bawah kekuasaan Islam. Kemurnian bahasa Arab lambat laun mulai menurun, sebab tercampur dengan bahasa-bahasa lain. Hal ini berakibat pada pelemahan dzauq (intuisi) yang erat kaitannya dengan Al-Quran, yang mana diturunkan berbahasa Arab.
Dari rentetan konsekuensi di atas, persoalan-persoalan seputar agama pun menjadi semakin beragam. Dimulai dari tragedi perang Shiffin yang mengakibatkan munculnya berbagai aliran dalam Islam, seperti Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Kemudian merembet pada ranah status perilaku manusia, mereka menyoal dari manakah perilaku manusia berasal. Dari soal ini, terdapat dua jawaban yang saling bertentangan. Yang pertama, perilaku manusia berasal dari diri mereka sendiri. Paham yang kemudian dinamakan dengan Qadariyah ini, digagas pertama kali oleh Ma’bad al-Juhni dan Ghailan al-Dimasyqi. Sementara dari arah yang berlawanan, Jahm bin Shafwan menggagas paham yang kedua, yaitu Jabariyah. Bahwa perilaku manusia sepenuhnya berasal dari Allah. Di sini, manusia tidak memiliki andil sedikit pun terhadap apa yang ia lakukan (Amin, 2018: 312).
Jahm bin Shafwan yang hidup pada akhir masa dinasti Umayyah tidak hanya menggagas pandangan perihal perilaku manusia, melainkan juga perihal sifat-sifat Allah. Ia menafikan adanya sifat-sifat Allah, sebab hal ini akan berimbas pada antromorfisme. Pandangan perihal sifat-sifat Allah ini, nantinya juga akan memengaruhi pandangannya terhadap Al-Quran. Ia beranggapan bahwa Al-Quran merupakan makhluk, bukan firman Allah (Amin, 2018: 312). Akan tetapi, Jahm bin Shafwan bukanlah orang yang pertama kali menggagas pandangan tentang kemakhlukan Al-Quran. Gagasannya ini ia adopsi dari gurunya Ja’d bin Dirham. Sementara Ja’d bin Dirham mendapatkan pandangan ini dari pria Yahudi bernama Thalut. Ia menyampaikan argumentasinya bahwa sebagaimana Taurat, Al-Quran juga merupakan makhluk (Musa, 1997: 20).
Dua jawaban dari persoalan di atas erat kaitannya dengan aliran Muktazilah yang tidak hanya mengadopsi pandangan Qadariyah perihal perilaku manusia, tetapi juga pandangan Jabariyah perihal penafian sifat-sifat Allah dan kemakhlukan Al-Quran. Aliran ini kemudian marak ketika dinasti Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan Islam. Lebih spesifik, ketika al-Ma’mun menjabat sebagai khalifah. Pada masa ini pula, arus pemikiran semakin deras. Kebebasan berpikir dan gerakan penerjemahan yang digalakkan oleh al-Ma’mun menjadi salah satu faktor penting yang melatarbelakangi hal tersebut. Persoalan perihal kenabian Rasul dan kebenaran Al-Quran kembali dipertanyakan oleh berbagai pihak.
Hingga munculnya pandangan sharfah milik al-Nazzam, persoalan i’jaz Al-Quran masih bercampur dengan pembahasan ilmu kalam serta pertentangan antar golongan, khususnya yang berkaitan dengan kenabian dan i’jaz Al-Quran itu sendiri. Seperti Ta’wīl Musykil Al-Qur’ān karangan Ibnu Qutaibah, Maqālat al-Islāmiyyīn karangan Abu al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karangan al-Jahidz hingga al-Intishār karangan Abu al-Hasan al-Khayyath. Kemudian pada akhir abad ketiga Hijriah, muncul karangan berjudul I’jāz Al-Qur’ān fi Nadzmihi wa Ta’līfihi karya Muhammad bin Yazid al-Wasithi (Asy-Syathi’. 2017: 122).
