Terdapat fenomena kecenderungan model keberagamaan baru dalam komunitas muslim yang mulai menguat, terutama akhir-akhir ini. Fenomena yang dimaksud adalah pemahaman reduktif dan parsial yang berkembang dalam nalar umat. Jika diamati secara seksama, arah keberagamaan umat akhir-akhir ini menemui salah satu bentuknya yang mewujud dalam pemaknaan dangkal terhadap ajaran Islam, terutama ketika Islam bertemu dengan partikularitas-partikularitas problematika budaya yang dihadirkan oleh perubahan ruang dan waktu dalam sejarah manusia. Deskripsi yang cukup dekat dan akurat dengan perilaku keseharian kita untuk menunjukkan fenomena ini adalah misalnya anggapan masyarakat bahwa agama Islam adalah sekumpulan tatacara ritual ibadah semata, atau seperangkat hukum-hukum fikih saja. Kesimpulan ini juga ditengarai oleh munculnya beberapa penelitian dan tulisan intelektual muslim yang mencoba merespons fenomena tersebut.
Fenomena-fenomena tersebut tentu saja berhadapan dengan sebuah prinsip yang diyakini menjadi karakteristik dasar Islam, yaitu prinsip universalitas Islam. Universalitas Islam dapat diartikan sebagai karakteristik Islam yang ajarannya mampu mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam konteks kehidupan yang senantiasa bergerak mengikuti perubahan ruang dan waktu. Secara normatif, karakteristik ini didasarkan pada berbagai macam argumentasi keagamaan. Kita bisa menemukan kesimpulan ini misalnya melalui adagium yang cukup masyhur “islam salih likuli zaman wa makan”. Kita juga bisa menemukan kesimpulan tersebut dari konsekuensi logis posisi risalah Muhammad sebagai risalah penyempurna agama-agama sebelumnya, yang artinya ajaran Islam diturunkan Tuhan menjadi pedoman hidup umat manusia hingga berakhirnya dunia. Masih banyak argumentasi pendasaran lain, baik argumentasi dengan basis rasional maupun melalui pemahaman teks agama, yang memberikan kesimpulan yang sama.
Sampai di sini, saya kira sudah cukup mudah untuk dapat memahami urgensi menghadirkan kesadaran universalitas Islam dalam nalar umat. Di titik ini pula, kajian terkait universalitas Islam menjadi relevan karena bersinggungan dengan persoalan keberagamaan yang menyehari, namun di sisi lain tidak cukup mendapatkan perhatian yang memadai oleh komunitas muslim. Lalu bagaimana kita menyikapi fenomena demikian? Bagaimana respons intelektual muslim sebagai representasi umat dalam menyikapi fenomena tersebut?
Fenomena-fenomena di atas merupakan “pembonsaian” yang muncul secara tidak sadar, namun sebetulnya secara tidak langsung sudah disadari dan direspons oleh intelektual muslim dari zaman dahulu hingga sekarang. Kita bisa membuktikannya dengan melihat konsep tajdid. Apa yang kita kenal sebagai tajdid tidak lain adalah upaya merevitalisasi dan menghadirkan kembali karakteristik maupun ajaran-ajaran Islam yang kehadirannya mulai terkikis. Upaya tajdid yang dilakukan intelektual muslim tidak lain adalah upaya untuk menghadirkan Islam secara terus menerus sesuai dengan karakteristiknya berdasarkan wahyu Tuhan, agar mampu menjadi pedoman umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Upaya ini secara otomatis juga mencakup revitalisasi dalam konteks fenomena pembonsaian ajaran Islam oleh masyarakat yang telah dijelaskan di atas.
Maka, bisa disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan yang cukup erat antara universalitas Islam dan upaya tajdid. Sebagaimana universalitas Islam adalah karakteristik ajaran Islam yang mencakup sendi kehidupan manusia dan mampu menghadapi partikularitas budaya dan problematika yang hadir dalam sejarah manusia, tajdid adalah salah satu upaya konkret untuk merealisasikannya.
