Kemajemukan penduduk bumi ini sudah menjadi sebuah keniscayaan yang wajib kita amini, tentu perbedaan dan keragaman akan menghiasi corak kehidupan antarbangsa itu sendiri. Namun bukan berarti perbedaan tersebut menjadi sebuah pemicu atas terciptanya ruang perselisihan akibat beragamnya pemahaman masing-masing individu yang menganutnya. Maka dari itu, Islam hadir di tengah heterogenitas corak masyarakat dunia yang begitu kompleks, membawa nilai universalitas yang mengajak kepada seluruh insan untuk saling berdampingan dan bersatu padu dalam mengemban amanah Tuhan sebagai khalifah di muka bumi ini.
Islam datang melalui perantara Rasul terakhir yang mulia, Nabi Muhammad Saw. yang didaulat langsung oleh Allah Swt. membawa risalah ketuhanan, risalah terakhir yang memiliki nilai universalitas dan tidak terkekang ruang dan waktu. Hal ini termaktub dalam firman Allah Swt. pada surat Saba` ayat 28: “Tidaklah Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Lalu Allah Swt. mempertegas status risalah ketuhanan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., yakni risalah ketuhanan yang sarat akan rahmat dan kedamaian. Dalam surat al-Anbiya: 107 disebutkan: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Dipertegas dengan hadis Nabi yang mulia, “Dari Ibnu Abbas dia berkata : Dikatakan kepada Rasulullah Saw. : ‘Agama apakah yang paling dicintai oleh Allah?’ maka beliau bersabda: ‘ agama Yang lurus lagi toleran’. (musnad Ahmad).
Namun terdapat wacana kontemporer yang menyinggung tentang implikasi negatif yang diprediksi akan ditorehkan oleh Islam. Adalah Samuel Huntington (2008), seorang pemikir yang pernah menjadi Guru Besar Ilmu Politik di Harvard University sekaligus Dewan Konsultan Politik Gedung Putih itu menuliskan sebuah wacana yang begitu kosen, di dalam masterpiecenya yang berjudul “The Clash of Civilization and The Remaking of World Order” (1996), ia beranggapan bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menyebabkan benturan peradaban di masa mendatang hingga mengakibatkan munculnya peperangan yang lebih besar. Teori ini berangkat dari sebuah analisanya yang menyatakan bahwa dari puluhan big war of the world di abad 21 ini, mayoritas tersaji antara Islam dan Barat yang bermuara pada konflik agama.
Bahkan dalam bukunya yang lain “Who are We (2004)”, Huntington semakin tegas menggambarkan pemikirannya bahwa musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam, khususnya Islam militan. Tatkala perang dingin usai, maka Islam militan telah benar-benar menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS dan sekutunya. Maka tak segan ia merekomendasikan sebuah doktrin Pre-emptive Strike (serangan dini) terhadap ancaman kaum Islam militan hingga berujung pada peristiwa invasi secara anarkis terhadap Irak di masa pemerintahan George Walker Bush.
Pada akhirnya ia menyuguhkan sebuah konklusi liar yang menyatakan bahwa pada dasarnya benturan antarperadaban di masa mendatang akan terulang dan bahkan bisa menjadi perang yang lebih mencekam karena dipicu oleh tiga alasan; arogansi Barat, intoleransi Islam, dan fanatisme konfusius. Hemat penulis, teori Huntington tersebut seolah menggiring kepada opini liar bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan paham intoleransi dan fanatisme, Islam tidak bisa berdampingan dengan umat lain, Islam menjadi penyebab utama benturan peradaban dan peperangan di masa mendatang. Jelas sekali teori tersebut tidak bisa dibenarkan bahwa agama Islam memiliki paham intoleransi dan fanatik.
Syahdan, wajar saja bila ia memiliki analisa seperti itu, karena memang ia berangkat dari keresahan orang Barat yang memiliki fobia akut terhadap Islam, yang kita kenal dengan istilah “Islamofobia”. Ia hanya menyoroti kondisi sosio-kultur di negara konflik yang memang tingkat kesadaran toleransinya sangat rendah. Memanglah benar, kurangnya implementasi nilai toleransi di negara-negara konflik Islam, khusunya Timur tengah menyebabkan konflik demi konflik tercipta, ditambah dengan manuver transnasionalisme dan hakimiyah seperti ISIS, Ikhwanul Muslimin, Hizbu Tahrir, Al-Qaeda, dll. yang selalu menyerukan jihad dan agresi terhadap musuh Islam (Barat) dan sekutunya.
Namun munculnya konflik di negara-negara tersebut bukan disebabkan oleh minimnya value Islam dalam membawa misi perdamaian, akan tetapi dikarenakan adanya banyak faktor yang berkelit kelindan, seperti: geopolitik, ekonomi, kekuasaan, dan masih banyak faktor lainnya. Ajaran Islam secara hakikatnya sangatlah berpihak kepada misi perdamaian, menjunjung tinggi toleransi, memprohibisi fanatisme dan selalu mempreferensikan misi kemanusiaan di atas segalanya.
