Sebagaimana layaknya santri pondok pesantren yang menetap di asrama, begitupun halnya dengan santri Al-Azhar tempo dulu yang masih menetap di riwaq Masjid Al-Azhar. Terdapat anekdot dan beberapa peristiwa genting yang terekam di sejumlah buku sejarah yang bercerita tentang kehidupan para santri Al-Azhar tempo dulu. Contohnya peristiwa yang terjadi pada masa kepemimpinan Syekhul-Azhar Ibrahim Al-Bajuri. Di masa itu, Al-Azhar pernah menghadapi tiga peristiwa genting, antara lain :
Pertama, terjadinya gerakan protes dari para talib Riwaq Al-Magharibah yang berasal dari negeri-negeri Maghrib terkait kebutuhan pangan (jirayah). Saking membesarnya gelombang protes, muncul niat buruk untuk menyerang Syekh Ibrahim Al-Bajuri. Sehingga, hal ini kemudian dilaporkan kepada pemerintah. Setelah aduan sampai, pemerintah segera mengirimkan para tentara ke dalam Masjid Al-Azhar dan menangkap siapapun yang berada di riwaq Al-Magharibah. Akses riwaq juga ditutup beberapa hari sampai gerakan tersebut mereda. Dari peristiwa itu, setidaknya empat orang yang diduga kuat memprovokasi diasingkan ke luar Kairo.
Kedua, meningkatnya kebutuhan personil militer Mesir pada masa Wali Negeri Said Basya dengan cara wajib militer yang menyasar para pemuda. Mereka berdatangan ke Al-Azhar untuk menghindari hal itu karena di dalam qanun yang berlaku saat itu, pelajar Al-Azhar tidak terbebani kewajiban militer.
Di suatu waktu, para pejabat daerah berdatangan mencari para pemudanya di Al-Azhar. Sebelum mencari, mereka terlebih dahulu menghadap Syekh Ibrahim Al-Bajuri perihal kedatangan mereka. Hanya saja, saat itu beliau sedang duduk di atas kursi di tengah proses mengajar. Dengan tegas beliau segera menolak dan menghardik kelancangan mereka yang tidak menghormati pengajian di Al-Azhar dengan membawa banyak pasukan. Kemudian, beliau memerintahkan para talib untuk melawan. Para talib mengusir para pejabat daerah tersebut dengan menggunakan alat di sekitarnya, seperti sandal, tongkat, maupun tangan. Terjadilah baku hantam antara para talib dan pejabat daerah. Karena kewalahan, mereka akhirnya angkat kaki dari Al-Azhar. Hanya saja, peristiwa itu meninggalkan satu korban yang tewas dari kalangan pejabat daerah dan tidak diketahui siapa pembunuhnya.
Ketiga, terjadinya aksi saling rebut tempat duduk yang dilakukan oleh sebagian pelajar Riwaq Asy-Syawam dan Ash-Sha’ayidah untuk mengaji hingga berakhir saling pukul. Kemudian, sekelompok pelajar dari Riwaq Asy-Syawam mengambil tongkat besar (an-nababit) untuk mendesak kelompok Riwaq Ash-Sha’ayidah kembali ke dalam riwaq. Lalu, mereka yang berada di dalam Riwaq Ash-Sha’ayidah juga mempersenjatai diri dengan tongkat-tongkat besar demi melakukan perlawanan. Perjuangan mereka membawa hasil hingga mampu memukul mundur kelompok Riwaq Asy-Syawam kembali ke riwaqnya. Bahkan kelompok Riwaq Ash-Sha’ayidah berhasil memblokade area Riwaq Asy-Syawam dan mengepung sekelilingnya hingga atap. Setelah terpojok, penduduk Riwaq Asy-Syawam mengunci diri sebagai pertahanan terakhir.
Peristiwa ini berlanjut hingga salah seorang syekh melapor ke para saudagar dari Syam. Laporan ini kemudian dilanjutkan kepada Khairuddin Basya, kepala kepolisian Mesir waktu itu. Ia lantas mengirimkan pasukan bersenjata ke Al-Azhar dan menangkapi secara semena-mena setiap pelajar dari Riwaq Ash-Sha’ayidah. Pelajar Riwaq Ash-Sha’ayidah tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan hingga berhasil mengeluarkan pasukan kepolisian itu. Tidak lama berselang, datanglah pasukan khusus dari militer. Mereka masuk ke dalam Masjid Al-Azhar dengan dilengkapi persenjataan. Mereka melakukan penangkapan terhadap kelompok Riwaq Ash-Sha’ayidah. Tiga puluh dari mereka ditangkap dan dipenjara hingga dua puluh hari. Tiga orang syekh juga sempat turut ditangkap meski kemudian segera dibebaskan.
Secara terpisah, sebelumnya, Said Basya yang tengah melaksanakan ibadah haji telah menunjuk empat orang untuk mengurusi permasalahan di Mesir. Empat orang yang diamanahi tadi membentuk sebuah lajnah yang berisi empat wakil Al-Azhar untuk mengurusi semua administrasi Al-Azhar sebagai pengganti Syekh Al-Bajuri yang masih terbaring sakit. Syekh Al-Bajuri tidak diturunkan dari kursi kepemimpinan Al-Azhar sebagai rasa takzim Said Basya kepada beliau. Adapun para wakil Al-Azhar yang dimaksud ialah Syekh Ahmad Kabwah Al-‘Adawi Al-Maliki, Syekh Ismail Al-Halabi Al-Hanafi, Syekh Khalifah Al-Fasyni Asy-Syafi’i, dan Syekh Mushthafa Ash-Shawi Asy-Syafi’i. Mereka juga menunjuk Syekh Mushthafa Al-‘Arusi (kelak Syekhul-Azhar setelah Syekh Ibrahim Al-Bajuri) untuk mengetuai empat wakil Al-Azhar tersebut. Sistem empat wakil ini terus berlanjut hingga Syekh Al-Bajuri dipanggil ke hadirat Allah Swt. pada tahun 1277 H.
Sepulang Said Basya dari Tanah Hijaz, ia lantas memarahi dan memecat kepala kepolisian Mesir, Khairuddin Basya karena permasalahan keamanan yang ditanganinya dengan semena-mena. Apalagi sampai memukul, menangkap, dan menghakimi secara sembarangan.
Tiga kisah di atas adalah beberapa peristiwa genting yang pernah terjadi di masa salah satu Syekhul-Azhar. Ini belum termasuk peristiwa yang terjadi pada masa Syekhul-Azhar lainnya yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah. Artinya, kehidupan di Al-Azhar sendiri—selain sakral dengan majelis keilmuannya—sebenarnya juga memiliki corak dan warna tersendiri dalam sejarahnya. Jika melihat secara objektif, peristiwa semacam ini mestinya turut dipublikasikan kepada para pembaca, alih-alih menyembunyikannya dengan dalih yang subjektif. Tabik.
Editor: Taufan Fuad Ramadan
Ilustrator: Khairuman