Mahmud Syakir mendefinisikan i’jaz Al-Quran sebagai redaksi singkat untuk menggambarkan tantangan mendatangkan surah yang mampu menandingi Al-Quran dan ketidakmampuan orang musyrik untuk memenuhi tantangan tersebut. Perihal sharfah, jauh sebelum kedatangan Islam, kitab Weda umat Hindu memiliki alur cerita yang serupa. Tidak ada karya manusia yang mampu menyamai atau bahkan menandingi kitab yang berisi tentang sekumpulan puisi ini. Hal ini dikarenakan Brahma, Tuhan mereka memalingkan kemampuan hambanya untuk menandingi kitab tersebut. Keserupaan inilah yang membuat beberapa pengkaji i’jaz Al-Qur’an berkesimpulan bahwa sharfah sebetulnya bukanlah ajaran Islam murni, melainkan adopsi dari ajaran luar, yakni Hindu (Musa, 1997: 358). Klaim ini semakin kuat ketika belakangan diketahui bahwa al-Nazzam pada masa mudanya banyak berinteraksi dengan pemeluk agama lain, seperti Zoroaster, Maniisme, hingga filsuf-filsuf ateis (Asy-Syahrastani. 2014: 66).
Sayang sekali, tidak ditemukan satu pun karangan al-Nazzam yang memaparkan pandangannya perihal i’jaz Al-Quran. Sehingga, kita tidak dapat secara komperehensif mengetahui argumentasinya selain melalui karangan-karangan lain yang mencoba menjelaskan pandangan al-Nazzam. Al-Khattabi memaparkan argumen yang cukup menarik perihal pandangan sharfah ini. Terlebih dahulu ia jelaskan makna sharfah yang dimaksud: bahwa i’jaz Al-Quran ada karena Allah memalingkan keinginan atau hasrat orang Arab untuk menandingi Al-Quran meskipun sebetulnya mereka mampu. Akan tetapi, jika menengok surah al-Isra’ ayat 88,
“قل لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرءان لا يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا.”
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”
Terdapat isyarat bahwa tantangan untuk menandingi Al-Quran, ditempuh melalui upaya dan usaha. Seandainya manusia dan jin berkumpul serta saling bahu membahu membantu, mereka tidak akan mampu menciptakan hal yang serupa dengan Al-Quran. Lalu, bagaimana Allah memalingkan keinginan dan hasrat mereka untuk menandingi Al-Quran, sementara ayat di atas mengandaikan adanya upaya-upaya nyata menandingi Al-Quran, bukan hanya sekedar keinginan dan hasrat?
Al-Baqilani yang datang setelah al-Khattabi, juga menyanggah pandangan tentang sharfah ini. Ia menuturkan bahwa seandainya i’jaz Al-Quran disebabkan oleh sharfah, maka konsekuensinya adalah pandangan bahwa Al-Quran memiliki tingkat kefasihan bahasa yang rendah. Sebab komposisi kefasihan bahasa dalam Al-Quran tidak lagi dibutuhkan. Akan tetapi, realitas menunjukkan yang sebaliknya. Al-Quran turun dengan struktur bahasa yang amat sublim dan indah.
Seandainya i’jaz Al-Quran terdapat pada sharfah, maka tidak akan ditemukan sosok Musailamah al-Kazzab hingga al-Mutanabbi yang berupaya menandingi Al-Quran. Kisah-kisah masyhur mereka cukup menjadi bukti bahwa Allah SWT tidak memalingkan keinginan atau hasrat mereka untuk menandingi Al-Quran. Meskipun upaya-upaya mereka pada akhirnya menemui kegagalannya masing-masing, tetapi keinginan atau hasrat untuk menandingi Al-Quran masih ada dalam benak mereka.
Sebagaimana telah saya sebut di atas, al-Nazzam tidak hanya menyumbangkan pandangan sharfah, melainkan juga perihal kabar gaib. Bahwa Al-Quran mampu memprediksi kejadian-kejadian yang belum terjadi saat turunnya Al-Quran, seperti yang tertera dalam surah al-Rum ayat 1. Menurutnya, kabar gaib yang ada dalam Al-Quran, tidak mungkin dicapai oleh kapasitas manusia (Musa, 1997: 356). Berlainan dengan pandangan sebelumnya, di sini ia menyoroti i’jaz Al-Quran dari segi makna. Yang mana makna tersebut merupakan bagian dari esensi Al-Quran. Akan tetapi, bukankah kabar gaib hanya terdapat pada ayat-ayat tertentu saja dan tidak melingkupi keseluruhan kandungan Al-Quran? Sementara, jika menengok kembali surah al-Baqarah ayat 22, “fa’tū bisūratin min mitslihī” tidak ada batasan secara spesifik, surah atau ayat mana yang harus ditantang (Al-Khattabi, 1976: 24).
