Adakah yang tersisa dari kajian orientalisme setelah mendapatkan kritikan tajam dari berbagai kalangan intelektual Timur dan Barat?
Keterpengaruhan beberapa sarjanawan Muslim dalam rumusan teori dan hasil penelitian orientalis sebagai representasi paradigma keilmuan Islam yang diklaim relevan dengan perubahan zaman menunjukkan bahwa kajian orientalisme belum usai. Beberapa literatur Islam klasik justru terbicarakan sebab ‘diselamatkan’ oleh orientalis. Orientalisme, dengan demikian tak selalu berwajah buruk. Beberapa kritik cendekiawan Muslim atas diskursus ini, dengan demikian, mesti diletakkan dalam kerangka dialog dan sumbangsih intelektual.
Saat membincang orient, oriental, orientalis dan orientalisme, Edward Wadie Said merupakan salah satu tokoh penting yang meletakkan orientalisme sebagai konsep kritik dalam menjelaskan imaji Barat saat memandang Timur. Sosok akademisi berdarah Palestina ini menyibak tabir di balik kerja-kerja orientalis sejak era pra-kolonialisme hingga pasca-Perang Dunia II. Kajian Said atas strategi orientalis dalam mendudukkan Timur sebagai objeknya kemudian disebut sebagai kajian kritik budaya (al-naqd al-tsaqâfiy).
Melalui karya monumentalnya, Orientalism; Western Concepts of The Orient Said membuka bobroknya tradisi orientalisme yang terbangun atas ideologi superioritas terhadap objek yang dianggap inferior. Rasa superior Barat atas Timur ini membuat ‘eksploitasi’ besar-besaran mereka atas objeknya terasa sah, sebab mereka membungkusnya dalam narasi keilmuan, kesusasteraan, dan produksi budaya lain. Secara eksplisit, ia mengatakan dalam Orientalism (Penguin Books, London & USA, 2003), “… Timur bukan sekadar (diasumsikan sebagai objek yang) berdampingan dengan Eropa; ia juga menjadi objek yang (eksplotatif bagi) kejayaan Eropa, kekayaan, dan koloni tertuanya.”
Di Orientalism, Said sampai pada titik kesimpulan bahwa apa saja yang dikatakan oleh orang Eropa tentang Timur tak jarang sarat mengandung isu rasial, imperialis, dan etnosentris. Rasa superior tadi membuat klaim orientalis tampak sah sebab sejak awal terjadi adanya ketimpangan antara subjek dan objek. Ketimpangan ini membuat mereka mengesampingkan objektivitas, atau hanya meneliti apa yang sesuai dengan asumsi awalnya saja. Wajar, jika kemudian orientalis sering kali menjadi alat suksesor bagi kaum penjajah di tanah koloninya.
Klaim subjektivitas orientalis ini bukan muncul tanpa sebab. Di pertengahan abad ke-19, hubungan antara pihak kolonial dan orientalis bersifat kesalingan (resiprokal). Yang pertama terbantu degan hasil-hasil kajian orientalis terkait budaya, kondisi sosial masyarakat dan hal terkaiat ketimuran lainnya. Sedang yang kedua merasa didukung dengan bantuan material selama penelitian.
Perkembangan dan Metodologi
Pada mulanya, orientalisme berkaitan erat dengan sentimen keagamaan. Sebagian kalangan penganut agama Yahudi dan Nasrani menganggap eksistensi ajaran Islam sebagai ancaman yang serius. Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini mengusik ketenteraman hati pemeluk dua agama samawi tersebut. Agama Islam dalam pandangan mereka terlihat sangat lancang lantaran ingin merevisi total keyakinan yang telah lama secara turun temurun mereka ikuti.
Fase ketika Barat menaruh rasa kecurigaan yang tinggi terhadap Islam dengan melakukan penggalian fakta dan kesimpulan tak utuh ini sudah terjadi sejak abad ke-8. Akan tetapi, kajian orientalisme sebagai disiplin keilmuan yang matang, baru bisa dilacak ketika abad ke-16. Fase ini disebut juga dengan tradisi orientalisme pra-kolonialisme. Klaim yang bertujuan untuk memperburuk dan merendahkan citra ajaran Islam cukup ramai di masa ini.
