Tiga hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 22 Oktober menjadi istimewa karena diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Perayaan Hari Santri digelar di mana-mana. Dari kegiatan di dalam negeri, sampai di luar negeri, seperti di Mesir misalnya.
Dulu ketika lulus dari sekolah dan melanjutkan ke pesantren, saya masih mendapat stigma “ndeso” dari teman-teman saya sendiri. Tapi sekarang, situasi jadi berbeda. Dengan adanya Hari Santri setidaknya stigma negatif masyarakat atas pesantren sebagai lembaga yang ketinggalan jaman jadi berubah.
Peristiwa 22 Oktober yang kemudian diperingati sebagai Hari Santri Nasional adalah bukti bagaimana barisan santri mempunyai jasa perjuangan yang berdarah-darah demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Waktu itu, melihat adanya ancaman dari sekutu terhadap kemerdekaan Indonesia, Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asyari langsung mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad, bahwa hukum mempertahankan kemerdekaan bangsa adalah fardu ain.
Mengutip dari NU Online, isi fatwa jihad yang disampaikan oleh Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asyari sebagai berikut:
” Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ain yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 Km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja. . .”
Dari fakta perjuangan masa lalu, kita mencatat bahwa NU punya kontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia. Begitu juga penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal negara membuktikan bagaimana NU memiliki cara pandang keislaman yang luwes dan transformatif, khususnya dalam konteks kenegaraan. Saking besarnya jasa NU terhadap negara, maka tidak berlebihan jika ada statement ” tanpa NU, Indonesia sudah bubar”, yang berarti pula ” andaikan tanpa santri, mungkin Indonesia sudah bubar”. Barangkali pernyataan semacam ini terkesan agak narsistik, tapi yang bisa menangkal masyarakat dari paham-paham radikalisme atau Islam trans-nasional ya hanya kalangan ulama, yang dalam hal ini mereka banyak dilahirkan dari rahim pesantren.
Tapi apakah setelah adanya HSN berarti kaum santri sudah sampai dipuncak gunung eksistensinya? Apa tantangan santri di masa kini dan masa depan?
Untuk bisa menemukan jawaban-jawaban ini, kita bisa belajar kepada Gus Dur, yakni tentang bagaimana cara beliau membaca dunia pesantren.
Gus Dur adalah fenomena menarik, atau sebut saja sebagai salah satu bibit unggul yang pernah dilahirkan dari pesantren. Untuk mencari tahu keunggulan seorang santri, kita cukup memosisikan Gus Dur sebagai bukti kongkret atau al-mutsul al-a’la-nya kaum santri.
Gus Dur dengan seperangkat kemajuan berpikir dan pengelanaan intelektualitasnya, ternyata mempunyai pandangan yang optimis dengan dunia pesantren. Dalam pandangannya, kitab-kitab klasik yang diajarkan oleh para kiai di pesantren adalah jaminan paling kuat atas keberlangsungan ” tradisi yang benar, dalam rangka melestarikan ilmu pengetahuan agama sebagaimana yang ditinggalkan kepada masyarakat Islam oleh para imam besar masa lalu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga standar tertinggi ilmu pengetahuan agama yang dapat diraih di masa depan. Hanya dengan cara ini masyarakat Islam mampu menjaga kemurnian ajaran-ajaran agamanya.” (Islam Kosmopolitan hal-141).
Dalam sebuah forum internasional yang mengusung tema pendidikan Islam, yang berlangsung pada tanggal 13-14 Desember 2002 di Beirut Lebanon, Gus Dur memperkenalkan sistem pendidikan pesantren yang masih bagian dari sistem pendidikan Islam. Beliau menjelaskan, pesantren di Indonesia sebagai sebuah lembaga pendidikan yang khas dengan simbol-simbol Jawa, ternyata bisa berlaku sebagai “agen perubahan” yang mempunyai gagasan pembangunan pedesaan (rural development), sebagai pusat pengajaran kemasyarakatan (centre of comunity learning), dan juga mempunyai silabus khusus yang diwarisi dari seorang intelektual besar bernama Jalaluddin as-Suyuti, yakni melalui karyanya Itmam ad-Diroyah yang terangkum di dalamnya 14 cabang keilmuan Islam. (Islamku, Islam Anda, Islam Kita hal-223).
Perihal sikap pesantren sebagai ” agen perubahan” inilah yang mesti dicatat oleh kita semua yang merasa menjadi santri. Gus Dur menegaskan sejak jauh-jauh hari bahwa santri yang menelaah kitab-kitab klasik (kitab kuning) itu juga dituntut untuk mampu memberi responsi atas tantangan modernisasi. Yang dimaksud adalah, bagaimana ia perlu berkecimpung dalam pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya. Dalam tataran ini, target pesantren bukan hanya pembangunan pedesaan saja, akan tetapi diharapkan mampu bersaing dalam memenuhi kebutuhan nasional dan target-target global.