Teori Relativitas kesetaraan massa-energi dengan rumus E = mc² merupakan rumus yang ditemukan oleh Albert Einstein. Siapa sangka, ia mendapatkan pemahamannya tentang ilmu fisika setelah membaca dan memahami salah satu buku Ibnu Sina. Buku itu adalah Al-Bashâir yang pada akhirnya teori relativitas ia temukan.
Siapa yang tak kenal dengan Ibnu Sina, atau orang Eropa menyebutnya dengan Avicenna, ilmuwan muslim yang mahir dalam berbagai macam disiplin ilmu. Berbagai julukan diberikan kepadanya seperti, Hujjah al-Haqq, guru ketiga setelah Aristoteles dan Alfarabi, dan yang paling terkenal adalah Bapak Kedokteran Modern. Ibnu Sina dengan nama lengkap Abu Ali Al-Husain bin Abdullah bin Ali bin Sina, lahir pada tahun 370 H/ 980 M di daerah Afsyanah dekat Bukhara, yang sekarang menjadi Uzbekistan. Ayahnya menikah dengan perempuan dari Afsyanah yang bernama Satareh.
Dalam kitab asy-Syaikh ar-Rais karangan Dr. Mona Ahmed Abu Zaid yang menjadi referensi pada tulisan ini disebutkan, sosok Ibnu Sina menjadi tokoh sorotan berbagai kalangan di belahan dunia. Ibnu Sina disebut sebagai asy-Syaikh dikarenakan keilmuannya yang luas, sedangkan ar-Rais karena ia juga mahir dan berkecimpung dalam dunia politik. Namun yang paling dikenal jika kita melihat sosok Ibnu Sina adalah sisi filsafat dan kedokteran, selain Ibnu Sina juga mendalami 16 macam bidang keilmuan, mulai dari fikih, bahasa, logka, akhlak, ketuhanan (ilahiyyat), sains, falak, meteorologi, kimia, geometri, geologi, klimatologi, politik, ekonomi, syair sampai tafsir Al-Quran.
Masa kecil dan Ketertarikan pada Ilmu Kedokteran
Ibnu Sina lahir pada masa kejayaan Islam dinasti Abbasiyah. Dia hidup dalam keluarga berada dan dikelilingi dengan lingkungan jenius dan cerdas. Ibnu Sina memulai tahapan awal belajarnya dengan menekuni disiplin ilmu bahasa yang meliputi nahu, sharaf, adab dan balagah dengan bimbingan Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al-khawarizmi.
Terkait keilmuannya dalam bidang bahasa, terdapat suatu peristiwa ketika Ibnu Sina sudah berusia matang. Singkat cerita pada suatu majelis Ibnu Sina memaparkan gagasannya perihal bahasa Arab, di tengah majelis dia debat oleh seorang yang dikenal sebagai pakar dalam bidang bahasa dan sedikit orang yang dapat menandinginya, dia adalah Abu Mansur Al-jaba’iy. Untuk bisa menandinginya, Ibnu Sina mulai mendalami ilmu bahasa selama 3 tahun sampai menghasilkan kitab yang berjudul Lisan al-Arabi dalam 10 jilid. Pada akhirnya Abu Mansur Al-jaba’iy mengakui kitab Ibnu Sina dan menganggap tidak ada yang menandingi Ibnu Sina dalam bidang bahasa.
Kembali ke Ibnu Sina kecil, dia melanjutkan tahapan proses belajarnya pada bidang fikih dengan Ismail az-Zahid. Di usia 10 tahun, dia telah menghafal Al-Quran dan menguasai ilmu-ilmu agama Islam (ushuluddin). Kemudian datang ke daerahnya sosok yang dikenal sebagai filsuf, Abu Abdillah An-Natli. Lalu Ayah Ibnu Sina mengundang ke kediamannya untuk mengajarkan filsafat dan ilmu mantik kepada Ibnu Sina. Dimulai dari kitab Isaguji pengantar ilmu mantik, dilanjut dengan buku Euklides yang dikenal sebagai Bapak Geometri, lalu dilanjutkan ilmu astronomi dengan buku Almagest oleh Klaudius Ptolemaeus. Kemudian An-natli melaporkan prestasi Ibnu Sina kepada ayahnya bahwa Ibnu Sina telah menguasai ilmu-ilmu tersebut, dan menyarankan untuk mendalami bidang yang lain. Dari sini Ibnu Sina mulai tertarik mempelajari ilmu kedokteran.
Ibnu Sina sangat tertarik dengan kedokteran, karena menurutnya ada keterkaitan antara kedokteran dengan filsafat yaitu pada aspek kehidupan manusia. Bahwa kedokteran memberikan gambaran tentang keberlangsungan hidup pada manusia. Ibnu Sina mendalami ilmu kedokteran ini dengan 2 guru, Abu Sahl al-Masihi dan Hasan bin Nuh al-Qomari. Menurutnya ilmu kedokteran bukanlah ilmu yang sulit, ia mampu menguasai ilmu kedokteran secara spesialis dalam waktu singkat.
