Ibadah merupakan manifestasi penghambaan makhluk kepada Allah Swt. Ia menjadi bukti syukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Sang Pencipta kepada hamba-Nya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa salah satu cara bersyukur dengan jawarih (anggota tubuh) adalah menggunakan segala nikmat dalam ketaatan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, ibadah dapat dikategorikan sebagai bentuk syukur karena esensinya adalah ketaatan kepada Allah Swt. Selain itu, tujuan penciptaan makhluk tidak lain adalah untuk menyembah-Nya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat [51]: 56, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.”
Ibadah memiliki beragam bentuk, baik yang bersifat mahdhah (terikat aturan syariat) maupun ghairu mahdhah (tidak terikat aturan secara langsung). Salah satu ibadah fundamental yang pertama kali dipertanyakan di alam kubur adalah shalat, yang merupakan rukun Islam kedua. Kewajiban shalat telah ditegaskan secara qath’i (pasti) dalam Al-Qur’an dan disebutkan berulang kali dalam beberapa ayat, salah satunya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 43, “Dan dirikanlah shalat.” Meskipun seluruh kaum Muslim sepakat mengenai kewajiban shalat, dalam praktiknya terdapat berbagai perbedaan. Hal ini disebabkan oleh beragam interpretasi ulama dalam memahami hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Salah satu perbedaan yang cukup populer dan masih menjadi perdebatan di kalangan umat Islam, terutama di Indonesia, adalah qunut dalam shalat Subuh.
Sering kali kita mendengar perbincangan di masyarakat seperti, “Di masjid itu shalat Subuhnya tidak pakai qunut, pasti imamnya dari golongan tertentu.” Bahkan, sebagian masyarakat enggan bermakmum kepada imam yang tidak membaca qunut. Fenomena ini berpotensi menimbulkan ta’ashshub (fanatisme) terhadap kelompok tertentu serta menutup diri dari pendapat lain. Terkadang, masyarakat awam menganggap bahwa qunut adalah ciri khas suatu golongan tertentu, sedangkan tidak membaca qunut adalah ciri khas golongan lainnya. Padahal, perbedaan ini sejatinya bersumber dari empat mazhab fikih yang diakui, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Untuk memahami perbedaan ini secara komprehensif, perlu ditelaah pandangan para ulama mengenai qunut dalam shalat.
Secara bahasa, qunut memiliki beragam makna, di antaranya adalah ketaatan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ahzab [33]: 35, “…dan laki-laki yang qanitat (taat) serta perempuan yang qanitat…” Makna lain dari qunut adalah berdiri, sehingga berdiri lama dalam shalat disebut qunut, sebagaimana hadis Rasulullah Saw., “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim). Adapun menurut istilah, qunut adalah doa yang diucapkan pada waktu tertentu dalam keadaan berdiri di dalam shalat.
Para ulama membagi pembahasan qunut menjadi tiga jenis, yaitu qunut nazilah, qunut dalam shalat witir, dan qunut dalam shalat Subuh. Qunut Nazilah adalah qunut yang dilakukan ketika umat Islam menghadapi musibah besar seperti peperangan, wabah, bencana alam, atau peristiwa tragis lainnya. Rasulullah Saw. pernah membaca Qunut Nazilah ketika mendoakan kehancuran bagi pembunuh para sahabat penghafal Al-Qur’an dalam tragedi Bi’ru Ma’unah. Mayoritas ulama sepakat bahwa membaca Qunut Nazilah hukumnya sunnah, tetapi mereka berbeda pendapat dalam penerapannya. Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki berpendapat bahwa Qunut Nazilah sunnah dilakukan dalam semua shalat fardhu. Namun, Mazhab Hanbali mengecualikan shalat Jumat karena sudah ada doa dalam khutbah. Sementara itu, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa membaca Qunut Nazilah hanya sunnah dalam shalat fardhu yang jahr (bacaan dikeraskan), yaitu Subuh, Magrib, dan Isya’. Imam An-Nawawi lebih mengunggulkan pendapat jumhur (mayoritas ulama), yaitu Qunut Nazilah sunnah dalam semua shalat fardhu.
Pendapat ulama mengenai qunut dalam shalat witir juga beragam. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa qunut dalam shalat witir hukumnya wajib, dilakukan pada rakaat ketiga sebelum ruku’, dan berlaku sepanjang tahun. Sebaliknya, Mazhab Maliki justru memakruhkan qunut dalam shalat witir. Sementara itu, Mazhab Syafi’i dan Hanbali menganggapnya sunnah dengan sedikit perbedaan. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa qunut dalam shalat witir dianjurkan pada pertengahan akhir bulan Ramadan, sedangkan Mazhab Hanbali memperbolehkan sepanjang tahun.
Qunut dalam shalat Subuh merupakan yang paling sering diperdebatkan di Indonesia. Ulama memiliki dua pandangan utama mengenai hal ini. Sebagian mereka menganggap bahwa qunut dalam shalat Subuh bukanlah sesuatu yang disyariatkan. Menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali, hadis yang menyebutkan Rasulullah Saw. berqunut dalam shalat Subuh telah dimansukh (dihapus hukumnya) oleh ijma’. Sementara itu, Mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa qunut dalam shalat Subuh hukumnya sunnah. Mereka berdalil dengan hadis riwayat Anas bin Malik yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. selalu berqunut hingga akhir hayatnya. Meskipun sepakat akan kesunahannya, terdapat perbedaan antara kedua mazhab ini. Mazhab Syafi’i menganggap qunut Subuh sebagai sunnah ab’adh (sunnah yang dianjurkan sujud sahwi jika lupa), dilakukan setelah ruku’, dan dibaca secara jahr (keras). Sementara itu, Mazhab Maliki menganggapnya mustahab (dianjurkan), lebih utama dibaca sebelum ruku’, dan dilakukan secara sirr (pelan).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa qunut terbagi menjadi dua jenis: qunut rotibah, yaitu qunut yang dilakukan dalam shalat Subuh serta witir pada bulan Ramadan, dan qunut nazilah, yaitu qunut yang dilakukan saat terjadi musibah besar. Perbedaan pendapat ulama ini seharusnya dapat meluruskan perspektif masyarakat agar tidak saling menyalahkan dalam persoalan qunut, terutama dalam shalat Subuh. Sikap saling menghormati dan bertoleransi perlu dikedepankan. Sebagaimana pendapat Sufyan Ats-Tsauri yang dikutip oleh Imam At-Tirmidzi, “Qunut dalam shalat Subuh itu baik, dan tidak berqunut juga baik.” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berqunut dalam shalat Subuh adalah benar, tidak berqunut juga benar, dan yang tidak benar adalah orang yang meninggalkan shalat Subuh.
Daftar Pustaka
Al-Misriyyah, Dar al-Ifta’, Mausu’ah al-Fatawa al-Mu’assholah, (Kairo, Al-Qohiroh, 2013).
Hujjah al-Islam, Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, (Damaskus, Dar al-Faiha’, 2019).
Ibnu Rusyd, Muhammad al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut, Dar Ibn Hazm, 1995).
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus, Dar al-Fikri, 1989).
Al-Nawawi, Zakaria Yahya, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, (Amman, Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 2005).
Ibn Matron, Sholih, Al-Dalalah an-Nafi’ah ‘ala Ma’ani al-Risalah al-Jami’ah wa at-Tadzkiroh an-Nafi’ah, (Kairo, Dar al-Sholih, 2017).