Kemajemukan penduduk dalam ranah teologis tentu melahirkan berbagai pertanyaan seputar aturan yang harus ditaati dalam berinteraksi sosial, terlebih bagi umat Islam. Selanjutnya, di antara diskusi yang santer beredar adalah persoalan hukum takziah bagi seorang muslim pada keluarga nonmuslim. Apakah Islam memperbolehkan hal demikian?
Salah satu jawaban yang mencuat adalah lemparan fatwa dari Dâr al-Ifta’ al-Misriyyah. Fatwa ini menjadi menarik sebab didasari atas pola kajian yang komprehensif dan cukup mendalam. Komprehensif dalam arti menyebutkan secara jujur berbagai pendapat yang ada di kalangan fukaha, baik sejalan atau tidak dengan pilihan lembaga ini. Di lain sisi, juga menampilkan sekaligus mendialogkan bermacam ide dan argumen yang mendasari perbedaan tersebut dalam intensitas yang pas.
Fatwa ini menjadi semakin menawan ketika memunculkan nalar farq sebagai pijakan utama dalam aktivitas tarjih. Nalar tersebut memiliki peran sentral dalam mengurai secara detail rincian dan batas-batas kerangka hukum fikih. Aktivitas tafaqquh ataupun fatwa bisa jadi rusak dan tidak koheren jika tidak disertai kejelian dalam furûq (al-Qarâfî, 684 H). Al-Mâzirî (536 H) bahkan menobatkan pengetahuan yang mendalam atas furûq sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh calon mujtahid. Berbagai diskusi fikih, selama masih bersendikan qiyâs, pun tak akan luput dari tarik-ulur farq di dalamnya. Oleh karenanya, jika ada yang mendaku mewarisi Nabi secara intelektual (baca: ulama) tapi tidak memahami nalar ini, dakwanya pastilah tertolak. Dari sini, menjadi tak elok jika kita melewatkan fatwa ini begitu saja, tanpa menguliti nalar farq yang dikandungnya.
Sekilas Tentang Furûq Fiqhiyyah
Kata furûq menginduk pada akar kata yang tersusun dari tiga huruf: fa, ra, dan qaf. Akar kata yang masuk kategori salîm ini menunjukkan makna membedakan dua hal atau memisahkannya (Ibnu Fâris, 395 H). Akar ini berantonim dengan kata jama’a yang memiliki makna leksikal mengumpulkan (Ibnu Manẓûr, 711 H).
Al-Suyûṭî (911 H) mendudukkan furûq fiqhiyah sebagai bagian dari disiplin al-Asybah wa al–Naẓâir. Beliau lalu menjelaskan definisi atas diskursus ini. Beliau berkata, “Furûq adalah satu disiplin ilmiah yang menjelaskan tentang partikel-partikel permasalahan yang digambarkan mirip secara penampakan dan makna, namun punya hukum dan ilat yang berbeda.” (h. 7). Definisi ini nantinya dianggap tidak valid oleh sebagian peneliti. Hal itu disebabkan karena disiplin furûq dianggap lebih luas dari batas-batas yang disebutkan dalam definisi ini dan beliau juga luput dari menyebutkan secara eksplisit batasan dari masalah yang dimaksud, yang dalam hal ini terkhusus dalam masalah fikih.
Al-Bâhisîn (1998) menawarkan semacam definisi untuk menggambarkan unsur-unsur yang ada dalam disiplin furûq. Dikatakan “semacam definisi” karena menurutnya, apa yang ia tawarkan tidak memenuhi syarat-syarat definisi yang disepakati ahli mantik. Beliau menyebut furûq fiqhiyyah sebagai:
Disiplin ilmiah yang membahas bentuk-bentuk perbedaan antara partikel-partikel permasalahan fikih yang secara penampakan sama, namun berbeda secara hukum. Disiplin ini juga memuat penjelasan mengenai sebab-sebab perbedaan tersebut dilihat dari makna-maknanya, hal-hal yang terkait dengannya, sah dan tidaknya, syarat-syarat dan cara menolaknya, perkembangannya, praktiknya, dan buah atau akibat yang muncul darinya.” (h. 25).
Diskursus ini secara bilquwah (potensial) sudah muncul bersama dengan kelahiran syariat itu sendiri. Syariat sejak awal memang mengandung hukum-hukum yang terkesan sama tapi punya status berbeda (al-Bâhisîn, 1998). Di antara contoh yang akrab di telinga kita adalah bagaimana Nabi membedakan antara status air kencing dari bayi laki-laki dengan status kencing bayi perempuan yang sama-sama belum mengonsumsi makanan selain ASI.
