Abdul Majid Saghir ialah salah seorang pemikir Islam kontemporer yang cukup populer di kalangan akademisi muslim. Dengan gaya bahasa yang tidak mudah, pembacaan objektifnya terhadap sejarah dan genealogi pemikiran Islam patut untuk kita perbincangkan hari ini. Apakah benar misalnya, bahwa ada perbedaan mendasar dan tajam di dalam akidah Muktazilah dan Asyirah? Mungkin tidak jika perbedaan antara keduanya hanya perbedaan secara lafaz saja?
Melalui bukunya, Fiqh wa Syar’iyyat al-Ikhtilâf fi al-Islâm yang akan saya ulas kali ini, Abdul Majid Saghir (selanjutnya akan disebut AMS) mencoba mengkritisi sejarah dialektika pemikiran Islam secara objektif dan non-profan. Melalui buku tersebut, ia menggunakan analisis menyeluruh terhadap teks, sejarah, politik, genealogi, tokoh maupun aliran-aliran.
Berangkat dari Sakralitas Teks
Pertama-tama Abdul Majid Saghir menyoroti kehadiran otoritas teks. Menurutnya, teks-teks primer yang pada awalnya berfungsi sebagai sumber rujukan utama lambat laun bertransformasi menjadi teks-teks sakral. Tidak hanya teks primer, terkadang teks sekunder pun menunjukkan sikap otoritatif. Di dalam tafsir misalnya, ayat-ayat atau Hadits sahih yang tidak sesuai dengan kelompok tertent harus ditakwil.
AMS hendak melaksanakan riset tentang gejala otoritatif tersebut di dalam kajian ilmu kalam. Ia menemukan bahwa di dalam tradisi klasik selalu ada kecenderungan untuk memperebutkan siapa yang berhak disebut Ahlusunah. Tradisi semacam ini bagi AMS merupakan tindakan yang negatif, karena ia akan mengeliminasi yang lain, seperti Muktazilah, Syiah dan Jahmiyah.
Ia beranggapan, penolakan atas tradisi semacam itu telah dimulai oleh Syekh Muhammad Abduh yang mengajarkan pemikiran-pemikiran Muktazilah di al-Azhar. Dari sudut yang lain, muridnya, Mustafa Abdurraziq juga melakukan penulisan ulang tentang sejarah filsafat Islam di dalam bukunya, Tamhîd sebagai kontra-wacana dari Ernest Renan bahwa bangsa Arab bukanlah bangsa yang filosofis dan rasional.
Berangkat dari hal itu, AMS mengkritik para penulis sejarah pemikiran Islam kontemporer yang sejatinya hanya membebek dan mengulang cerita klasik yang akhirnya terjebak pada keberpihakan siapa kelompok yang selamat, yang sepenuhnya mewakili kebenaran.
Ringkasnya, AMS ingin menulis ulang—meski dengan menghadirkan beberapa sampel kajian saja—sejarah pemikian Islam. Ia merasa bahwa kepenulisan sejarah pemikiran Islam di masa silam kurang dipadukan dengan perangkat ilmu-ilmu yang lain, cenderung mengeliminasi corak pemikiran di luar suni dan sering mengenyampingkan rujukan-rujukan Muktazilah. Bagi AMS, model pembacaan semacam itu pasti terkungkung pada taklid dan fanatisme ideologis. Dengan demikian, produk sejarah yang dihasilkan pun pasti bersifat ketunggalan, tak utuh dan tak menyeluruh.
Dari Perselisihan Politis hingga Ideologis
Bagian pertama buku ini mengupas konflik-konflik internal yang terjadi di masa awal sejarah umat Islam. Memang benar, perbedaan merupakan fitrah umat manusia, namun hal yang wajar jika sering kali kita bertanya-tanya, mengapa semua itu bisa terjadi, terlebih, dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka, bahwa perselisihan itu terjadi pada orang-orang yang mulia, para Sahabat, yang notabene sangat dekat dengan Nabi SAW. Apalagi AMS dalam beberapa hal, tak segan-segan menunjukkan penyikapan yang terkesan negatif terhadap salah satu Sahabat, semisal “Sahabat ini menginginkan kekuasaan . . . ”, “. . . yang ini mementingkan kabilahnya . . . ” “. . . ini tak lagi murni urusan agama, tapi politik . . . ” dan lain-lain. Kita yang tidak biasa menerima fakta semacam itu.
