Numesir
  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Ubuddiyah
  • Sejarah
    • Laporan Kajian
    • Tokoh
    • Terjemah
    • Resensi
No Result
View All Result
NU Mesir
  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Ubuddiyah
  • Sejarah
    • Laporan Kajian
    • Tokoh
    • Terjemah
    • Resensi
No Result
View All Result
NU Mesir
No Result
View All Result
Home Kolom

Fajrul Islam dan Kisah Qushay

Abimanyu by Abimanyu
9 November 2021
in Kolom
0
0
SHARES
353
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Sependengaran saya dari orang-orang yang lebih tua, Fajr al-Islâm sudah seharusnya dibaca oleh kawan-kawan mahasiswa al-Azhar sejak ia pertama kali menginjakkan kakinya di Mesir. Fajr al-Islâm karangan Ahmad Amin sedang ramai dibicarakan di beberapa forum kajian. Setahu saya lebih kurang terdapat tiga forum; Lakpesdam Intensif, Fatayat Study Club dan Sinar Muhammadiyyah. Setiap merampungkan bab dalam buku ini, kawan-kawan Lakpesdam Intensif mengernyitkan dahi dan mengungkapkan perasaan heran sekaligus sayang. Heran karena buku ini dengan lantang menceritakan kembali tumbuh kembang nalar berpikir (saya sebenarnya lebih suka memakai kata intelektual dalam arti totalitas pengertian atau kesadaran yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Akan saya pakai untuk seterusnya) orang Arab dari zaman pra-Islam hingga Islam masuk dengan sistematis dan seilmiah mungkin. Sayang, karena buku ini mengandung beberapa kekurangan dalam meletakkan fondasi pertumbuhan dan perkembangan itu atau bahkan tak jarang fondasi itu tidak ternyatakan dalam buku ini.

Mungkin, dalam benak saya, konsentrasi Ahmad Amin di penulisan sejarah intelektual ini, yang saya baca terkesan idealis, yang membuat Ahmad Amin mengabaikan fondasi-fondasi material seperti lanskap geografis dan kemampuan produksi orang-orang Arab dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dan justru fokus pada kategorisasi bangsa dan percampuran kultur. Dalam Hayâtî, Ahmad Amin berkata: “Ilmu pengetahuan memodifikasi dan menggantikan yang lama dengan yang baru… pemikiran semacam ini mengantarkanku kepada pendahuluan untuk proyek besar dalam penelitian yang aku lakukan bersama Dr. Taha Hussein, Profesor Abdul Hamid al-Abadi dan aku sendiri. Ringkasnya adalah kita memahami kehidupan Islam dari tiga aspek selama berabad-abad dari kemunculan pertama Islam. Dr. Taha Hussein  berkonsentrasi kepada kehidupan sastra, Profesor Abdul Hamid al-Abadi kepada kehidupan historis, dan aku berkonsentrasi kepada kehidupan intelektual.”

____

Dalam bab pertama, Ahmad Amin menguraikan kondisi arab pra-Islam yang terbagi menjadi dua; hadlari yang memiliki kultur agraris yang kuat; dan badui yang terjebak dalam wilayah geografis yang terisolasi oleh gurun-gurun yang tak bisa ditanami. Ahmad Amin, seperti halnya Ibnu Khaldun, berpandangan bahwa kondisi yang terisolasi ini membuat prinsip kesukuan atau asabiyah mendominasi intelektual bangsa Arab badui. Dia menceritakan kembali bagaimana orang-orang Arab merespon lingkungannya sendiri sebagai “orang-orang yang mengambil tiang kayu rumah mereka ketika mereka hendak memasak” dan “orang-orang yang terlibat perdagangan hanya karena mereka bisa menunjukkan jalan dan menuntun untanya.”

Orang-orang Arab jahiliah, dalam pandangan Ahmad Amin adalah orang-orang yang sibuk dengan kehidupan yang didasarkan pada kesukuan. Apa yang dimiliki dan diperoleh oleh individu menjadi milik kabilahnya. Mereka menggembala binatang-binatang mereka untuk kabilahnya. Mencederai seseorang adalah mencederai kabilahnya. Ketika kabilah itu hancur maka mereka lari menyandang kabilah yang lain.

