Akal dan wahyu keduanya berasal dari Allah. Keduanya juga sama-sama Allah berikan demi kemaslahatan manusia, menuntun mereka untuk mendapatkan kebenaran. Namun, kedua hal yang memiliki tujuan sama ini dalam praktiknya kadang bertentangan. Di sini saya tidak akan membahas pertentangan antara akal dan wahyu dalam menentukan hal yang baik dan buruk bagi manusia. Persoalan ini akan saya bahas di lain kesempatan. Saya di sini akan membahas persoalan yang lebih cenderung pada akidah. Yaitu, hal-hal yang disebutkan oleh wahyu namun tidak logis menurut akal.
Pada beberapa kasus, wahyu dituduh tidak logis oleh orang-orang ateis. Mereka mengatakan hal itu tanpa memahami peran akal dalam agama. Selain itu, mereka pun tidak sepenuhnya paham akan perbedaan antara hukum logika dan hukum alam atau adat. Dua hal ini akan saya jelaskan kemudian.
Di sisi lain, persoalan berlanjut ketika Asyarian dan Maturidian menyatakan bahwa ketika akal dan wahyu bertentangan maka akallah yang dimenangkan. Dalam hal ini, kaum Salafi menuduh mereka lebih mengunggulkan akal dibandingkan wahyu. Tentu tuduhan ini pun tidak dapat dibenarkan karena sebenarnya ketika akal dimenangkan itu bukan berarti wahyu dibuang dan tidak dipakai sama sekali melainkan pemahaman akan wahyu tersebut yang disesuaikan.
Kaum Salafi yang lain juga tidak menyetujui penyesuaian makna tersebut atau yang lebih sering disebut dengan takwil. Itu karena mereka tidak sepenuhnya dapat memahami logika dengan benar sehingga tidak dapat membedakan mana yang masuk akal dan mana yang mustahil. Sebelum beranjak pada perdebatan seputar kontroversi akal dan wahyu perlu kita pahami dahulu peran akal dalam Islam menurut akidah Ahlussunnahwaljamaah.
Peran Akal dalam Islam
Banyak keterangan dalam Al-Quran dan hadis menunjukkan bahwa akal memiliki peran yang sangat mulia. Allah menjadikan akal sebagai dasar taklif. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, “Catatan amal diangkat (dihapus) bagi 3 macam orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai dia dewasa, orang gila sampai ia dapat memahami.” [Riwayat Imam At-Tirmizhi]. Mereka yang tidak berakal secara otomatis tidak dapat memahami perintah-perintah agama.
Dalam Al-Quran juga banyak disebutkan anjuran untuk mengambil ibrah. Yaitu mengambil pelajaran dari ciptaan-Nya atau dari firman-Nya. Salah satu ayat suci Al-Quran menyebutkan:
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makannya. Kamilah yang mencurahkan air melimpah (dari langit). Kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu, di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, anggur, sayur-sayuran, zaitun, pohon kurma, kebun-kebun (yang) rindang, dan buah-buahan serta rerumputan. Semua itu untuk kesenanganmu dan hewan-hewan ternakmu. (Abasa: 24-32).
Selain itu, Allah juga melarang untuk menyakiti akal, seperti dengan mabuk-mabukan dan judi yang hanya mengandalkan keberuntungan. Dalam suatu riwayat hadis disebutkan, “Rasulullah SAW melarang segala hal yang memabukkan dan melemahkan akal.”
Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi peran akal, menganjurkan manusia untuk berpikir demi mendapatkan kebaikan, dan melarangnya untuk menyakiti akal dan mengabaikannya alih-alih bergantung pada keberuntungan.
Peran Akal dalam Persoalan Akidah
Ketika Islam sangat menghargai akal seperti yang telah disebutkan sebelumnya, artinya Islam mengakui akal sebagai salah satu alat untuk menemukan kebenaran dan kebaikan, walaupun tentunya dengan bantuan wahyu. Lalu, apakah Islam juga mengakui bahwa akal dapat menemukan kebenaran tentang Tuhan?
Sebelumnya, mari kita kembali kepada fungsi dasar dari akal sendiri, yakni untuk mengetahui hakikat sesuatu lalu mengetahui kebenarannya. Ini adalah fungsi dasar yang dijelaskan dalam ilmu mantik. Mengetahui hakikat manusia dan segala yang ia makan, mulai dari biji-bijian, buah-buahan dan sayuran, lalu mengetahui apakah benar semua itu ada dengan sendirinya, semua kinerja ini adalah dari akal. Dan seperti inilah Al-Quran memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, seperti dalam ayat sebelumnya.
Ketika akal dapat menemukan hakikat dan kebenaran sesuatu—atau lebih tepatnya sebagian dari sesuatu karena akal bisa salah dan tidaklah sempurna, namun juga bukan berarti tidak dapat menemukan hakikat atau kebenaran sama sekali terbukti dengan perintah Al-Quran sebelumnya—tentunya akal juga dapat memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan, walaupun tentunya juga tidak dapat menemukannya secara utuh.
Apa yang bisa dan apa yang tidak adalah lahan perdebatan bagi para pemikir. Namun jika itu adalah persoalan yang memiliki kerangka logis yang cukup, tentunya akal dapat berperan dalam hal itu. Misalnya soal Tuhan memiliki tangan. Apa itu tangan? Anggota tubuh dengan bentuk tertentu dan fungsi tertentu seperti mengambil, memukul, mengelu dan lain sebagainya. Ini adalah gambaran tentang hakikat tangan. Lalu, apakah benar hakikat tangan seperti ini mungkin ada dalam diri Tuhan? Belum menggambarkan bentuk dan fungsinya, mengatakan Tuhan memiliki anggota tubuh saja sudah problem tersendiri.