Pada fase selanjutnya, masa abad ke-17 dan ke-18, Eropa sedang mengalami tahapan awal modernitas. Surplus produksi dari pergerakan industri membuat bangsa Eropa tertarik untuk mencari tanah koloni. Mereka membutuhkan suatu daerah dengan sumber daya alam melimpah demi melanjutkan keberhasilan geliat industri. Timur menjadi sasaran pemasaran surplus produksi dari Eropa.
Tujuan awal orientalis di fase ini memang sebagai bentuk ekspansi ekonomi. Namun, lama-kelamaan mereka terdorong untuk menguasai daerah dudukan tak hanya dari segi ekonomi namun juga politik, agama, dan budaya (gold, glory, and gospel). Sampai abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke-20, motif kolonialisme mengalami perselingkuhan erat dengan tradisi orientalisme. Sekalipun, ada juga segelintir orientalis yang enggan bekerja sama dengan pihak kolonial. Masa ini lantas disebut dengan fase kolonialisme.
Fase terakhir ditandai dengan pecahnya Perang Dunia II. Perubahan paradigma orientalis sangat kentara di masa ini. Sebelumnya, paradigma mereka terhadap diskursus keislaman cenderung frontal dan destruktif. Sedangkan di fase ini, muncul beberapa kalangan dari mereka yang beraliran moderat. Motif yang mendasari kalangan orientalis di masa ini adalah tanggung jawab ilmiah. Edward Said memiliki andil penting dalam mengubah wajah orientalisme di fasa ini. Para orientalis atau akademisi Barat menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan penelitian terhadap objek ketimuran. Said bahkan adalah sosok di balik perombakan total kurikulum pendidikan yang diterapkan di beberapa perguruan tinggi Eropa dan Amerika ketika bersinggungan dengan riset Timur dan keislaman.
Dari pengantar sejarah dan konteks kemunculan serta perkembangannya, bisa dikatakan bahwa metodologi orientalisme tidak sepenuhnya didasarkan atas objektivitas. Bayang-bayang superioritas mendasari alam bawah sadar pikiran mereka, sehingga tak jarang hasil temuan mereka atas literatur Islam berbenturan dengan hasil bacaan mayoritas cendekiawan muslim. Misalnya, di antara klaim utama orientalis atas khazanah pemikiran Islam klasik ialah ketidakaslian Timur dalam membangun cara berpikirnya melalui fikih, filsafat maupun tasawuf.
Di soal Hadits, Ignaz Goldziher meragukan orisinalitas dan autentisitas Hadits Nabi. Ia beranggapan bahwa tidak menutup kemungkinan Hadits mengalami kontaminasi atau terpengaruh sedemikian rupa oleh para perawi sehingga rumusan hukum Islam yang belandaskan Hadits Nabi sudah tentu diragukan juga status keabsahannya. Alasannya sederhana: tidak orisinal dari perkataan Nabi.
Kesimpulan Ignaz ini bertentangan dengan pemahaman mayoritas sarjana Muslim. Meski analisis yang ditempuh olehnya pun tidak komprehensif, namun hasil pembacaan Ignaz membangkitkan kembali kajian kritik sanad dan matan sebagaimana mestinya. Orientalisme, dengan demikian masih relevan dan akan terus relevan.
Esai ini disampaikan sebagai pengantar pada launching dan bedah buku Tipologi Nalar Orientalis; Menyoal Inferensi atas Diskursus Islam di Auditorium Griya Jawa Tengah, Hasy Asyir, Kota Nasr pada 01 Desember 2022.
Penulis: Nizam Noor Hadi
Referensi:
- Edward Wadie Said, Orientalism, Penguin Books, London & USA, 2003.
- Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Istisyrâq wa al-Khalfiah al-Fikriah li ash-Shirâ’ al-Hadlârî, Dar al-Ma’arif, Kairo, tt.
- Ignaz Goldziher, al-Aqîdah wa asy-Syarî’ah fi al-Islâm, penj. Muhammad Yusuf, dkk., Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, tt.
- W.C. Smith, Islam in Modern History, Princeton, 4th edition, 1996.