Ahmad Amin menggambarkan orang-orang Arab jahiliah sebagai orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk menerima Islam. Bahwa kata ‘kebahagiaan’ ‘senang’ ‘gembira’ adalah kata-kata yang lebih jarang dipakai dibandingkan ‘kesedihan’ ‘perang’ ‘miskin’. Kapasitas intelektual mereka dalam menerima Islam hanya dimungkinkan karena persentuhan mereka dengan bangsa lain; Romawi dan Persia yang dijelaskan olehnya dalam bab kedua. Tak lupa juga migrasi kaum Yahudi dan Nasrani. Ahmad Amin, seperti halnya Ibnu Khaldun, terjebak dalam kategorisasi dan generalisasi atas kategori tersebut.

Dalam pembahasan syair jahili, Ahmad Amin mengatakan bahwa itu adalah syair-syair yang ditemukan dan bisa dipercaya hanya dalam kisaran 150 tahun sebelum Islam datang. Artinya, antara abad kelima dan keenam sebelum masehi. Selebihnya, Jawad Ali, seorang sejarawan Irak, mengatakan bahwa Arab jahiliah mengalami kemandekan. Atas dasar kemandekan itu, ia membagi Arab Jahiliah menjadi dua era. Jahiliah lama dan jahiliah baru. Husain Muruwwah dalam bukunya, al-Naz’ât al-Mâddiyah fî al-Falsafah al-Islamiyyah membaca kemandekan itu bukan berarti kemandekan yang determinan, namun sifatnya dialektis, seperti halnya perpindahan kehidupan jahiliah baru kepada kehidupan islamiah.

Saya kira ini yang luput dari pandangan Ahmad Amin: proses perpindahan dialektis kehidupan suatu bangsa. Generalisasi bahwa prinsip asabiyah adalah ide yang dominan yang dipegang orang-orang Arab tidak salah. Namun, kita tidak bisa membenarkannya secara utuh. Karena dalam kurun pertama Arab jahiliah baru, kita tahu cerita Qushay bin Kilab dalam memimpin Makkah.

____

Dalam beberapa penelitian sejarah, juga ini disampaikan oleh Ahmad Amin, Arab yang berperadaban terletak di bagian selatan Jazirah Arab dimana dominasi kultur agraris sangat kuat. Beberapa kerajaan kuno seperti Saba’, Minea, dan Mukattabah berdiri di tanah Yaman. Mayoritas penduduk, seperti yang saya bilang, adalah petani yang hidup menetap karena iklim Arab Selatan adalah iklim yang cukup tenang.

Dari arab selatan, Bani Jurhum menyebar ke beberapa tempat di Hijaz. Itu karena, konon, mereka mengkhianati Yaman dan terusir dari negara itu. Maka mereka membentuk koloni-koloni termasuk di Madinah, Thaif, dan Mekkah. Bani Jurhum meninggalkan Yaman bukan tentu membuang kultur agraris yang melekat pada tubuh mereka. Mereka melakukan percobaan demi percobaan untuk mencoba mengolah tanah yang mereka tinggali. Dan di beberapa wilayah, tanah-tanah cukup subur untuk ditanami seperti Madinah dan Thaif. Sementara itu Mekkah bergantung kepada gurun nefud saat musim dingin. Mereka mengeluarkan onta-onta mereka dari kandang dan menggembalakannya di sana, saat tetumbuhan gurun tersebar. Dan minum tak lebih dari air sumur Zam-zam

Onta dan sumur Zam-zam adalah primitif di telinga kita. Dan kita mempercayai bahwa orang Mekkah hidup berabad-abad hidup dari onta yang mereka gembalakan sebab kondisi-kondisi alam yang mereka tinggali tidak menyediakan sesuatu selain onta untuk diolah kembali. Namun mereka hidup secara komunal karena mereka adalah tubuh-tubuh dengan jiwa agraris yang kuat. Mereka menggembalakan onta dan kambing. Ada yang sebagai pandai besi agar menyediakan pisau untuk memotong kawanan mereka. Ada yang bertugas memasak dan memerah susu. Mereka melakukan pekerjaan untuk memenuhi pekerjaan lain  agar orang-orang Mekkah sebagai komunitas tetap hidup dan bersatu padu. Kemapanan yang mereka alami selama berabad-abad adalah sebuah hasil pergulatan mereka dengan alam. Namun untuk melihat keberadaan jahiliyah lama saya tidak bisa hanya memegang hipotesa di atas. Ada yang tidak bisa membuat mata saya tertutup; Ka’bah.