Kerangka berpikir seperti ini sudah cukup untuk diterima sebagai kerangka yang benar dan diterima kebenarannya. Berbeda ketika harus memikirkan hakikat Tuhan misalnya. Tentu gambaran apa pun tentang hakikat Tuhan yang ada dalam akal tidak akan dapat dibenarkan, karena bagaimanapun gambaran Tuhan tidak dapat ditemukan pada makhluknya sementara apa pun yang dipikirkan akal tidak akan pernah lepas dari bentuk-bentuk makhluk.
Perbedaan antara Hukum Logika dan Hukum Alam
Hukum logika dan hukum alam sering kali dianggap sama. Sebagian orang mengatakan ini tidak logis dan tidak masuk akal, padahal sebenarnya itu bukanlah tidak logis, melainkan hanya tidak seperti biasanya. Yang paling sering dituduh tidak masuk akal—bahkan tuduhan ini sudah ada semenjak Nabi SAW menceritakannya, dan bahkan oleh para sahabatnya sendiri—adalah peristiwa Isra dan Mi’raj.
Bagaimana mungkin seorang manusia dapat berpindah dengan begitu cepatnya hanya dalam sebagian malam saja. Belum lagi, naik ke langit dan bertemu dengan para Nabi. Lalu, bertemu dengan Allah SWT. Semua ini bukan sesuatu yang tidak masuk akal, melainkan sesuatu yang tidak biasa. Hal ini bisa diterima akal ketika mengerti bahwa Allah SWT adalah Sang Pencipta. Takdir dan gerak-gerik makhluk ada di tangan-Nya. Sehingga menerima bahwa mungkin terjadi peristiwa di luar hukum alam, berawal dari menerima bahwa hukum alam tersebut memiliki awal dan memiliki pencipta. Apakah mungkin sesuatu terjadi tanpa awal dan tanpa pencipta?
Menjawab Tuduhan Kaum Salafi
Seperti yang telah disinggung di atas, kaum Salafi menuduh Asyarian dan Maturidian lebih mengunggulkan akal daripada wahyu. Tuduhan ini terus saja dilontarkan dan diserukan kepada para pengikutnya.
Sebenarnya tuduhan ini hanyalah kesalahpahaman kaum Salafi dalam memahami ungkapan ulama Asyarian dan Maturidian. Yaitu perkataan Imam Ar-Razi dalam kitab Asas At-Taqdis. Dalam kitab tersebut disebutkan,
“Ketika dalil akli yang bersifat qat’i (definitif, jelas) menyatakan sesuatu, lantas terdapat dalil naqli yang secara zahirnya (nampaknya) berbeda, maka kemungkinan yang terjadi ada empat:
Pertama, kedua dalil adalah benar, maka akan ada dua kebenaran yang saling berlawanan. Hal ini tidak mungkin.
Kedua, kedua dalil adalah salah, maka akan ada dua hal yang salah [sementara tidak ada pilihan lain]. Hal ini tidak mungkin.
Ketiga, makna zahir dari dalil naqli adalah salah, sementara dalil akli adalah yang benar.
Keempat, makna zahir dari dalil naqli adalah benar, sementara dalil akli adalah salah. Hal ini tidak mungkin. Karena kita tidak dapat mengetahui keabsahan dalil naqli kecuali dengan mengetahui menggunakan dalil akli atas keberadaan Tuhan dan sifat-sifatnya, dan bahwa mukjizat dapat menunjukkan bahwa Rasul SAW adalah benar, dan bahwa mukjizat benar-benar terjadi pada Nabi Muhammad SAW
Jika dalil akli yang qat’i (definitif, jelas) tidak diterima, maka segala perkataan akal juga tidak dapat diterima. Maka dalil akli pun juga tidak dapat diterima dalam persoalan akidah. Ketika dalil akli tidak dapat diterima dalam akidah, maka dalil nakli pun juga tidak dapat diterima [karena dalil nakli dapat diterima ketika memiliki akidah yang benar].
Sehingga, tidak menerima dalil akli dan memilih dalil nakli, [sebenarnya] adalah tidak menerima pada dalil akli dan nakli sekaligus. Dan ini jelas mustahil.
Ketika sudah demikian maka kemungkinannya adalah dalil nakli tersebut salah, atau dalil nakli tersebut benar hanya saja yang dimaksud tidak seperti makna zahirnya. Lalu, jika kita mengikuti pendapat yang memperbolehkan takwil maka kita tinggal mencari kemungkinan takwilnya secara terperinci. Namun, jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan tidak boleh menakwil maka kita serahkan maknanya kepada Allah SWT.
Ini adalah kaidah yang digunakan dalam memahami seluruh ayat mutasyabihat.”
Dari sini jelas bahwa perkataan Imam Ar-Razi bukan terkait dalil nakli, akan tetapi terkait makna zahirnya. Apa yang dilakukan oleh Ahlussunah dalam hal ini tidak lain adalah cara untuk menggunakan akal, agar ia dapat—selain memahami teks dengan benar, juga—memahami hakikat alam semesta dan rahasia di baliknya. Sehingga manusia dapat beriman dan mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Editor: Muhid Rahman
Ilustrator: Khairuman