Dari sini, bisa kita lihat bahwa al-Nazzam melihat i’jaz Al-Quran terletak di luar esensi Al-Quran. Pandangan sharfah-nya juga tidak mampu dibuktikan secara ilmiah. Selain itu, ia juga hanya menyoroti bagian makna Al-Quran, tanpa memerhatikan lafal dan strukturnya. Akan tetapi, ternyata tantangan yang diberikan kepada bangsa Arab, bukanlah tantangan mandatangkan makna yang mampu menandingi makna yang disampaikan Al-Quran, sebab makna memiliki banyak ragam. Lebih spesifik lagi, al-Jurjani mengungkapkan bahwa i’jaz Al-Quran, hanya terdapat dalam nazm (struktur) tiap kata yang dipakai dalam Al-Quran. Ia berpandangan bahwa tantangan yang diberikan oleh Al-Quran kepada bangsa Arab, berupa tantangan mendatangkan struktur yang mampu menandingi struktur Al-Quran, dengan cakupan makna apapun.
Al-Jurjani menjadikan ilmu nahu sebagai parameter guna mengindikasi efektivitas suatu kalimat. Menariknya, ia tidak hanya berfokus pada pembahasan i’rab dan penentuan harakat akhir semata. Teori nazm ini berfokus pada makna gramatikal yang sangat bergantung pada struktur sebuah kalimat. Sebab, keindahan suatu bahasa, tidak terdapat pada satuan kata parsial, melainkan baru tampak ketika disusun dan dirangkai. Contoh sederhananya, huruf ba’ dalam struktur lafal Bismillāhirrahmānirrahīm tidak bisa mencapai maknanya jika ia berdiri sendiri. Begitu pula kata ism saja, al-rahmān saja, atau al-rahīm saja tanpa disusun dan dikaitkan satu sama lain. Perbedaan struktur dan kedudukan tiap kata nantinya akan menghasilkan makna yang berbeda pula (Al-Jurjani, 2022: 87). Seperti struktur pada ayat Iyyāka naꜤbudu akan memiliki makna yang berbeda ketika posisinya dibalik menjadi NaꜤbudu iyyāka. Yang mulanya bermakna “hanya kepada Engkaulah kami menyembah” menjadi “kami menyembah kepada Engkau”. Jika yang pertama mengindikasikan hanya Allahlah satu-satunya yang disembah, yang kedua mengindikasikan Allahlah yang disembah, tetapi masih ada kemungkinan ia menyembah selain Allah.
Lalu bagaimana kita bisa mengetahui dan mendeteksi karakteristik serta keistimewaan struktur yang terkandung dalam Al-Quran, sehingga mampu membedakan antara satu kalam dengan kalam lainnya? Al-Jurjani memberikan jawaban yang cukup menarik dari persoalan di atas. Ia mengungkapkan bahwa setiap orang yang dibekali akal sehat pasti mampu menemukan keistimewaan ini. Yakni dengan berupaya mencermati setiap kata serta menyingkap kerancuan dan ketidakjelasan sehingga mampu mencapai suatu pemahaman tertentu. Hal ini bisa ditempuh dengan mengamati, meneliti, serta tadzawwuq (merasakan) dengan seksama kalam Arab, bukan hanya sekedar membacanya sekilas.
