Sebelum saya mendengar Afghanistan, Taliban, dan beberapa pria bergamis yang berlarian mengiring pesawat Amerika dua pekan lalu, saya telah mengenal Sayid Jamaluddin al-Afghani. “al-Afghani”, artinya “yang berkebangsaan Afghanistan”. Lakab itu tampak gagah disematkan kepada Jamaluddin, guru agung dari Muhammad Abduh yang kemudian dikenal sebagai penyeru pembaharuan abad ke-19 dan penggagas metode baru atas tafsir al-Quran. Begitulah awal mula saya mendengar Afghanistan.
Kesan demikian adalah sama seperti harumnya Yunani sebagai tanah kelahiran filsafat berkat Socrates, Plato, dan Aristoteles. Dari sini, bisa dimengerti bahwa tokoh, gagasan, dan tempat geografis mempunyai keterkaitan satu sama lain. Gramsci pernah berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah geografi. Amerika, misalnya disebut Amerika karena identitas ke-amerika-annya. Indonesia, bahkan Palestina yang diperebutkan hingga kini ialah persoalan geografis. Kita tak perlu mencari tahu relevansi teori Gramsci di sini. Yang lebih menarik adalah bagaimana wajah pemikiran Sayid Jamaluddin al-Afghani dan wajah Afghanistan itu sendiri.
Pada abad ke-9 Hijriah, Ibnu Khaldun mengingatkan,
“Mari mengambil pelajaran dari Baghdad, Cordoba, Qayruwan, Basrah dan Kufah. Ketika semuanya maju dalam segi urbannya maka Islam hadir dengan kebesaran peradabannya. Lihat pula bagaimana kemudian berkilau keilmuan Islam, mereka mengembangkan fan-fan ilmu pengetahuan, membentuk istilahnya masing-masing beserta metode pengajarannya. Penemuan hal-hal baru. Semua itu menunjukkan martabat orang-orang terdahulu dan berlangsung hingga orang mutakhir. Akan tetapi saat peradaban mereka menyusut, dan para penduduknya mulai terpecah-belah, sirnalah kebesaran itu dalam sekejap saja. Ilmu-ilmu dan pengajaran pun ikut menghilang pula.”
Kemudian Ibnu Khaldun melanjutkan, “… tapi telah sampai kabar kepadaku bahwa orang-orang Timur masih merawat kekayaan ilmu pengetahuan itu, khususnya daerah non-Arab seperti Irak dan sekitarnya, juga daerah-daerah Transaxonia (bilâd mâ warâ’an nahr), yang masih menjadi pusat ilmu-ilmu aqliyat.”
Jamaluddin Afghani hidup di dataran Asia Tengah pada abad ke-14 H. Rupanya ia sempat merasakan, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Fadl Ibnu Asyur, apa yang oleh Ibnu Khaldun disebut warisan ilmu-ilmu aqliyat itu.
Al-Afghani tumbuh berkembang dengan ilmu-ilmu aqliyat (hikmah) seperti buku-buku karangan Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Fakhruddin al-Razi, Ibnu Khaldun, Suhrawardi, al-Syairazi, al-Adludl al-Iji, al-Dawwani, dan Sa’duddin al-Taftazani. Al-Fadl Ibnu Asyur mengatakan, kitab-kitab filsafat semacam itu masih terjaga dan diajarkan di negara-negara non-Arab dari dataran Iran sampai ke India. Di saat yang sama, negara-negara Arab sudah tidak mengajarkan ilmu seperti itu.
Pada 1271 H, tepat di usianya yang kedelapan belas ia pergi India. Di sana, ia belajar ilmu matematika yang sudah dipengaruhi oleh gaya Eropa modern. Selama menetap di India itulah ia menyaksikan nasib umat yang ditindas oleh penjajahan Inggris. Al-Afghani tercengang melihat betapa sejarah masa lalu umat Islam begitu mentereng ternyata kini tunduk di bawah kuasa liyan. Rasa gelisah terus membayangi hingga kemudian ia berhaji dan kembali ke tanah kelahirannya pada 1273 H.
