Mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar saat ini telah mencapai angka sepuluh ribu ke atas (data dari PPMI Mesir). Itu belum termasuk dengan jumlah alumni al-Azhar yang telah pulang. Di angka yang besar tersebut, masih banyak Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) yang ketika di Mesir masih tidak mengetahui sejarah institusi tempat ia belajar itu sendiri, hingga mereka pulang. Hal ini terbukti dengan masih linglungnya seseorang jika ditanya sejarah al-Azhar, kiprah dan perkembangan di tiap masa, tokoh-tokoh pembesar serta lembaga-lembaga di bawah naungannya.
Yang paling mudah, masih ada kawan yang menjawab selain nama Syekh Ahmad al-Thayyib saat ditanya ‘Siapa Syekh al-Azhar saat ini?’ Masih ada yang menjawab pertanyaan ‘Kedudukan Syekhul-Azhar itu sederajat apa?’ dengan setingkat rektor universitas atau imam besar Masjid al-Azhar. Begitu juga pertanyaan, ‘Mana yang lebih dulu, Imam Syafii atau Al-Azhar?’, masih ada yang menjawab: lebih dulu al-Azhar. Jikalau contoh pertanyaan seperti ini ditujukan kepada mahasiswa baru, anggap saja itu sebuah kewajaran. Akan tetapi, bagaimana jika yang menjawab demikian adalah mahasiswa yang telah lama belajar di al-Azhar, bukankah itu hal yang miris?
Jika penyebabnya dikarenakan minimnya sumber pustaka dan referensi seputar al-Azhar, itu adalah sebuah kebohongan. Sumber primer maupun sekunder seputar al-Azhar, baik sejarah, tokoh, peran, dan kontribusinya banyak beredar di sejumlah maktabah. Bahkan di maktabah yang ada di samping rumah Masisir itu sendiri.
Jika penyebabnya dikarenakan tidak adanya kegiatan dan agenda Masisir yang mengusung hal tersebut, lalu ke mana sepuluh ribu mahasiswa yang masih berada di Mesir? Persatuan pelajar, kekeluargaan, ormas, almamater, angkatan, senat; tidak adakah dari organisasi tersebut yang mulai mengenalkan sejarah al-Azhar dan menjadikannya agenda tak terpisahkan dari Masisir? Apakah mengusung kegiatan seputar sejarah al-Azhar kalah menarik jika dibandingkan dengan kegiatan seremonial, perlombaan, seminar, euforia, dan menang-menangan massa?
Mengenal al-Azhar secara benar adalah jalan pertama yang mesti ditempuh para pelajar dan mahasiswa al-Azhar. Tidak pantas jika santri al-Azhar mengetahui sejarah institusi sekadarnya, bahkan dari mulut ke mulut. Tidak selayaknya mereka hanya sekadar tahu bahwa al-Azhar adalah lembaga Ahlusunah wal Jamaah terbesar di dunia. Dengan mengenal lembaga azmat yang telah berkiprah selama berabad-abad ini, penulis yakin percakapan Masisir ketika membincang seputar al-Azhar akan lebih berwarna. Dengan mengenalnya, proses mencintai al-Azhar menjadi lebih cepat. Lembaga, manhaj serta ulamanya akan lebih mudah dikenal dan dipahami.
Bayangkan saja, jika ada pengajian bersama para guru besar al-Azhar, kemudian mereka bercerita tentang al-Azhar dan para ulamanya di zaman dahulu. Memprihatinkan ketika disebutkan lembaga sekelas Majlis Hukama Al-Muslimin, Haiah Kibar Al-‘Ulama, Majlis Al-A’la li Al-Azhar, Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah, dan semisalnya, namun ia tidak terpesona dan berdecak kagum.
Syekh Muhammad Abu Musa, seorang pakar balaghah di al-Azhar—semoga Allah senantiasa menjaga dan memberi beliau kesehatan—pernah berkata, “Kamu tercengang dan berdecak kagum di tempat yang seharusnya biasa-biasa saja adalah sebuah kelalaian yang tidak dapat diterima.”
Literasi Sejarah
Kealpaan mengenal sejarah al-Azhar yang kadung banyak ini menjadi PR utama Masisir. Penulisan buku tentang sejarah dan kiprah al-Azhar masih bisa dihitung dengan jari, sejak dulu hingga kini. Artinya, literatur seputar al-Azhar memang bisa dibilang mati suri. Kalau tidak ingin dibilang mati suri dengan dalih ada beberapa orang yang menulis dan mendalami literasi sejarah al-Azhar, lagi-lagi hal tersebut tetap bisa dibilang mati suri jika dijumlah antara puluhan ribu pelajar dengan segelintir orang yang mendalami literasi al-Azhar.
Artikel, buku diari, pengalaman selama di Mesir, atau sedikit cuilan cerita al-Azhar alih-alih memakai sumber kredibel, justru banyak yang hanya merujuk kepada sumber asal. Lihat saja beberapa artikel yang ditulis sejumlah afiliasi Masisir seputar al-Azhar. Misal, ikatan tertentu menulis sejarah berdirinya Masjid al-Azhar. Di lain kesempatan, persatuan pelajar, ormas, almamater, dan lainnya juga menulis tema yang sama. Jika pun ada perbedaan, itu hanya dari sudut pandang saja, bukan soal kedalaman topik. Yang lebih miris, tak jarang penulis temui salin-tempel antar-artikel.
Tumbuhnya literasi seputar al-Azhar bisa terwujud jika tiap lapisan saling berminat mewujudkannya. Penulis merasa perlunya sebuah lajnah khusus untuk menggali dan menulis semua yang berkaitan tentang al-Azhar. Harapan ini tidak akan terwujud melalui program kerja kepengurusan sementara yang jika masanya habis, ia turut terbengkalai. Dengan bergabungnya tiap organisasi yang ada di dalam Masisir, pengulangan tema bisa diminimalisir. Tiap-tiap organisasi dapat bekerja sama dengan menggarap tokoh atau topik berbeda, lantas menggabungkannya menjadi antologi, bahkan ensiklopedia.
Sejujurnya, penulis sering membahas komunitas impian ini. Beberapa kali, tiap bertemu dengan sejumlah penggede organisasi Masisir, penulis mencoba memberi masukan terkait, baik ketika mengobrol santai, resmi, maupun semi-formal. Hasilnya, nihil. Tidak ada keberanian untuk memulai.
Semenjak Masisir pertama di abad lalu menuntut ilmu di al-Azhar hingga detik ini, rasanya belum ada satu pun ide untuk menulis sebuah ensiklopedia tentang al-Azhar berbahasa Indonesia. Padahal, Masisir sangat mungkin menulis ensiklopedia ini. Para penulis handal, editor terbaik, dan pakar penerjemah di Masisir sudah mulai banyak. Sumber kitab rujukan seputar al-Azhar juga bertebaran di tiap sudut perpustakaan. Tidak ada alasan untuk tidak memulainya, bukan?
Editor: Hamidatul Hasanah
Ilustrator: Khairuman Wahhada