Upaya mengamati kalam Arab ini, menjadi upaya yang amat sulit. Sebab untuk memahaminya, ulama kita mencapainya dengan banyak membaca. Akan tetapi, tidak ada penjelasan secara tuntas dan terstruktur mengenai teknik pengamatan tersebut. Bahkan al-Jurjani tidak memberikan satu pun contoh dari pengamatan yang ia lakukan. Seakan-akan karyanya yang berjudul Dalāil al-IꜤjāz, merupakan buah atau hasil dari bacaannya terhadap kalam Arab (Musa, 1998: 198). Meski begitu, berangkat dari nazm, al-Jurjani berupaya menunjukkan bukti i’jaz Al-Quran secara tidak langsung. Ia merumuskan teori-teori balaghah dalam karyanya. Pembahasan ꜤIlmu al-Ma’āni dikodifikasikan dalam Dalāil al-IꜤjāz, sementara ꜤIlmu al-Bayān dalam Asrār al-Balāghah. Nantinya, teori ini menjadi perantara untuk memahami kalam Arab (Asy-Syathi’, 2017: 122).
Dalam memahami kalam Arab ini, Mahmud Syakir menawarkan metode menarik, yang dikenal dengan tadzawwuq al-kalam (merasakan kalam). Sayangnya, tidak ada batasan-batasan secara jelas seputar metode ini, juga tidak ada penjelasan langkah-langkah yang bisa diikuti generasi selanjutnya. Barangkali sebab acuan utama metode ini ialah membaca, sehingga menjadikan metode ini memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan tersendiri (Ar-Ridwani, 1995: 62). Akan tetapi, kita bisa menilik fase tadzawwuq yang ia jalani. Metode ini, terbentuk beberapa tahun setelah ramainya peluncuran buku Taha Husain yang berjudul Fī al-SyiꜤri al-Jāhilī pada tahun 1926 M. Sejak itu, ia menghabiskan waktunya untuk membaca kembali seluruh syair Arab, khususnya syair jahili. Ia membacanya dengan detail, mendalam, tanpa tergesa-gesa dalam memahami setiap lafal dan maknanya. Kemudian merasakan keduanya, dengan menyingkap apa yang disembunyikan penyair pada setiap syairnya.
Setelah membaca kembali syair jahili, ia melanjutkan bacaannya menuju syair Arab lainnya serta mengkomparasikan keduanya. Hal ini kemudian membuatnya kecanduan membaca dan merenungkan syair. Semua fase tersebut, membawanya pada pandangan baru, yakni penerapan konsep tadzawwuq tadi pada semua literatur selain syair. Sebab intensitas dalam membaca syair tentu lebih tinggi jika dibandingkan membaca tulisan biasa.
Lebih jauh lagi, ia menuturkan bahwa ia bukanlah pencetus metode ini, melainkan sudah ada yang membahasnya sebelumnya, yakni al-Jurjani. Tadzawwuq dan balaghah pada akhirnya memiliki relasi yang amat kuat. Keduanya sama-sama menjadi upaya untuk menganalisis setiap kata dan strukturnya, sehingga mampu menyingkap makna dan rahasia-rahasia yang ingin disampaikan oleh penulis. Selain itu, keduanya juga berupaya menyingkap gambaran serta karakteristik penulis, melalui gaya nazm (Ar-Ridwani, 1995: 66).
Pada ranah tafsir, al-Zamakhsyari agaknya sejalan dengan teori nazm yang diprakarsai oleh al-Jurjani. Dalam karyanya, al-Kasyāf, ia menafsiri ayat Al-Quran melalui pendekatan balaghah. Meskipun ia tidak meneliti dan fokus pada setiap kata yang ada dalam ayat Al-Quran, tetapi ia membahas cukup detail setiap ayat yang memiliki nazm yang menarik (Muslim, 1996: 53). Sebagai contoh, struktur menarik yang terdapat dalam surah Hud ayat 44 di bawah ini,
“وقيل يا أرض ابلعي ماءك ويا سماء أقلعي وغيض الماء وقضي الأمر واستوت على الجودي وقيل بعدا للقوم الظالمين.”
“Dan difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan)! berhentilah.” Dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, “Binasalah orang-orang yang zalim.”
