Jika mengingat kembali kebiasaan Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) sejak beberapa dekade silam hingga saat ini, penyebutan kata رواق (baca: riwaq) seolah tak terarah dan belum ada pembenahan dalam pengucapannya. Pasalnya, kata yang seharusnya dikasrah ini, malah dibaca damah; ruwaq.
Tak sampai di sana, istilah ruwaq menjadi dominan di kalangan Masisir dibandingkan istilah riwaq. Hal tersebut terus berlanjut hingga kepada tulisan Masisir yang membahas riwaq dengan didamah; baik yang masih di Mesir maupun alumni yang telah berkontribusi di Indonesia. Hal ini menyebabkan timbulnya sebuah pertanyaan, “Siapakah yang mempopulerkan penyebutan ruwaq dengan didamah?”
Di dalam kitab Syams al-‘Ulûm wa Dawâu Kalâm al-‘Arab min al-Kulum, kitab mu’jam bahasa Arab yang menjadi rujukan utama perihal harakat dan bentuk kata, al-Himyari (w. 573 H) secara jelas menyebutkan bahwasanya riwaq menggunakan harakat kasrah. Hal ini juga dikuatkan oleh al-Fayyumi (w. 770 H) di dalam al-Mishbâh al-Munîr fi Gharîb al-Syarh al-Kabîr dan Ahmad Pasha Taymur (w. 1348 H)—tokoh Mesir yang banyak mengoreksi mu’jam ulama terdahulu—dalam Mu’jam Taymûr al-Kabîr. Mereka memberikan keterangan serupa dalam pengucapan harakat yang tepat dalam kata ‘riwaq’.
Adapun dalam kitab mu’jam (kamus) lainnya, kalaupun huruf ra’ riwaq diberi harakat damah, maka terdapat dua kemungkinan. Pertama, harakat dari mualif dan/atau nussakh sebagai penjelas adanya dua cara baca kata riwaq. Kedua, didamah oleh para penahkik kitab mu’jam meski belum tentu mualif bermaksud mengharakatinya dengan damah.
Tak jarang, juga ditemukan beberapa keganjilan di beberapa mu’jam versi tahkik ketika membahas pokok kata (ر- و- ق) yang ketambahan huruf alif antara wau dan qaf (رواق). Terkadang diharakati damah, lalu di lain tempat diharakati kasrah padahal masih dalam satu pembahasan.
Walhasil, tetap tidak bisa dimungkiri bahwa riwaq yang dibaca dengan damah tidak sepenuhnya salah. Namun, penyebutan riwaq (dengan ra’ dikasrah) lebih fasih dibandingkan ruwaq (dengan ra’ didamah) berdasar sejumlah sumber yang kuat, baik secara tulisan maupun lisan.
Terlepas dari semua hal di atas, kita mesti kembali kepada penyebutan riwaq menurut penuturan masyarakat dan santri al-Azhar tempo dulu. Dalam hal ini, penulis ingin menguatkan penyebutan riwaq oleh orang-orang tempo dulu dengan dua naskah koran lama; Campus Caravan edisi 19 Januari 1951 dan Caravan Weekly edisi 31 Oktober 1993. Kedua sumber ini menuliskan riwaq al-Azhar dengan diksi riwaq atau rewaq, yang jika (e) dan (i) ditransliterasikan ke bahasa Arab akan menunjukkan makna kasrah. Berbeda dengan (o) dan (u) yang menunjukkan makna damah.
Selain dua naskah tersebut, Prof. Dr. Aiman Fuad Sayyid, Ketua Asosiasi Studi Sejarah Mesir, sosok sejarawan Mesir kontemporer yang juga merupakan guru besar sejarah di al-Azhar menegaskan bahwa pelafalan yang tepat untuk ra’ pada riwaq adalah dengan kasrah, bukan damah. Hal ini sudah sangat cukup dalam menegaskan penyebutan riwaq. Mengingat beliau adalah sejarawan Mesir yang juga pakar tahkik (edisi teks), selain juga dipercaya oleh Grand Syekh Ahmad Thayyib untuk menjadi pembina di Pusat Studi Manuskrip al-Azhar (Markaz al-Azhar lil Makhtûtât).
Tak hanya menegaskan, beliau juga mengimplementasikan hal tersebut di dalam semua tulisannya. Salah satunya di dalam penahkikan kitab babon sejarah Mesir, al-Mawâ’îzh wa al-I’tibâr fi Dzikri al-Khithath wa al-Âtsâr karangan Imam al-Maqrizi. Di sana, ketika ada penyebutan kalimat رواق, beliau pasti mengharakatinya dengan kasrah, agar ketidak-jelasan perihal harakat riwaq tidak terjadi lagi.
Pun jika segelintir instansi di dalam al-Azhar pada hari ini ada yang menggunakan diksi ruwaq, tetap tidak ada salahnya. Hal ini bisa jadi disebabkan kadung masyhurnya penyebutan tersebut oleh masyarakat saat ini. Namun, dalam banyak hal, al-Azhar dan para guru besarnya pada lebih banyak kesempatan tetap menggunakan diksi riwaq dalam pengucapannya.
Pada akhirnya pengucapan kata riwaq kembali kepada tiap personal Masisir itu sendiri, apakah menggantinya dengan pelafalan yang lebih fasih; riwaq atau tetap menggunakan ruwaq. Menurut hemat penulis, jika ada yang lebih fasih, kenapa tidak?