Keterkaitan dan irisan yang ada pada konsep universalitas Islam dan konsep tajdid inilah yang mendorong kajian universalitas Islam dapat dikerjakan melalui pemikiran-pemikiran intelektual muslim yang berkembang dari masa ke masa dalam khazanah keilmuan Islam. Keterkaitan tersebut memungkinkan kita mendekati tokoh-tokoh intelektual muslim yang biasanya dikaji dalam kerangka konsep tajdid atau konsep-konsep terkait lainnya, dengan konsep paradigma universalitas Islam sebagai objek formalnya. Dengan mengikuti kaidah dalam studi tokoh, pembacaan semacam ini tergolong dalam model studi tokoh dengan menggunakan konsep yang tidak mengikuti alur pemikiran tokoh, kendati konsep paradigma universalitas Islam sendiri sebetulnya mempunyai keterkaitan erat dengan alur pemikiran tokoh tersebut.
Penjelasan di atas memberikan sebuah kesimpulan bahwa terdapat konsep paradigma universalitas Islam yang secara tidak langsung hadir dalam proyek pemikiran intelektual muslim dalam khazanah pemikiran Islam. Bagian-bagian partikular pemikiran intelektual muslim secara tidak langsung juga terkait dengan prinsip universalitas Islam. Dengan melihatnya sebagai hubungan antara “bagian-bagian dan keseluruhan”, kepingan-kepingan bagian pemikiran intelektual muslim bisa digunakan untuk melacak konsep keseluruhannya, yaitu paradigma universalitas Islam yang dipahami tokoh tersebut.
Dalam lingkup perkembangan kajian akademik, apa yang ditawarkan oleh buku Lakpesdam PCINU Mesir yang berjudul “Universalitas Islam: Membaca Corak Paradigma Tokoh-Tokoh pilihan” adalah sumbangsih penelitian terkait tema universalitas Islam (yang belum banyak dikaji sebagai tema mandiri) melalui perspektif studi tokoh. Selain itu, buku ini secara otomatis juga memberikan pembacaan baru terkait masing-masing tokoh, dengan menawarkan kebaruan dari sisi pemikiran mereka terkait konsep paradigma universalitas Islam. Hal ini juga sekaligus terkait dengan konsekuensi praktisnya, yaitu pentingnya menghadirkan kesadaran universalitas Islam di tengah keterasingan Islam yang disebabkan oleh pembonsaian ajarannya. Kekayaan pemikiran mereka merupakan pos-pos pertama yang harus kita lirik sebagai langkah awal menempuh perjalanan panjang, menghadirkan kesadaran universalitas Islam secara mendalam yang luput dari jangkauan nalar umat beragama.
Untuk bisa melihat gambaran lebih jelas tentang kajian dalam tema universalitas Islam, saya kira perlu menghadirkan sedikit review terkait penelitian yang sudah membahas tema ini. Sejauh pelacakan penulis, penelitian yang cukup baru terkait tema ini adalah karya Ismail Fajrie Alatas yang berjudul “What Is Religious Authority?: Cultivating Islamic Communities in Indonesia”. Kendati tujuan penelitian Alatas adalah menawarkan konsep yang kokoh terkait apa itu otoritas religius melalui kajian dengan pendekatan antropologi, kesimpulan penemuannya mempunyai keterkaitan dengan pemaknaan universalitas Islam sebagai apa yang ia sebut universalitas konkret (concrete universality).
Dalam kesimpulan penelitian antropologisnya, apa yang universal dalam Islam bukan hanya kesamaan ide sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan praktik nyata artikulasi sunah secara terus-menerus yang dilakukan oleh aktor otoritas religius Islam dalam menghadirkan Islam dan upaya membangun jamaah. Artikulasi sunah ini merupakan bentuk realisasi Islam yang kemudian menjadi sebuah penafsiran atas Islam yang berbeda satu sama lain dan terkait dengan aspek partikularitas tertentu. Namun, perbedaan artikulasi tersebut masih didasarkan pada suatu pondasi pendasaran yang sama, yaitu fondasi era kenabian sebagai foundational past dalam bahasa Alatas.
Terakhir, penulis akan menutup esai ini dengan sebuah pertanyaan berikut, “seperti apa konstruksi paradigma universalitas Islam yang dibangun para intelektual Muslim?” Dalam bahasa yang lebih spesifik, “bagaimana para intelektual muslim merealisasikan prinsip universalitas Islam jika dilihat dari proyek-proyek keislaman mereka?” Kiranya, persoalan yang disarikan melalui pertanyaan tersebutlah yang akan dijawab oleh buku karya terbaru Lakpesdam PCINU Mesir. Selamat membaca!