Namun Ka’bah bukan lah apa-apa di Jazirah Arab sampai Bani Khuza’ah, keturunan Ismail bin Ibrahim, menggantikan Bani Jurhum dalam merawat Ka’bah dan sumur itu. Buku Sejarah yang ditulis oleh Diodorus Siculus menyebutkan bahwa terdapat situs peribadatan dimana orang-orang arab dari berbagai tempat  berziarah di sana. Jawad Ali juga menyebutkan bahwa Alexander agung pernah diajak oleh raja Yaman untuk berziarah ke Makkah. Dia disambut baik oleh pemimpin pada waktu itu, Nadhor bin Kinanah dari Bani Khuza’ah . dengan demikian Kemasyhuran Ka’bah di berbagai penjuru arab mulai relevan ketika Makkah tidak lagi berada di tangan Bani Jurhum, melainkan Bani Khuza’ah , dimana orang-orang arab dari berbagai penjuru berziarah pada bulan tertentu dan mengumpulkan berhala mereka di Mekkah. Kondisi ini, sentralitas Ka’bah sebagai situs ibadah di Jazirah Arab, memungkinkan kemapanan orang-orang Mekkah bertahan lama. Penduduk Makkah, agar komersialisasi situs ka’bah bisa berjalan, perlu memperlakukan peziarah-peziarah dengan hormat dan sopan. Sebagai imbalannya mereka mendapatkan ‘oleh-oleh’ yang dapat mencukupi kebutuhannya. Karena itu lah, air zam-zam mendapatkan bentuknya yang sempurna sebagai pemenuh kebutuhan penduduk Mekkah dan peziarah sudah sejak lampau. dan lama-kelamaan air zam-zam mendapatkan bentunya yang sakral.

Namun pada era Qushay bin Kilab, Mekkah sudah tidak lagi hidup komunal. Mereka sudah mengenal dirham, mata uang perak dari Persia dan dinar, emas dari Romawi. Pandai besi tidak hanya memproduksi pisau dan pacul, melainkan pedang dan panah. Tukang tukang tembikar tak hanya mengurus pot untuk wadah susu, namun untuk perhiasan rumah. Qushay hidup di era pasar Mekkah sudah tidak lagi komunal dan subordinat melainkan individual. Berbagai barang sudah menjadi komoditas yang mandiri. Bahkan kita bisa mendengar kisah-kisah di jahiliyah akhir tentang perebutan sumur-sumur dan waduk. Sumur zam-zam juga pernah didaku milik si ini dan si itu.

Qushay adalah seorang pedagang yang mandiri. Melawat ke suriah dalam karavan kecil dan kembali ke Mekkah, mempersunting gadis bernama Hubbah, putri dari Hulail bin Hubsyiah dari Bani Khuza’ah, pemimpin Mekkah waktu itu. “Ketika Hulail bin Hubshiyah roboh, Qushay sudah memiliki anak. Harta yang dia miliki banyak dan kemuliaannya agung. Hulail berpendapat bahwa Qushay adalah orang yang paling tepat untuk mengurus kakbah dan Makkah”, dalam al-Thabaqât. Sederhana saja, Qushay mendapat tampuk kepemimpinan dengan alasan bahwa dia adalah orang kaya pada waktu itu sama seperti Qushay menyerahkan kepemimpinan kepada Abdul Dar sebab, sebagai bapak, ia kasihan bahwa Abdul Dar hidup miskin. Qushay berharap Abdul Dar, dengan warisan kekuasaan kakbah, bisa menjadi kaya seperti anaknya yang lain Abdul Manaf. Lalu dalam al-Thabari, “Qushay mengurus kakbah dan Makkah… Qushay adalah anak Ka’b bin Luay yang pertama kali menjadi pemimpin Makkah dan ditaati oleh orang-orang… dia membagi Makkah menjadi empat bagian untuk kaum Quraisy. Setiap mereka menempati posisi yang sudah Qushay tentukan.”