Ibnu Sina diangkat menjadi dokter ketika ada salah satu pemimpin Bukhara bernama Nuh bin Mansur jatuh sakit dan belum ada dokter yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Lalu Ibnu Sina dipanggil dan berhasil mengobatinya. Setelah itu Nuh bin Mansur menetapkan Ibnu Sina sebagai dokter pada usia 16 tahun. Ibnu Sina pun mulai mengajar dan mengarang banyak buku tentang kedokteran. Hingga saat ini salah satu bukunya yang masih menjadi poros dalam ilmu kedokteran adalah Al-Qânûn îi at-Tibb.
Pandangan Ilahiah dan Pengalaman di Dunia Politik
Dahaga keilmuaan Ibnu Sina tidak pernah kering. Ibnu Sina membagi waktunya untuk praktek sebagai dokter pada siang hari dan di waktu malam ia pergunakan untuk membaca. Dari saat itu, Ibnu Sina terus menggali berbagai macam ilmu dengan membaca buku dan mulai mendalami ilmu ilahiyyat (ketuhanan).
Ilahiyah menjadi salah satu keilmuan yang mencolok dari Ibnu Sina bagi kalangan yang berkecimpung dalam dunia filsafat maupun pemikiran. Diawali pembacaannya dari buku Mâ Ba’da at-Thabî’ah milik Aristoteles, Ibnu Sina mengalami kesulitan dalam memahami buku tersebut, sampai ia membacanya hingga 40 kali dan masih belum bisa memahaminya juga. Pada akhirnya Ibnu Sina dapat memahami buku tersebut setelah membaca buku karangan Alfarabi. Namun pemahaman Ibnu Sina mengenai Ilmu ilahiyah dikritik keras oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Al Munqidz min Ad-Dlalal yang terkenal begitu keras terhadap tokoh filsafat Yunani dan juga para pengikutnya, tetapi tidak membenci filsafat sepenuhnya.
Sepeninggalan Ayahnya pada tahun 393 H, Ibnu Sina beberapa kali pindah ke beberapa daerah dan mulai terjun ke dunia politik. Ibnu Sina beberapa kali menduduki jabatan yang berperan dalam pemerintahan dari beberapa daerah. Di Gorgan Ibnu Sina diangkat menjadi penasehat sultan Qabus. Namun terdapat pemberontak yang tidak menyukai kepemerintahannya dan peran Ibnu Sina di dalamnya. Kemudian pemberontak tersebut membunuh Qabus dan mencari Ibnu Sina untuk ditangkap. Mendengar berita tersebut, Ibnu Sina bergegas pergi menyelamatkan diri ke kota Hamedan.
Di Hamedan ia juga diangkat sebagai penasehat dan mentri Dinasti Buwaihi. Namun di kota tersebut ia kembali ditentang oleh kelompok pemberontak dan meminta kepada pemerintah untuk membunuhnya hingga ia hanya mampu bersembunyi di salah satu rumah selama 40 hari. Ketika walikota Hamedan jatuh sakit, ia dipanggil untuk mengobati. Pada akhirnya Ibnu Sina diterima kembali menduduki jabatan sebelumnya. Namun pasca wafatnya walikota, Ibnu Sina kembali diincar sampai akhirnya ia ditangkap dan dipenjara di benteng Ferdegan selama 4 bulan sampai Ibnu sina dibebaskan oleh anak walikota Hamedan.
Akhir Perjalanan Ibnu Sina
Pada usia 45 tahun Ibnu sina pergi menuju ke kota Isfahan. Ketika sampai ia disambut dengan air mata oleh pemimpin Isfahan, Ala’ ad-Daula. Selama 14 tahun, Ibnu sina mendampinginya dan tidak berhenti untuk belajar serta menulis banyak karangannya di sana. Kemudian ia kembali Hamedan dalam keadaan sakit sampai pada awal bulan Ramadhan 428 H/ Juni 1037 M Ibnu Sina wafat pada usia ke 58 di kota Hamedan.
Sampai akhir hayatnya Ibnu Sina menghasilkan buah karya sebanyak 479 karangan, 456 ditulis dengan bahasa Arab dan 23 bahasa Persia. Karya-karya Ibnu Sina masih istimewa sampai saat ini, lebih dari 63 buku yang masih terjaga di perpustakaan dan dijual di toko buku seperti kitab asy-Syifa, al-Qânûn fi at-Tibb, al-isyârât wa at-Tanbîhât, dan masih banyak lagi.
Penulis: Nizar Nurfadillah
Editor: Taufan Fuad Ramadan
Ilustrator: Faiq Irfan