Sebagai salah satu agama samawi yang datang paling akhir, Islam tidak sepenuhnya lepas dari interaksi agama samawi lain seperti Yahudi dan Nasrani. Salah satu bukti nyata yang membenarkan relasi tersebut adalah masuknya cerita isra’iliyat ke beranda teks-teks Islam. Isra’iliyat terbukti mampu menjadi sumber penting umat Islam dalam melacak keutuhan cerita umat dahulu yang tidak disebutkan al-Quran secara gamblang. Meskipun tidak sedikit yang masih meragukan keabsahannya, terutama yang berseberangan dengan pilar ajaran Islam. Bahkan ada yang secara tegas menampik keabsahannya dengan dalih ada motif negatif dari para mualaf Yahudi dan Nasrani. Lantas sejauh mana kepercayaan umat Islam dewasa ini terhadap keabsahan isra’iliyat yang masih sayup-sayup, terlebih saat menjumpainya di beberapa buku tafsir dan hadis.
Temuan beberapa hadis yang memuat cerita isra’iliyat dalam beberapa kitab hadis shahih justru mengafirmasi keabsahan isra’iliyat untuk diamini kebenarannya. Namun, ada sebagian kritikus hadis dengan tegas menampik kandungan matan yang terbukti cacat meskipun diriwayatkan oleh pembesar sahabat Nabi. Hal ini tidak terlepas dari esensi isra’iliyat yang masih menjadi kontroversi, bahkan tidak sedikit verifikasi datanya kontradiktif dengan kitab Kejadian (Taurat). Ditambah indikasi terjadinya konflik internal antar kelompok Islam setelah wafatnya Nabi, yang diyakini tidak terlepas dari peran mualaf Yahudi dan Nasrani. Bahkan, isra’iliyat menjadi salah satu senjata politik untuk memuluskan transmisi otoritatif suatu kelompok, sekaligus batu sandungan bagi lawan politik mereka.
Kronologi dan Motif Munculnya Isra’iliyat
Isra’iliyat dalam terminologi ulama tafsir dan hadis dipahami sebagai kisah atau peristiwa umat terdahulu yang ada dalam tafsir dan hadis, bersumber dari agama Yahudi, Nasrani, dan lainya. Bahkan ada yang menganggap hadis-hadis palsu dari orang yang benci dan ingin merusak akidah umat Islam sebagai isra’iliyat, seperti kisah Gharaniq dan Zainab bintu Jahsy. Sebelum isra’iliyat masuk ke dalam teks-teks hadis dan tafsir, kultur budaya Yahudi lebih dahulu masuk ke tatanan sosial dan ruang religi bangsa Arab. Hal itu dimulai sejak umat Yahudi berhasil melarikan diri dari penyiksaan Titus Romawi pada tahun 30 SM. Mereka berbondong-bondong masuk ke Jazirah Arab, sehingga mampu menciptakan kultur baru yang sekaligus merepresentasikan ajaran agama dan nenek moyang mereka.
Dalam potret sejarah, umat Islam berhasil hidup rukun berdampingan dengan umat beragama lain, meskipun terkadang tersulut konflik di antara mereka, seperti saat Nabi meminta bantuan sahabat untuk mengusir umat Yahudi, Bani Nadir, yang ingin berkhianat (Jabiri, 2000). Begitu pun saat umat Yahudi, Bani Quraidah, berusaha memberontak dan merusak perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Umat Islam juga tidak sepenuhnya pasif dalam berinteraksi dengan umat Nasrani, bahkan Nabi tahu betul seluk-beluk mereka dari relasi bisnis, sebagaimana yang diketahui Quraish. Nabi juga pernah menyepakati perjanjian damai dengan mereka sampai akhirnya dideportasi oleh Umar ke Irak.
Peristiwa hijrah kaum Muhajirin ke Habasyah (Ethiopia) selama bertahun-tahun memungkinkan umat Islam untuk melihat dan mengamati ajaran umat Nasrani. Hanya saja, tidak ditemukan bukti salinan maupun terjemahan yang memotret langsung cara umat Islam melihat kitab agama mereka (Dzahabi). Begitu pun tidak ditemukan kitab terjemahan Taurat yang berbahasa Arab. Meskipun begitu, bukan berarti menafikan adanya penyerapan ajaran Taurat dan Injil ke dalam Islam. Walau tidak secara langsung, proses penyerapan ajaran Taurat dan Injil serta riwayat yang masuk dalam tafsir dan hadis menjadi sangat penting untuk dicermati, karena kebanyakan mampu meresap menjadi corak baru bernuansa Islam yang sulit dilacak sumbernya (Syarofi, 1986).