Tapi semua peristiwa sejarah di masa silam itu tak sepenuhnya berisi catatan hitam. AMS dengan kritis justru menunjukkan bahwa dengan perselisihan itulah paham-paham keagamaan terbentuk. Lahir istilah-istilah baru yang berkaitan langsung dengan realitas sosial dan politik, seperti peristiwa Tsaqifah Bani Saidah yang setidaknya menghasilan tiga paham: (1) paham jamâ’ah; (2) wahdat al-sulthah, atau kesatuan kekuasaan; (3) paham al-syura, yakni musyawarah yang selanjutnya dijadikan sebagai manhaj dalam menentukan pemberlakuan kekuasaan di dalam agama Islam.
Demikian pula dalam sejarah lahirnya ilmu kalam. Pada saat terjadi perang Siffin, Sayidina Ali didesak oleh pengikutnya untuk menerima tawaran tahkim yang diberikan oleh Sayidina Muawiyah untuk mengakhiri perang. Saat Sayidina Ali mengiyakan tuntutan mereka, tiba-tiba ada sekelompok dari pengikutnya yang menyesal atas perbuatan itu karena telah menghentikan perang. Mereka merasa telah melakukan dosa besar karena mengikuti hukum yang dibuat oleh manusia. Semestinya tidak boleh demikian, karena tidak ada hukum selain hukum Tuhan (la hukma illa lillah).
Mereka mendatangi Sayidina Ali untuk menuntut agar membatalkan akad perdamaian dengan para para bughat tersebut. Mereka berkata: “Kita telah melakukan kesalahan kalau kita menerima hukum yang dibuat dari dua belah pihak. Kita telah bertobat kepada Tuhan, maka tariklah (akad damai) itu, sebagaimana kami telah menariknya. Jika tidak, maka kami akan terbebas darimu.” Kelompok inilah yang dinamai dengan Khawarij. Mereka adalah kelompok pertama yang lahir dalam sejarah aliran pemikiran Islam. Sejak itulah paham-paham keagamaan mulai dibicarakan oleh umat Islam, seperti perkara pelaku dosa besar, apa itu keimanan, relasi status kekuasaan dengan jemaah, keadilan, wajib memberontak terhadap pemimpin zalim, juga hubungan kezaliman dan kekufuran. Pada dasarnya, ilmu kalam dalam sejarahnya jelas-jelas bermuatan politis, bukan akidah atau pemikiran murni. Meskipun demikian, paham-paham inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya ilmu yang merambah sangat luas ke berbagai ranah teologis, yang disebut oleh Imam Abu Hanifah sebagai al–fiqh al–akbar.
Transformasi Ide-ide
Kalau kita melihat sejarah filsafat atau pemikiran apapun, kita akan menemukan sebuah fakta bahwa sebuah ide tidak hadir begitu saja, atau diproduksi tanpa latar belakang atau alasan tertentu.
Socrates ketika berdialog dengan murid-muridnya seputar masalah-masalah filsafat, sebenarnya yang ia maksud adalah menguji mereka untuk mengetahui esensi sehingga bisa dipagari dengan mengunanakan istilah-istilah tertentu. Metode dialog semacam ini meniscayakan hadirnya unsur keterhubungan antar-gagasan dalam sebuah ilmu pengetahuan. AMS mencatat, terdapat sebuah kesamaan antara spirit dialog semacam itu dengan teks-teks al-Quran. Terlihat dengan jelas, bagaimana al-Quran hadir secara langsung dalam sebuah dialog dengan paham-paham di luar Islam. Al-Quran dengan tegas menolak paham-paham yang disuarakan oleh kafir Yahudi dan kaum musyrikin yang berkaitan seputar teologi, ritual-ritual, perihal surga-neraka dan hal lain pada masa awal kehadirannya, lalu mengakhirinya dengan istilah-istilah dan bahasa al-Quran sendiri. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ilmu kalam mengambil bagian besar dalam melanjutkan spirit al-Quran tersebut. Di dalam ilmu kalam akan kita saksikan betapa Islam selalu tidak pernah ketinggalan melakukan observasi dalam laboratarium ide-ide. Baik berdialog dengan ajaran agama-agama lain, aliran-aliran bahkan filsafat Yunani sekalipun. Unsur keterhubungan begitu mengakar di sana.