Sejak awal kemunculannya, Islam dengan berani berjuang menyuarakan kesetaraan hak untuk setiap manusia, lantaran Islam menginginkan terwujudnya harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga terjadi relasi timbal-balik yang sebisa mungkin tidak merugikan sesama. Kita dapat memverifikasi keinginan tersebut melalui pembacaan terhadap ayat-ayat yang termaktub di dalam Al-Qur`an. Allah Swt. berfirman: “Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (al-Maidah:12).
Islam mengajarkan untuk menghargai setiap perbedaan dan tidak merendahkan siapapun. Klaim ini bisa kita buktikan melalui kisah Bilal bin Rabah, tatkala ia dicemooh oleh sahabat Abu Dzar Al-Ghifari dengan kalimat, “Wahai anak wanita yang berkulit hitam,” kemudian Bilal melaporkan hal tersebut kepada Nabi sehingga beliau berkata, “Wahai Abu Dzar! Apakah benar engkau telah menghinanya dengan menghina ibunya? (kalau benar) sesungguhnya dalam dirimu masih terdapat sifat Jahiliyah.”
Lebih lanjut, terdapat afirmasi yang mendukung argumen sebelumnya, di dalam QS. Al-Hujurat: 13, Allah Swt. berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Mahatahu, lagi Mahateliti.” Ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa Islam sangatlah menghargai perbedaan, tidak ada pandangan diskriminasi dan sekat-sekat antarbangsa, suku, dan ras. Tidak lain tujuannya agar tercipta nuansa persatuan dan perdamain dalam simfoni kemanusiaan nan harmoni.
Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Ath-Thayyib menjelaskan dalam pidatonya, bahwa agama Islam berperan sebagai pionir yang secara frontal menyuarakan kesetaraan hak untuk setiap manusia, ketika masyarakat pada saat itu masih menganut sistem kasta di antara mereka. Ia juga menjelaskan hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya bukti sejarah yang menunjukkan adanya masyarakat terdahulu yang memberikan kesetaraan hak sebelum Islam. Ia juga menyebutkan bahwa tidak tergambarkan adanya kesetaraan hak di antara seluruh manusia dalam ajaran Yahudi, karena dasar pemikiran mereka dibangun atas dasar sebagai bangsa pilihan dan bersifat eksklusif.
Hal serupa juga berlaku dalam ajaran Nasrani, berdasarkan surat yang ditulis oleh salah seorang Paulus kepada para pengikutnya untuk senantiasa mengikuti dan menaatinya, dan menyamakan ketaatan kepadanya setara dengan ketaatan kepada Nabi Isa As. Bangsa Arab juga tidak jauh berbeda keadaannya (sebelum datangnya Islam) dalam menganut sistem kasta. Dengan mencermati penjelasan Grand Syekh tersebut, kita mendapatkan gambaran seberapa besar peran ajaran Islam dalam menciptakan masyarakat yang majemuk tanpa ada perbedaan kasta di antara mereka.
Bahkan, dalam konteks dakwah sekalipun, Islam memberikan petunjuk dan tuntunan mengenai metode yang selayaknya ditempuh oleh seorang muslim dalam bersikap serta berinteraksi dengan liyan. Aktivitas dakwah harus dilakukan dengan metode hikmah dan teladan yang baik. Hal tersebut meneguhkan bahwa Islam menolak implementasi strategi dakwah lainnya, seperti kekerasan dan paksaan, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, Allah Swt. berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl: 125).
Alhasil, sejak dini Islam sudah mengajarkan umatnya perihal nilai kemanusiaan, persamaan hak insani, Islam pun selalu meruah kepada kita untuk bersikap saling mengayomi, menghormati dan menghargai terhadap diferensial pendapat, keyakinan, dan tradisi orang lain yang berbeda. Begitulah makna toleransi dalam Islam.
Namun demikian, acapkali nilai-nilai toleransi semakin ke sini semakin tergerus. Mereka yang belum paham betul nilai toleransi akan memunculkan sikap fanatik, diskriminasi dan arogansi yang berlebihan dalam bermasyarakat hingga memicu sebuah gejolak sosial. Sikap tersebut tercerminkan atas gerakan-gerakan transnasionalisme dan hakimiyah yang diidap kelompok konservatif Islam yang enggan mengimplementasikan nilai toleransi. Maka sudah saatnya kita kembali menanamkan dan menggaungkan reaktualisasi toleransi yang begitu vital perannya dalam kemajemukan masyarakat yang ada, demi terciptanya dunia yang damai, sejahtera, dan jauh dari gejolak peperangan.
Lalu di masa sekarang, bagaimana kita dapat memahami konteks reaktualisasi toleransi, serta menjauhkan diri dari diskriminasi beragama dan sikap fanatik? Anda bisa mendapatkannya di buku terbaru SAS Center PCINU-Mesir yang berjudul “Simfoni Kemanusiaan; Risalah Toleransi dalam Konstelasi Tafsir Al-Qur`an”. Selamat membaca!
Esai ini ditujukan sebagai pengantar Launching & Bedah Buku “Simfoni Kemanusiaan” yang akan dihelat pada Senin, 28 Agustus’23 di Aula KMNTB.