Hukum menerima isra’iliyat sendiri masih menjadi perdebatan, ada yang menolak karena banyak riwayat ahli kitab tidak lagi sesuai dengan ajaran dan akidah Islam sebagaimana yang diceritakan al-Quran (Syarofi, 1986). Dalam hadis, juga disebutkan bahwa Nabi melarang umatnya untuk membenarkan riwayat ahli kitab maupun mendustakannya. Adapun yang menerima berpijak pada ayat al-Quran yang menyebut umat Islam boleh merujuk kepada ahli kitab jika ingin mengetahui keutuhan kisah umat terdahulu. Umar ibn Khattab juga pernah mendengarkan cerita dari ahli kitab yang telah masuk Islam pada masa Nabi, hingga banyak sahabat yang turut menirunya.
Dalam identifikasi Abu Royyah, wajar bila umat Islam merujuk pada ahli kitab karena relasi antara mereka semakin kuat. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan pemuka Yahudi yang telah masuk Islam. Sehingga banyak ditemukan hadis palsu yang disandarkan pada Nabi, diriwayatkan oleh para sahabat seperti Abu Hurairah dan Abdullah Ibn Amr (Royyah). Keterbatasan sumber yang didapat dari sahabat, juga menjadi sebab umat Islam bertanya kepada ahli kitab yang memiliki pengetahuan lebih dari pada mereka. Masyarakat Arab sendiri dikenal sebagai orang badui yang buta huruf, sehingga ketika ingin mengetahui peristiwa alam semesta dan rahasia kehidupan, mereka mesti bertanya kepada ahli kitab Yahudi dan Nasrani (Khaldun, 2000).
Ada tiga tokoh sentral yang aktif menyebarkan cerita isra’iliyat ke dalam teks tafsir dan hadis. Mereka adalah Abdullah Ibn Salam; tokoh Yahudi Madinah yang masuk Islam pada masa Nabi, Ka’ab al-Ahbar; pemuka Yahudi Yaman yang masuk Islam pada masa Abu Bakar, dan Wahab Ibn Munabbih; sejarawan keturunan Persia yang menetap di Yaman (Royyah). Ketiganya memiliki andil besar dalam hubungan agama, politik, dan sosial dengan umat Islam. Terlebih sebagai sumber rujukan dalam mengetahui kisah, teologi, dan ajaran umat-umat terdahulu yang hanya diketahui ahli kitab. Oleh karena itu, sangat mungkin bagi mereka untuk memodifikasi bentuk ajaran Yahudi ke nuansa Islam. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berhasil mereduksi isi isra’iliyat dalam teks-teks hadis dan tafsir (Ridha, 1947).
Lebih lanjut, Royyah memaparkan keberhasilan agamawan Yahudi memperdaya umat Islam dengan berkedok sebagai seorang muslim. Mereka mampu merasuki intelektualitas umat Islam dengan memalsukan banyak hadis yang disandarkan pada Nabi, karena minimnya riwayat tentang pengetahuan masa lampau dari al-Qur’an dan hadis, serta sedikit sahabat yang mengetahuinya. Strategi yang mereka gunakan dalam memanipulasi teks hadis juga sangat cerdik dan sulit diketahui umat Islam. Mereka berhasil memikat perawi hadis dari kalangan sahabat untuk meriwayatkan keterangannya, seperti Abdullah Ibn Amr dan Abu Hurairah. Ahmad Amin (2011) berasumsi bahwa Ka’ab ikut terlibat dalam penyerangan Umar hingga terbunuh, meskipun ia agak ragu akan kebenaran ceritanya. Berbeda dengan Royyah, yang meyakini Ka’ab sebagai salah satu bagian dari pembesar kelompok yang bergerilya membunuh Umar. Asumsi tuduhan keduanya ditolak Taha Husain karena tidak terbukti benar dalam sejarah, bahkan Utsman selaku khalifah tidak mencurigainya sebagai pelaku.