Dengan tradisi pemikiran terbuka yang dimiliki Islam, satu hal yang tak bisa terelakkan adalah terjadinya transformasi ide-ide. Salah satunya ialah mengenai teori atomisme (dzurriyah). Teori ini sebenarnya ditolak oleh Aristotels, Neo-platonian, para gerejawan, dan bahkan oleh al-Kindi dan teolog kristen semasanya seperti Tsabit bin Qurrah. Tapi paham tersebut, yakni tentang “sesuatu yang tak bisa dibagi-bagi lagi” hadir dalam bangunan keilmuan Islam atas jasa tiga pemikir Muktazilah: Dlirar bin Amr, Muammar bin Ibad al-Silmi, dan Abu Hudzail al-Allaf. Menariknya, konsep atomisme pada akhirnya diterima oleh Abu Hasan al-Asyari.
Mengenai unsur keterhubungan di atas, kita akan menemukan fakta menarik. AMS justru lebih berpihak pada Abu Hamid al-Ghazali ketimbang Ibnu Rusyd yang telah memasukkan ilmu mantik sebagai pengantar usul fikih. Lebih dari itu, bagi al-Ghazali, ilmu mantik adalah mukadimah dari segala ilmu, berbeda dengan Ibnu Rusyd yang menolak jika ilmu mantik diimplementasikan di dalam usul fikih. (hal-135)
Kerancauan Linguistik dalam Istilah-istilah Ilmu Kalam
Selama ini, corak yang lebih dominan dalam kajian sejarah pemikiran Islam terdapat pada penggalian dari segi sosio-politik. Satu hal yang sering terlewati di sana dan jarang terjamah, yaitu peninjauan teoritis dari sudut pandang linguistik. Di sini, salah satu yang menjadi objek kajian AMS adalah sosok Jahm bin Safwan (w. 128 H). Tokoh ini menjadi penting bagi AMS untuk dikaji ulang melihat keberadaannya yang terlanjur disalahpahami di dalam berbagai sumber. Jahm bin Safwan telah dituduh sebagai seorang fatalis lantaran pandangan-pandangannya yang lebih mengarah pada penafian sifat-sifat. AMS menolak itu. Dia berargumen bahwa landasan pemikiran Jahm bin Safwan adalah tanzih mutlak, dan murni tauhid. Sebab itu, Jahm berusaha menghindari unsur-unsur tasybih dan tajsim di dalam nas al-Quran melalui takwil. Hal itu bermula dari maraknya pembacaan secara harfiah terhadap nas al-Quran yang mengakibatkan seseorang terjebak pada paham-paham Mujassimah. Jahm bin Safwan merupakan orang pertama yang memelopori wacana takwil dalam konteks pembacaaan al-Quran.
Pemikiran-pemikiran Jahm bin Safwan berasal dari sebuah postulat bahwa Allah SWT tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Yang menjadi karakteristik tunggal Allah SWT adalah dzatiyyah-nya, dan selamanya Ia bukanlah syai’ (sesuatu), karena kata syai’ secara bahasa selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang bisa disentuh, dilihat, dan hal-hal yang yang berkaitan dengan jisim lainnya. Sebuah ungkapan, annallâh laysa syai’an inilah yang sering ditentang oleh kalangan Ahlusunah, karena dinilai mengandung unsur penafian yang berlebihan dan menon-eksiskan Allah SWT dari sifat-sifat, bahkan dari zat itu sendiri.
AMS membela tindakan Jahm yang menolak kesesuatuan di dalam diri Tuhan itu tersebab ingin menjauhi paham kejisiman. Ketika kalangan Muktazilah dan sebagian Asyairah mengatakan bahwa Allah Swt itu syai’un la kal asya’i (sesuatu tapi tak seperti sesuatu) hanyalah manifestasi dari paham Jahm tersebut. Sama halnya ketika Jahm mengatakan Allah tidaklah hidup, karena kata hidup (hayy) secara bahasa diartikan sebagaimana kehidupan makhluk. Oleh sebab itu yang benar adalah Allah Swt itu menghidupkan (muhyi). Begitu juga Allah bukanlah mawjud, karena kata mawjud dengan bentuk isim maful secara bahasa diartikan seagai wujud yang didapat dari yang lain, maka yang tepat adalah al–mujid, yang mewujudkan, dengan sighat isim fail. Begitulah analisis linguisitik atas kata syai’ yang dilakukan oleh AMS. Berawal dari penolakan itulah ia menerapkan konsep qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid.