Politik, sarana pembaharuan al-Afghani
Setibanya di Afghanistan, Jamaluddin bergabung dengan dunia politik yang saat itu di bawah kuasa Pangeran Muhammad A’dzam Khan. Al-Afghani mendapat posisi istimewa sebagai wazir yang berada di Kabul. Saat terlibat dalam pemerintahan itulah ia menyaksikan intrik-intrik antara penguasa dan kolonial, pengkhianatan dan melemahnya sikap amanah yang membuat orang Islam mudah dikuasai oleh penjajah.
Al-Afghani beriktikad mengubah keadaan. Untuk bisa mencapai perubahan itu, ia merasa harus bergerak. Pada 1285 H, al-Afghani memutuskan pergi ke India untuk kali kedua. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga pada 1288 H, ia pergi ke Mesir untuk kedua kalinya. Ia menetap selama delapan tahun. Di Mesir inilah ia bertemu dengan murid jeniusnya, Muhammad Abduh.
Selama delapan tahun di Mesir al-Afghani mengajar ilmu kalam level tinggi seperti al-‘Aqâid al-Nasafiyyah beserta syarahnya oleh al-Taftazani; al-‘Aqâid al-‘Adludliyyah beserta syarah al-Dawwani; al-Tawdlîh beserta hasyiyahnya, al-Talwîh oleh al-Taftazani. Di dalam fan mantik ia mengajar syarah Quthb al-Syairazi atas al-Risâlah al-Syamsiyyah dan al-Mathâli’ karangan al-Armawi. Di dalam tasawuf dan hikmah ia mengajar al-Isyârât wa al-Tanbîhât anggitan Ibnu Sina dan Hikmat al-Isyrâq buah tangan Suhrawardi.
Satu hal yang melekat pada diri Afghani adalah spiritnya dalam mereformasi ajaran agama Islam. Posisi al-Afghani sebagai reformis kadang disamakan dengan Locke sebagai penggagas liberalisme dan Descartes dalam aliran rasionalisme. Pokok pemikirannya dalam islah adalah ajakan kembali kepada al-Quran. Ia berpendapat bahwa, “Al-Quranlah satu-satunya penyebab turunnya hidayah, asas dari reformasi, dan jalan menuju kebangkitan umat.” Baginya, modal utama pembaharuan ialah belajar dari sejarah. Arab sebelum Islam adalah bangsa yang tertinggal. Berkat akidah pembebasan yang dibawa agama Islam, dalam waktu setengah abad bangsa Arab melesat, berubah menjadi bangsa berperadaban tinggi dan maju secara keilmuan di berbagai bidang.
Ia juga mengatakan, “… manusia adalah hewan yang bertamadun sebab agama. Ia tidaklah bertamadun sebab tabiat alamiahnya sendiri.” Sebab itu ia berpendapat, “Sesungguhnya kita semua, wahai kaum Muslimin, andaikan maju dan berperadaban tapi tidak melalui jalur agama dan al-Quran, maka hal itu bukanlah kebaikan atas kita.”
Al-Afghani memiliki pandangan bahwa agama Islam secara substansi melambangkan keluhuran. Ia ingin menegaskan bahwa timbulnya kekacauan pasti dipantik oleh buruknya situasi politik dan pemikiran-pemikiran yang sesat seperti batiniyah dan dahriyah. Pemikiran-pemikirannya itu tertuang dalam risalah yang ia tulis dalam bahasa Persia di India, yang kemudian dialih-bahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Fî al-Radd ‘ala al-Dahriyyîn.
Di samping itu, al-Afghani juga menyerukan pembaharuan rakyat (ishlâh al-ra’iyyah) dari para pemimpin yang sewenang-wenang. Pembebasan rakyat menurutnya sangat penting. Bagaimana mungkin hukum bisa berjalan jika rakyatnya masih timpang? Al-Afghani meyakini bahwa reformasi rakyat bisa terlaksana salah satunya dengan pendidikan. Sumber daya umat Islam harus terus menerus berkembang.