Selain dimensi agama, umat Yahudi juga menyerang umat Islam dalam dunia politik sebagaimana yang dilakukan Abdullah Ibn Saba. Ia diyakini sebagai dalang dibalik penyebaran fitnah kepada khalifah Utsman dan provokator dalam menentang Muawiyah. Saba merupakan sumber utama pemikiran Syiah yang banyak memasukkan teologi Yahudi ke dalam ideologi Syiah Ali (Jabiri, 2000). Identitasnya sebagai Yahudi masih diragukan, karena ada maksud merusak agama dan menyebarkan akidah sesat kepada umat Islam. Ia juga berperan besar dalam mencari dukungan ke negara-negara bagian Islam untuk menggulingkah khalifah Utsman (Amin, 2011). Beredarnya hadis isra’iliyat tentang keistimewaan Baitul Maqdis dan wilayah Syam pada masa Umayyah diyakini tidak terlepas dari peran isra’iliyat yang dibawa umat Yahudi.
Salah satu tokoh Nasrani yang berhasil memasukkan ajaran dan akidah agama mereka kepada umat Islam adalah Tamim Ibn Aus al-Dari. Pemeluk agama Nasrani yang masuk Islam pada masa Nabi, dikenal sebagai narator sejarah pertama di masjid Nabi (Amin, 2011). Selain hadis, narator sejarah dulu juga menjadikan isra’iliyat sebagai medium untuk menyukseskan misi mereka. Sebuah kisah mampu diterima dengan mudah dan beredar dengan cepat ke khalayak publik. Karenanya, banyak yang menjadikan kisah sebagai senjata politik dalam gejolak fitnah seperti yang terjadi antara Ali dan Muawiyah. Hal inilah yang menjadikan mitologi Yahudi dan Nasrani marak ditemukan dalam beranda teks-teks Islam.
Meminimalisir Isra’iliyat: Komparasi Sumber dalam Analisa Ridha
Rasyid Ridha merupakan mufasir kontemporer yang terkenal masif mengkritik cerita isra’iliyat dan siapa pun yang terlibat dalam periwayatannya (Dzahabi). Ia dianggap sebagai satu-satunya mufasir kontemporer yang berhasil menyingkap tabir muslihat Ka’ab dan Wahab kepada umat Islam (Royyah). Meskipun dikenal sangat keras dalam menampik isra’iliyat yang disebarluaskan para mufasir, Ridha sebenarnya bermaksud baik ingin menetralkan teks-teks tafsir dan hadis dari mitologi isra’iliyat yang tidak jelas sumber asalnya. Apalagi jika cerita isra’iliyat tersebut berpotensi merusak interpretasi ayat-ayat al-Quran, bahkan mampu membelokkan akidah umat Islam yang berseberangan dengan ajaran Nabi. Sedari awal, Ridha mencurigai motif dua pemuka Yahudi yang masuk Islam, yakni Ka’ab dan Wahab. Keduanya dianggap sebagai biang keladi atas maraknya cerita isra’iliyat ke permukaan khazanah Islam. Tidak sedikit kaum muslimin yang terhasut muslihat licik keduanya, terutama perihal teologi, pengetahuan alam semesta, kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu (Ridha, 1947).
Tidak semua riwayat isra’iliyat yang ada di buku-buku tafsir terbukti benar dan ada sumber asalnya. Ridho menilai, umat Islam perlu meneliti dan memilah riwayat isra’iliyat yang ada dalam tafsir dengan cermat, terutama yang berseberangan dengan ajaran Nabi. Sebab tidak banyak riwayat shahih dalam tafsir datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Kebanyakan justru sampai pada perawi melalui zindiq (orang yang berpura-pura masuk Islam) Yahudi, Persia, dan ahli kitab. Nyatanya, tidak sedikit buku-buku tafsir lama dipenuhi cerita isra’iliyat yang diambil dari kitab suci mereka, serta berisi kisah umat terdahulu selain mereka, seperti kisah Ashab al-Kahfi, kota Rum, dan sihir kota Babel.