Kenaikan Qushay di atas kursi kememimpinan Makkah tidak didasarkan pada asabiyah. Kemenangan perang atas kaum lain tidak lagi menjadi tolok ukur politik orang-orang Makkah. Namun, adalah kekayaan material yang mengubah dimensi orang-orang Makkah kemudian. Sama seperti, di kemudian hari, Hasyim yang meminta pembagian ‘jatah memimpin’ kepada Bani Abdud Dar dan Hasyim lebih terhormat di mata penduduk setelah dia membuka dua jalur dagang dari Makkah dan menjalin perjanjian dengan penguasa-penguasa sekitar.

Saya tidak percaya bahwa kehadiran Islam dilihat sebagai serentetan peristiwa yang tak terduga dan terjadi secara tiba-tiba. Saya percaya bahwa hadirnya Islam di Arab mula-mula bisa diceritakan secara historis dan logis. Menyejarah. Masih banyak contoh lain yang bisa menjelaskan itu, seperti bahasa dan laku sosial, yang tidak mungkin kita bincangkan di wadah sekecil ini. Sementara itu, Fajr al-Islâm masih terbuka untuk dikulik lebih dalam.

Bagaimanapun, Fajr al-Islâm adalah buku sejarah. Sejarah sebagai ‘catatan’ tentang masa lalu yang berarti adalah kajian masa lalu. Di sisi lain, sejarah sebagai ‘rangkaian peristiwa yang sudah terjadi’. Buku ini adalah rangkaian masa lalu intelektual Arab menurut ‘kata’ Ahmad Amin. Buku sejarah adalah cerita masa lalu berdasarkan narasi yang dikarang oleh penulisnya.

Editor: Hamidatul Hasanah
Ilustrator: Khairuman

ShareTweetSend
Abimanyu

Abimanyu

Mahasiswa jurusan Ushuluddin. Almamater Assalafiyah Mlangi. Aktif di Lakpesdam Mesir.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Notula Bincang Santai: Mengenal Korelasi Ilmu Qiraat dan Ilmu Lainnya

Notula Bincang Santai: Mengenal Korelasi Ilmu Qiraat dan Ilmu Lainnya

17 December 2020
Tiga Tokoh yang Membincang Kemukjizatan al-Quran

Tiga Tokoh yang Membincang Kemukjizatan al-Quran

26 February 2020

Menyoal Tafwidl ala Ibnu Taimiyah

22 April 2021
Kidung Kehidupan Ummu Kultsum

Kidung Kehidupan Ummu Kultsum

2 March 2020
Ibnu Sina dalam Politik dan Kedokteran

Ibnu Sina dalam Politik dan Kedokteran

4 March 2022
Kolaborasi PCINU Mesir dan El-Montada dalam Menyemarakkan Harlah Al-Azhar

Kolaborasi PCINU Mesir dan El-Montada dalam Menyemarakkan Harlah Al-Azhar

1 May 2022
Dualisme Hari Raya, Polemik Tahunan Tak Kunjung Padam

Dualisme Hari Raya, Polemik Tahunan Tak Kunjung Padam

29 April 2022
Adakan Lomba Badawiyah; Ajang Memperkenalkan Pelajar NU Mesir

Adakan Lomba Badawiyah; Ajang Memperkenalkan Pelajar NU Mesir

28 March 2022
Open Recruitment Fatayat Study Club 2022; Hidupkan Kajian Masisirwati

Open Recruitment Fatayat Study Club 2022; Hidupkan Kajian Masisirwati

26 March 2022
Menjaga Eksistensi NU Melalui Nahdiyin Betawi

Menjaga Eksistensi NU Melalui Nahdiyin Betawi

23 March 2022

Numesri.net putih

Tentang Kami | Kontak | Redaksi | Kirim Tulisan

Ikuti juga sosial media kami

  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Sejarah
  • Laporan Kajian
  • Tokoh
  • Ubuddiyah
  • Terjemah