Mahathma Gandhi seorang pejuang asal India, dikenal luas berkat satyagraha[1] serta ajarannya yang sangat menentang ahimsa (kekerasan). Ia lebih memilih jalan yang damai dan jauh dari nuansa kekerasan dalam memperjuangkan kemerdekaan India dari tangan kolonial Inggris. Setelah India merdeka, ia kembali menyuarakan gagasannya; menuntut persamaan hak antara rakyat Hindu dan Muslim, menciptakan masyarakat tanpa kasta.[2]
Kesadaran Gandhi terhadap pluralitas bangsanya membuat ia terbuka terhadap perbedaan. Apresiasinya terhadap kemaslahatan bersama membuat pemikirannya dapat menaungi dan diterima semua kalangan di India. Menurut Abdurrahman Wahid, penolakan Gandhi terhadap kekerasan melahirkan perikemanusiaan yang mendalam pada dirinya.[3] Namun, berbagai upaya Gandhi sering kali disalahpahami oleh kalangan fundamentalis. Ia mati terbunuh di tangan para ekstremis.
Membangun Toleransi di Indonesia
Nilai-nilai agama Islam dalam toleransi turut serta dalam membangun persatuan Indonesia. Persatuan menjadi bagian yang amat penting bagi entitas suatu bangsa guna mencapai kemakmuran dan perdamaian sosial. Namun, berbagai fenomena silih berganti menguji eratnya tali persatuan serta menghambat kemajuan. Maka di sinilah sebenarnya urgensi dari toleransi; memahami bahwa kita bisa berbeda.
Pada praktiknya, Abdurrahman Wahid memprakarsai lahirnya forum dialog lintas agama sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik dan intoleransi agama. Dialog yang mengedepankan sisi humanis ini dapat menjadikan masing-masing pemeluk agama mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu kemanusiaan. Jika dialog sifatnya hanya fokus pada ranah teologis, maka yang terjadi masing-masing pemeluk akan terikat pada tendensiusnya masing-masing yang berakibat pada sikap merasa paling benar sendiri.[4]
Selain mempererat hubungan antarumat beragama, usaha-usaha untuk mempersatukan umat Islam sendiri—menurut penulis—harus lebih dulu diupayakan, mengingat bangsa Indonesia terdiri lebih dari delapan puluh persen orang Islam. Sehingga, diharapkan nantinya kita tidak lagi terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif dan terus berbuntut panjang. Al-Quran surat al-Anfal ayat-46 berbunyi: “Taatilah Allah dengan menepati segala perintah dan larangan-Nya. Tinggalkanlah perselisihan dan pertikaian yang membuat kalian tercerai berai dan lemah.”
Teologi Moderat
Mengenai hal ini, teologi Asyarian muncul dengan gagasan moderat. Mereka tidak mengkafirkan siapa pun dari ahli kiblat. Padangan semacam ini tentunya sedikit meredakan ketegangan yang terjadi di antara aliran teologi Islam. Imam Al-Asy’ari bersikap tegas terkait status Muslim kalangan di luar mazhabnya. Hal ini menandakan bahwa teologi merupakan usaha memahami realitas tuhan yang bisa salah (ijtihadi). Oleh sebab itu, segala perdebatan harus keluar dengan kesimpulan benar-salah, bukan kafir atau tidak.[5]
Di sisi lain, Sifat sombong, menurut al-Ghazali, tak akan pernah berubah menjadi baik bahkan bila ditunjukkan kepada orang kafir sekalipun. Al-Ghazali melihat diirinya lebih rendah dari orang kafir dan fasik, padahal ia seorang ulama besar Islam. Baginya, sifat rendah hati ini akan tertanam dalam diri seseorang bila ia terus merenung akan nasibnya di penghujung usia. Bisa saja orang yang sebelumnya kafir, mati dalam keadaan beriman dan sebaliknya.[6]
Cara pandang yang moderat di atas harus disadari lebih dulu sebelum nantinya masuk dalam solusi-solusi praktis dalam membingkai toleransi, baik antarumat beragama maupun sesama Islam. Perlu juga kiranya kita mempopulerkan jargon KH. Afiduddin Muhajir[7] yang berbunyi al-Islâm bayn al-hamâsah wa al-samâhah. Islam berada di antara semangat yang menyala dan toleransi yang nyata.
Jika ada umat Islam yang ‘semangat’ dalam mengamalkan, menghayati, mendakwahkan ajaran Islam dan melaksanakan amar makruf nahi munkar, hal itu tidak salah dan bukan sebuah tindakan radikalisme atau anti-Pancasila. Islam mengajarkan agar menghargai perbedaan dan bertoleransi kepada pemeluk agama lain.
______________________
[1]. Satyagraha adalah sebutan untuk gerakan perlawanan rakyat sipil untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan oleh pemerintahan Inggris di India. https://id.wikipedia.org/wiki/Satyagraha.
[2]. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita. Judul: Gandhi, Islam dan Kekerasan. Hal 346.
[3]. Ibid.
[4]. Muhamad Aqil, Nilai-nilai Humanisme Dalam Dialog Antar Agama Perspektif Gus dur. Hal 55.
[5]. Mohammad Yunus Masrukhin, Menjadi Muslim Moderat. Hal 83.
[6]. Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin. Juz 6. Hal 558.
[7]. Disampaikan dalam acara haul Gus Dur di Tebuireng.
Editor: Hamidatul Hasanah
Ilustrator: Khairuman