Perlu kiranya berhenti membenarkan semua riwayat yang didapat dari perawi isra’iliyat, terutama para sahabat yang terkenal mengambil isra’iliyat dari ahli kitab, seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas (Ridha, 1947). Seperti ketika Ridha mengkritik tafsir dari surat al-Baqarah, ayat 19 أوكصيب من السماء فيه ظلمات ورعد وبرق. Bahwa makna رعد adalah nama malaikat yang menggiring awan, sedangkan برق berarti kilatan cahaya dari cambuk yang dikibaskan malaikat pembawa awan. Interpretasi makna ayat tersebut didaku Ridha sebagai informasi yang diperoleh dari Ka’ab dan Wahab. Karena kedua makna tadi tidak termasuk dalam kajian ilmu al-Qur’an, melainkan bagian dari ilmu alam dan meteorologi yang mampu dipelajari manusia dan tidak bergantung pada wahyu.
Dalam mengkritik riwayat isra’iliyat mufasir lama, Ridha memakai metode komparatif dengan parameter kitab Kejadian (Taurat). Meskipun tidak ada bukti yang melegitimasinya sebagai kitab suci dari Allah SWT dan tidak diketahui dengan pasti siapa penulisnya, Ridha tetap meyakini ada nilai sejarah yang masih relevan untuk diambil darinya. Bahkan ia meyakini bahwa sebagian isi kitab Taurat masih bisa dijadikan pedoman untuk menafsiri sebagian ayat-ayat al-Quran. Ridha menampik semua riwayat isra’iliyat yang tidak sesuai dengan kitab Taurat, meskipun diriwayatkan oleh para sahabat Nabi. Baginya, isi kandungan kitab Taurat lebih berkemungkinan benar dari pada riwayat sahabat yang didapat dari para zindiq Yahudi dan ahli kitab. Pembatasan dalam metode inilah yang menjadikan Ridha berani mengkritik riwayat isra’iliyat yang masuk dalam tafsir. Seperti kisah isra’iliyat Nabi Nuh dalam surah Hud yang dinilai hanya fiktif belaka. Semua yang disebutkan mufasir meliputi ciri-ciri bahtera Nabi Nuh dan keberhasilan setan masuk ke dalam bahtera, hanya sebatas cerita fiksi isra’iliyat yang mesti dihindari umat Islam.
Alih-alih merestorasi sebagaimana mestinya, Ridha justru mendapat banyak kritik dan dianggap tidak cukup adil karena kitab suci ahli kitab sudah jelas mengalami reduksi dan distorsi yang cukup besar (Dzahabi). Bahkan ada sebagian isinya yang mendapat kritik tajam dan bantahan dari beberapa kitab hadis shahih, sehingga dengan ini Ridha sudah dianggap tergelincir oleh metodenya sendiri. Dzahabi melihat apa yang dilakukan Ridha dalam menolak semua riwayat isra’iliyat mufasir adalah hal yang aneh. Apalagi sampai menolak riwayat hadist shahih dan masih menganggapnya sebagai bagian dari fiksi isra’iliyat meskipun tidak ada kontradiksi di dalamnya. Seperti hadis marfu’ (disandarkan pada Nabi) yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam kitab Bukhori dan Muslim :
(( قيل لبني إسرائيل : أدخلوا الباب سجدا وقولوا حطة فدخلوا يزحفون على أستاههم وقالوا : حنطة، حبة في شعرة ))
Dikatakan pada Bani Israil; Masuklah kalian ke pintu gerbangnya (Bait al-Maqdis) sambil membungkuk, dan katakanlah; Bebaskanlah kami (dari dosa-dosa kami). Lalu mereka masuk sambil merangkak. Kata mereka; “Hinthah, adalah biji gandum”.
Meskipun termuat dalam kitab Bukhori, Ridha masih menyangkal keshahihan hadis ini, karena diduga didapat dari Himam Ibn Munabbih saudaranya Wahab, keduanya merupakan tokoh isra’iliyat dalam asumsi Ridha. Abu Hurairah sendiri tidak menyebut langsung hadis ini disandarkan pada Nabi, sehingga memungkinkan didapat dari Ka’ab, sekalipun ia sendiri merupakan salah satu perawinya.