Sisi menarik lain menurut hemat saya ialah, AMS mampu menemukan sisi-sisi kesamaan antara Jahm bin Safwan dengan pandangan-pandangan firqah yang lain. Misal, kesamaannya mengenai kalamullah dengan Muktazilah. Keduanya berpendapat bahwa ketika al-Quran bisa didengar dengan telinga, dan itu mustahil kalau dinisbatkan kepada Allah SWT, maka al-Quran bukanlah sifat yang kadim, melainkan makhluk. Begitu juga kesamaan dengan Asyariyah dalam konsep al-‘aradl la yabqa zamanayn.
Menurut AMS, konsep Asyariyah ini sebenarnya terpengaruh oleh gagasan Jahm tentang status gerak. Sebuah gerak secara karakteristik pasti berupa fiil (pekerjaan), dan itu mustahil dinisbatkan kepada kuasa Allah SWT, karena gerak adalah karakter dari jism. Jisim tidak punya “kuasa” untuk menciptakan gerak yang lain karena keberadaannya selalu berasal dari penggerak yang hakiki, yaitu Allah SWT. Dari sinilah kemudian diambil sebuah konklusi: gerak tidak bisa eksis dalam dua waktu sekaligus. AMS menyimpulkan bahwa konsep Asyariyah al-‘aradl la yabqa zamanayn terilhami dari pandangan Jahm, al–harakah la tabqa zamanayn.
Menarik. Di dalam satu kasus, kita melihat AMS habis-habisan membela Jahm bin Safwan (yang fatalis) dan mengambil porsi yang cukup besar di dalam bukunya itu. Di kasus yang lain, ia juga membela Muktazilah. Menurutnya, pandangan sejarawan yang mengatakan Muktazilah dengan konsepnya, al–manzilah bayn al–manzilatayn telah keluar dari kesepakatan umat adalah kesalahan fatal. Lagi-lagi, AMS menggunakan analisis linguistik dalam kajiannya. Ketika pelaku dosa besar oleh Khawarij dihukumi sebagai kafir yang fasik, mukmin yang fasik oleh Murjiah, kafir nikmat fasik oleh Syiah, dan munafik fasik oleh Hasan al-Basri, maka melalui pendekatan linguistik, Wasil bin Atha akhirnya menyimpulkan bahwa umat telah sepakat kalau pelaku dosa besar disebut sebagai seorang fasik—saja. Mengenai apakah masih beriman atau tidak, mereka masih berbeda pendapat. Itulah penjelasan mengenai konsep al-manzilah bayn al-manzilatayn. Jadi, Muktazilah tidak keluar dari kesapakatan umat. Justru pendapat yang ia suarakan membuktikan bahwa ia justru selaras dengan pendapat (mayoritas) umat. Perbedaan-perbedaan yang ada sebenarnya hanya secara bahasa saja (khilaf lafdzi).
AMS juga mengkritik kitab-kitab yang menjelaskan milal wa nihal (seputar aliran-aliran agama dan pemikiran). Menurutnya, data-data yang tertuang di dalam kitab-kitab tersebut membuat perselisihan semakin memanas, terkhususnya antara Asyariyah dan Muktazilah. Padahal, menurut AMS ada banyak persamaan antara dua kelompok yang terkesan selalu berbeda pandangan—padahal hanya khilaf lafzi.
Seputar Makna Kebebasan
Abdul Majid Saghir ialah seorang cendekiawan yang sangat berminat mengkaji sejarah ide-ide dan istilah-istilah di ranah keilmuan Islam. Atas spirit arkeologisnya, ia melibatkan diri dalam menguji sebuah penelitian yang dilakukan oleh Abdullah Arawi tentang ‘paham kebebasan’ di dalam Islam.