Seperti yang dituliskan di atas, al-Afghani bisa dibilang peletak dasar spirit islah pada abad ke-14 H. Ia lah sosok berpengaruh di belakang Muhammad Abduh, bapak pembaharuan di Mesir.
Afghanistan kini
Di muka kita sebutkan bahwa tanah kelahiran menyimpan makna yang kompleks. Kaitannya dengan al-Afghani, tokoh pembaharu Afghanistan, bagaimana wajah Afghanistan itu sendiri?
Tidak ada yang tahu secara pasti bagaimana Afghanistan pasca-penguasaan Taliban dan penarikan AS atas pasukan militer yang dikirim sejak dua dekade lampau. Taliban berkuasa di Afghanistan sejak 1996. Pada 2001, ia ditumbangkan oleh AS. Taliban dituduh menyembunyikan Osama bin Laden, petinggi al-Qaeda, aktor di balik runtuhnya WTC pada 11/9 2001 silam.
Taliban sejak awal berhaluan konservatif. Saat berkuasa, ia memaksakan bentuk negara yang berlandaskan syariat Islam. Pihak yang paling terdampak dari visi penegakan syariat itu ialah perempuan. Mereka dilarang sekolah, tak mendapat suara, tak boleh berekspresi, kehilangan profesi, tak boleh bersolek dan terpaksa menjauhi fotografi.
Namun, Afghanistan tak melulu soal Taliban. Ada juga al-Qaeda. Tersebab kelompok yang dipimpin oleh Osama bin Laden inilah, banyak jihadis Indonesia yang pergi ke Afghanistan semenjak tahun 80-an. Afghanistan menjadi surganya para jihadis Indonesia pada rentang 1996-1997, saat dimana Taliban berafiliasi dengan al-Qaeda yang sebelumnya sempat berseberangan. Kelompok inilah, yang disebut JI, yang terlibat dalam serangkaian aksi teror seperti Bom Bali, dan Bom Kedutaan Besar Australia.
Afghanistan hari ini sebagaimana identik dengan Taliban, al-Qaeda, ia juga merupa tanah konflik kekuasaan selama empat puluh tahun lamanya. Kita, yang terbiasa hidup di Indonesia dengan segala kenyamanan, tidak bisa membayangkan itu. Beberapa waktu yang lalu seorang teman dari Libya mengeluhkan kondisi negaranya tersebab konflik internal yang tengah berlangsung selama sepuluh tahun. Baru sepuluh tahun, ia merasa negaranya jauh tertinggal dari negara lain, seperti Mesir misalnya.
Bagaimana dengan kerugian konflik di Afghanistan?
Dari sini, kita melihat sesuatu yang aneh. Antara al-Afghani, “seorang Afghanistan”, dengan Afghanistan itu sendiri seolah adalah dua kutub yang berbeda. Ide-ide al-Afghani yang diadopsi oleh Muhammad Abduh dan berhasil ia terapkan di Mesir juga para pemikir muslim di berbagai penjuru dunia, rupanya asing di negeri sendiri.
Terakhir, mari kita mengambil pelajaran dari konflik Afghanistan dengan merenungkan ulang kutipan al-Afghani, ‘seorang Afghanistan’ itu:
“Jika ada yang berkata:
jika agama Islam adalah seperti yang kau ceritakan (agama sebagai penyebab dari kesejahteraan yang sempurna), lalu bagaimana dengan keadaan kaum Muslimin yang terpuruk saat ini?
Maka jawabannya:
Kaum Muslimin seperti itu sebagaimana (laku) keberadaannya. Mereka telah mencapai kemuliaan tersebab agamanya, dan dunia cukup tahu akan kebenaran sejarah itu. Sekarang, aku cukupkan diriku dengan firman mulia ini:
‘Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (al-Ra’d: 11)’.”
Editor: Hamidatul Hasanah
Ilustrator: Khairuman