Kesadaran akan wujudnya masalah-masalah semacam ini telah ada sebelum era kodifikasi pengetahuan. Hal ini dapat kita jumpai dalam pesan yang di sampaikan Khalifah Umar dalam suratnya kepada Abû Mûsâ al-Asy’arî, “fa’mid ilâ ahabbihâ ilallahi wa asybahihâ bilhaqqi fîmâ tarâh; tujulah permasalahan-permasalah yang mirip dan paling dicintai Allah, juga yang paling ‘mirip’ dengan kebenaran daripada yang lain.” Dalam pesan ini jelas terdapat isyarat bahwa ada partikel-partikel permasalahan fikih yang benar-benar mirip dan itulah yang dinamakan al-Asybah dan ada juga yang secara sekilas mirip namun sebenarnya berbeda. Nah, al-Naẓâîr[1] yang “nyeleneh” inilah yang nantinya menjadi tema pokok dari diskursus furûq fiqhiyyah (as-Suyûṭî, 911 H).
Teknis pemaparan tema ini juga bermacam-macam. Sebagian penulis menjelaskan furûq dalam kerangka istitsna’, caranya dengan menyebutkan satu kaedah atau ḍâbiṭ lalu mengecualikan beberapa partikel hukum yang menyelisihi kaidahnya. Model penjelasan semacam ini lumrah dijumpai di kitab-kitab fikih dan kaidah fikih. Sebagian yang lain menulis tema ini dengan cara menyebutkan partikel-partikel hukum yang terkesan mirip lalu membedakannya. Umumnya, buku-buku yang ditulis dengan model ini dinamai dengan judul yang identik dengan furûq. Termasuk judul yang paling terkenal adalah Anwâr al-Burûq fî Anwâ’ al-furûq. Kitab yang dianggit oleh al-Qarâfî ini menghimpun lebih dari limaratus furûq.
Serba-Serbi Takziah
Secara literal kata takziah berarti menghibur atau menenangkan (al-Bujayramî, 1221 H). Berasal dari mashdar azâ’ yang berarti sabar (al-Râzî, 666 H). Dalam pemaknaan fikihnya takziah mengacu kepada dua hal; pertama pada ajakan atau motifasi kepada yang terkena musibah untuk terus tabah dan tidak putus asa. Yang kedua adalah doa-doa baik untuk si mayit (Zakaria, 926 H).
Dalam praktiknya, takziah memiliki empat kemungkinan. Pertama adalah takziah dari seorang muslim kepada keluarga muslim untuk mayit yang juga muslim. Kedua, takziah dari seorang muslim kepada keluarga muslim untuk mayit nonmuslim. Ketiga, takziah dari seorang muslim kepada keluarga nonmuslim untuk mayit yang muslim. Terakhir, takziah dari seorang muslim kepada keluarga nonmuslim untuk mayit yang juga nonmuslim. Kita tidak akan membahas tiga kemungkinan pertama, sebab rasanya jelas bahwa selama takziah yang dilakukan berkaitan dengan muslim maka hukumnya adalah sunah. Kita akan memusatkan pandangan pada kemungkinan keempat, bagaimana hukumnya?
Jumhur memandang takziah yang masuk dalam kategori keempat berhukum boleh (Dâr al-Ifta’ al-Misriyyah, 2013). Termasuk di dalamnya Syâfi’iyyah, Hanafiyyah, satu pendapat di kalangan Mâlikiyyah, dan salah satu riwayat menurut Hanâbilah. Berbeda dengan yang lain, pendapat yang muktamad di kalangan Hanâbilah adalah keharaman takziah semacam ini.
Ibnu Qudâmah (620 H) menjelaskan bahwa pandangan Hanâbilah ini didasari atas takhrîj[2] kepada masalah menjenguk nonmuslim. Beliau menyebut bahwa Imam Ahmad memiliki dua riwayat berkenaan dengan hukum menjenguk nonmuslim. Yang pertama adalah haram. Hukum ini diputuskan berdasar qiyâs terhadap hukum memulai ucapan salam kepada nonmuslim yang telah dinyatakan keharamannya dalam salah satu hadis. Pendapat inilah yang nantinya diketahui sebagai pegangan madzhab Hambali. Sedangkan dalam riwayat kedua, Imam Ahmad menyatakan bahwa menjenguk nonmuslim berstatus mubah. Hukum tersebut disimpulkan berdasar salah satu riwayat ketika Nabi menjenguk abdinya yang sakit dan ketika itu masih beragama Yahudi, lalu selanjutnya diajak masuk islam.