Bagaimana cara kita memahami bahwa Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai kebebasan sedangkan kata tersebut tak begitu lugas terpaparkan dalam kamus-kamus berbahasa Arab? Cara logis untuk mengetahuinya ialah dengan merujuk pada rumpun bahasa hingga ke jantung budaya, lalu dari budaya hingga ke realita historis. Atau mungkin dari kalimat-kalimat yang lain, dari dalil-dali yang cukup fundamental atau sampai ke ruang simbol-simbol. Dalam ujung pencariannya tersebut, Abdullah Arawi akhirnya menemukan bahwa paham kebebasan di dalam Islam tersimpan dalam empat kata kunci: badawah (pedesaan), ‘asyirah (keluarga), taqwa (ketaqwaan), dan tasawwuf (ajaran tasawuf).
Dari keempat kunci tadi, yang menunjukkan sisi kebebasan paling utuh adalah ajaran tasawuf. Sebab, ia mampu mengantarkan pada kefanaan total, bersamaan dengan paham kebebasan itu sendiri. Dari sinilah, Abdullah Arawi dengan tanpa ragu menyimpulkan bahwa: “Sesungguhnya kita akan menemukan makna kebebasan yang filosofis nan mutlak pada kaum sufi, tidak pada ahli kalam ataupun ahli usul”. Menyikapi hal demikian, AMS berpendapat bahwa apa yang dilakukan Abdullah Arawi tak lebih dari menaklid pendapat Hassan Hanafi yang mengatakan bahwa, “. . . kaum sufilah yang satu-satunya mampu mencitrakan ajaran Islam di masa lalu, bukan fukaha atau ulama ahli kalam.”
Setelah menguraikan pandangan-pandangan Arawi dengan cukup panjang, AMS dengan tegas mengatakan bahwa pandangan Arawi adalah salah bahkan sejak pertama kali postulat yang menjadi pijakanny. Yaitu pemaknaan terhadap ilmu kalam sebagai sebuah ilmu yang hanya berkutat pada hasil-hasil pemikiran seseorang dan sekumpulan teori-teori murni belaka. Pasalnya, kesalahan mendasar seperti inilah yang menurut AMS memberikan dampak kesalahan fatal dalam observasi-observasi tentang makna kebebasan dalam Islam yang dilakukan Arawi. Pemakanaan seperti itu jelas sekali memihak dengan pendapat orientalis yang menyetarakan ilmu kalam dengan istilah teologi dalam tradisi pemikiran gereja.
Sebagai anti-tesis dari pendapat Arawi, pandangan Muktazilah atas konsep ikhtiyar, oleh AMS dinilai cukup merepresentasikan makna kebebasan lebih luas dari pada konsep badawah dan tasawuf. Terlebih, konsep ikhtiyar dalam sejarahnya bergumul secara langsung dalam ranah sosial dan politik, sebagaimana paham ini hadir dalam rangka menentang ideologi penguasa yang menjadikan fatalism sebagai tameng kekuasaan. Maka dari itu, istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep ikhtiyar pun memiliki muatan makna yang sama, seperti keluar dari penguasa zalim dan nahi munkar. Begitu juga tragedi-tragedi pembunuhan dan penyaliban yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan sebagai dampak dari penyuaraannya atas paham Qadariyah serta penolakannya atas paham Jabariyah. Seharusnya, semua peristiwa ini cukup dimengerti sebagai wujud simbol-simbol kebebasan dalam Islam, khususnya dalam sejarah ilmu kalam. Namun sayangnya, tidak sedikit pun tersentuh dalam kajian Abdullah Arawi.
Penutup
Abdul Majid Saghir merupakan sosok yang unik. Penguasaannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan filsafat membuat pandangan-pandangannya cukup rumit dan tidak mudah dicerna. Tapi itulah yang membuat daya tarik. Ide-ide cemerlangnya patut diapresiasi.
Di dalam sedikit ulasan atas bukunya, Fiqh wa Syar’iyyat al-Ikhtilâf fi al-Islâm yang telah dipaparkan di atas, kita bisa membaca sebuah analisis sejarah politik dan pemikiran yang cukup mendalam. Seperti yang ia terangkan di bagian awal bukunya, ia ingin menulis sejarah pemikiran yang—setidaknya mendekati—objektif. Ia membela Muktazilah, Jahmiyah, dan terkesan sinis terhadap Asyariyah. Tapi tidak selalu demikian. AMS ingin mendamaikan antar-aliran dalam ilmu kalam dan berusaha keluar dari polemik firqah najiyah yang mengakibatkan perselisihan dan melebarnya permusuhan di antara umat Islam sendiri.