Ayat ini masih berkaitan dengan kisah banjir yang terjadi saat masa Nabi Nuh. Setelah menenggelamkan seluruh penduduk bumi kecuali yang ada di dalam bahtera, Allah memanggil bumi dan langit. Kemudian memerintahkan keduanya untuk melakukan pekerjaan yang sebetulnya hanya bisa dikerjakan oleh manusia, yakni iblaꜤ (menelan) dan iqlaꜤ (berhenti). Akan tetapi, kedua pekerjaan ini dilimpahkan kepada bumi dan langit, sebagai pertanda bahwa keduanya dianalogikan seperti orang berakal yang tunduk pada kehendak Allah dan tidak menolak perintahnya, sebab mengetahui keagungan-Nya (Az-Zamakhsyari, 2009: 485).
Ayat di atas, memiliki struktur yang unik dan sesuai dengan maknanya. Kesesuaian ini terletak pada empat hal. Panggilan kepada bumi, perintah kepada bumi, pemakaian huruf nida’ Yā pada langit dan bumi, serta peng-idlafah-an dlamir khithb pada air. Yang menjadikan panggilan ini istimewa, bukan hanya sekedar penisbahan huruf nida’ pada bumi dan langit. Sebab panggilan semacam “Wahai bumi, wahai langit!” juga bisa dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, keistimewaannya terletak pada respon bumi dan langit pada panggilan Allah, yang tertera pada lanjutan ayat tadi, waghīdla al-mā’u (dan air pun disurutkan). Yakni kepatuhan langit dan bumi atas perintah Allah (Abu Musa, 1998: 242).
Membuktikan bahwa Al-Quran memiliki daya i’jaz, tentunya sangat diperlukan. Salah satunya sebagai upaya untuk memahami Al-Quran secara komprehensif, juga untuk mampu membedakan antara Al-Quran dengan teks biasa yang lain. Agaknya upaya membutikan daya i’jaz Al-Quran melalui pendekatan nazm akan lebih masuk akal dan bisa dibuktikan secara ilmiah, alih-alih mendeteksi i’jaz Al-Quran melalui sharfah yang diadopsi dari ajaran lain dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.
Nikmatul Istiqomah
Mahasiswi tingkat III Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Kairo
Referensi:
Amin, Ahmad. 2018. Fajr al-Islām. Kairo: Dār al-Ilm wa al-Ma’rifah.
Syakir, Mahmud. 2002. Madākhil IꜤjāz Al-Quran. Kairo, Mathba’ah al-Madani.
Al-Hamshi, Na’im. 1980. Fikrah IꜤjāz Al-Quran. (cet. 3). Suriah: Mu’assasah al-Risālah.
Al-Suyuthi, Imam. 2015. Asbabun Nuzūl. (cet. 2). terj. Andi Muhammad, Yasir Maqashid. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Musa, Muhammad. Al-IꜤjāz al-Balāghī. 1997. (cet. 2). Kairo: Maktabah Wahbah.
Musa, Muhammad. 1998. Madākhil ilā Kitābai Abd al-Qāhir al-Jurjāni. (cet. 1). Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Rummāni, al-Khathābi, Abd al-Qāhir al-Jurjāni. 1976. Tsalāts Rasā’il fī IꜤjāz Al-Quran. Kairo: Dār al-Ma’ārif.
Al-Syāthi’, Bint. 2017. Al-IꜤjāz al-Bayānī li Al-Quran. (cet. 4). Kairo: Dār al-Ma’ārif.
Al-Ridlwani, Ibrahim. 1995. Abû Fihr Mahmūd Muhammad Syakir baina al-Dars al-Adabī wa al-Tahqīq. (cet 1). Kairo. Maktabah al-Khanjī.
Muslim, Mustafa. 1996. Mabāhits fī IꜤjāz Al-Quran. (cet 2). Riyadl: Dār al-Muslim.
Al-Zamakhsyari, Jārullah. 2009. Al-Kasyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ꜤUyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl. (cet 3). Riyadl: Dār al-Ma’rifah.
Al-Syahrastani, Muhammad. 2014. Al-Milal wa al-Nihal. (cet 1). Kairo: Maktabah al-Imān.
[1] Lafal yang tidak dikenal oleh Al-Qur’an dan Hadis (Al-Mu’jam Al-Wasith).