Dâr al-Iftâ’ (2013) kurang setuju dengan pendapat ini. Menurutnya, takziah dan memulai ucapan salam adalah dua hal yang berbeda. Dalam kasus ini, ilat yang ada di al-ashlu tidak ada dalam al-far’u. Dâr al-Iftâ’ lalu menampilkan farq[3] dengan mengkreasi ilat baru yang menurutnya memiliki nilai munasabah[4] yang lebih atau setidaknya tidak kalah dari ilatnya kalangan Hanâbilah. Ilat tersebut adalah ikrâmun min kulli wajhin; penghormatan total. Bahwa dalam ucapan salam terdapat penghormatan penuh yang juga identik dengan mawadah yang berhukum haram, sedangkan dalam takziah tidak seperti itu.
Apa yang disodorkan Dâr al-Iftâ’ termasuk dalam kategori farq yang secara otomatis membatalkan ilat dari qiyâs rumusan Hanâbilah. Memang, secara umum keabsahan farq sebagai qâdih (pembatal ilat) bergantung pada mazhab pelaku qiyâs, apakah ia menyetujui sahnya dua ilat untuk satu hukum atau tidak, namun kali ini berbeda. Hal tersebut disebabkan karena farq yang ditampilkan oleh Dâr al-Iftâ’ tidak bisa dipisahkan dari ilatnya Hanâbilah hingga dua-duanya dapat disahkan sebagai ilat yang masing-masing berdiri independen. Efeknya mau tidak mau salah satu dari dua ilat tersebut harus digugurkan. Farq model ini termasuk dalam kategori ilat yang dinamakan oleh al-Qarâfî (684 H) sebagai sifat al-Sifat (sifatnya sifat).
Dâr al-Iftâ’ (2013) selanjutnya mengategorikan perbuatan ini sebagai ihsan atau birr (perbuatan baik) yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Pandangan ini turut mengamini pendapat al-Qarâfî dalam caranya membedakan antara birr yang dianjurkan dan mawadah yang dilarang syariat. Dalam kenyataanya baik birr maupun mawadah sama-sama dinyatakan dalam perbuatan baik kepada nonmuslim. Rincianya, jika dalam perbuatan baik tersebut ada indikasi penghormatan kepada syiar-syiar kekufuran ataupun sebentuk rasa cinta pada orang yang ingkar kepada Tuhan, maka perbuatan yang nampaknya indah dan menenteramkan ini dihukumi haram dan pelakunya berdosa. Jika tidak seperti itu, maka diperbolehkan.
Al-Qarâfi (984 H) lebih lanjut memberikan penjelasan yang akan mengantarkan kita pada ihsan dan secara jelas bisa menjadi fâriq (pembeda) dari mawadah yang dinyatakan haram dalam nas syariat. Bahwa segala perbuatan baik yang pantas dilakukan oleh ayah pada anaknya, tuan pada hambanya, atau manusia yang derajatnya lebih tinggi kepada manusia yang berkedudukan di bawahnya adalah ihsan yang diperintahkan syariat. Perbuatan baik dengan jenis ini misalnya: menolong mereka di saat kesusahan, menjaga mereka dari penindasan, memberi nasihat pada mereka, mendoakan agar mereka log in sehingga turut mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya, dan lain sebagainya. Masuk di dalamnya takziah yang sedang kita bahas.
Akhirnya, dari sini kita dapat menarik benang bahwa Dâr al-Iftâ’ menguatkan pendapat bolehnya takziah kepada nonmuslim melalui dua argumen yang terhitung masih satu rumpun. Dua-duanya adalah wujud kejelian dalam nalar farq, dengan mengidentifikasi lalu membedakan antara hal-hal yang dari jauh terlihat mirip namun dari dekat terlihat berbeda. Kejelian semacam inilah yang diharapkan nantinya akan diwariskan, dan penulis yakini pasti akan diwarisi oleh generasi selanjutnya.
[1] al-Naẓâîr: partikel-partikel permasalahan fikih yang punya kemiripan.
[2] Takhrîj yang dimaksud di sini adalah takhrîj al-furû’ ala al-furû’ yaitu aktivitas istinbat hukum dari furuk yang ada dalam nash seorang imam mujtahid untuk menemukan hukum yang belum ada nashnya (al-Bâhisîn, 1441 H).
[3] Farq adalah tindakan mengkreasi makna munasib yang ada dalam dalam salah satu dari al-ashlu atau al-far’u tapi tidak ada dalam yang lain (al-Qarâfî, 684 H).
[4] Munasabah dalam bab qiyâs memiliki dua arti tergantung pada mazhab pelaku qiyâs. jika ia tergolong Muallilin maka definisinya adalah sifat atau perbuatan yang mengantarkan kepada maslahat atau menolak mafsadat. Jika ia tidak termasuk golongan tersebut maka definisinya adalah sifat atau perbuatan yang terkait dan mengantarkan kepada suatu hal yang bisa menimbulkan maslahat atau menolak mafsadat (al-Subkî, 771 H).