Normalisasi Isra’iliyat: Identitas Tokoh dalam Otentitas Islam
Asumsi yang digiring Ridha, Royyah, dan Amin mengenai identitas para pemuka Yahudi, menjadikan kedudukan hadis yang disandarkan kepada Nabi dan sahabat dipertanyakan elektabilitasnya. Hadis-hadis yang berkaitan dengan tanda-tanda kiamat, seperti Jassasah, kemunculan Dajal, dan turunnya Nabi Isa atau Imam Mahdi, kebanyakan didapat dari ahli kitab yang telah masuk Islam, bahkan diriwayatkan kitab hadis shohih (Syuhbah, 1989). Teka-teki kemunculan Dajal dan turunnya Imam Mahdi menjadi topik perbincangan yang paling diminati antar kelompok Islam, walaupun keberadaannya mendapat kritikan dari Ibn Khaldun karena tidak didukung oleh riwayat hadis shohih lain. Ridha menduga bahwa cerita isra’iliyat Imam Mahdi yang dibawa mualaf Yahudi berhasil memecah belah kelompok-kelompok Islam. Oleh karenanya, ia tidak melegitimasi hadis mauquf dari tabi’in sebagai hadis marfu’, bahkan tidak memperbolehkannya dijadikan pijakan hukum.
Minimnya riwayat isra’iliyat dari Nabi dalam memahami tafsir ayat al-Quran menginisiasi sahabat untuk melakukan ijtihad sendiri, salah satunya dengan merujuk kepada ahli kitab. Sehingga lambat laun riwayat tafsir mengalami penggemukan dari masa sahabat sampai masa tabi’in (Amin, 2012). Menurut Amin, riwayat yang disandarkan pada Nabi dan sahabat sejatinya merupakan maudhu’ (palsu), akan tetapi nilai ilmiahnya tidak hilang karena hasil ijtihad dan observasi yang berkemungkinan benar. Isra’iliyat sejatinya tidak hanya sebatas kisah fiksi dan karangan semata, ia memiliki dasar yang jelas, telah diidentifikasi, dan sarat akan nilai, meskipun sanadnya tidak mapan. Di sisi lain, ia bisa dijadikan parameter untuk mengetahui relasi umat Islam dengan ahli kitab dan aktivitas mereka sebelum masuk Islam (Amin, 2012).
Perbedaan Ridha dengan mufasir lain yang tidak sejalan dengan Taurat tidak terlepas dari asumsi negatifnya terhadap identitas ahli kitab yang telah masuk Islam. Begitu pun asumsi negatif yang dilayangkan Royyah kepada mereka dan sahabat yang telah meriwayatkan ceritanya. Hal ini justru membantah metode komparatif Ridha, yang secara eksklusif menyebut ada relevansi Kitab Kejadian (Taurat). Padahal sebenarnya, ia bermaksud ingin menafikan identitas ahli mitologi agama Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam, sebagai medium utama dalam mengetahui tafsir cerita umat terdahulu yang tidak terlalu detail. Jika ditilik dari interaksi Nabi dan sahabat dengan mualaf ahli kitab, tidak terlihat ada kecurigaan umat Islam akan niat buruk mereka. Terutama sebagai biang keladi atas maraknya fiksi isra’iliyat yang berhasil dimodifikasi untuk merusak akidah dan ajaran umat Islam.
Anehnya, Nabi justru menjalin hubungan baik kepada Abdullah Ibn Salam, sampai memuji kedalaman ilmunya, bahkan memberitahu balasan surga untuknya. Tidak sedikit sahabat Nabi berduyun-duyun datang untuk menanyakan kisah Nabi dan umat terdahulu kepadanya. Kontribusinya yang cukup besar menjadikannya mendapat tempat di hati para perawi hadis, termasuk Bukhari yang sampai tidak berani mencela, bahkan meragukan otoritasnya. Adapun Ka’ab justru diyakini sebagai seorang mualaf yang kuat agama dan keimanannya. Hal ini terbukti dari merujuknya para sahabat senior Nabi kepadanya, seperti Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Abdullah Ibn Zubair. Mereka bukan tipe seorang yang mudah menerima perkataan orang lain dan mudah tertipu (Dzahabi). Integritas mereka telah teruji dan diakui Nabi, karena itu mereka percaya bahwa semua yang diriwayatkan Ka’ab itu benar, sehingga mereka berani menjadi perawi darinya. Begitu pun yang terjadi kepada Wahab dan Tamim al-Dari, tidak ada respons negatif dari umat Islam kepadanya (Syuhbah, 1989).
Tidak semua isra’iliyat dapat diterima, kecuali jika memang riwayatnya shahih, sesuai ajaran Islam, dan kadar kepalsuannya minim. Oleh sebab itu, umat Islam dewasa ini tidak perlu lagi berlebihan dalam menyikapi isra’iliyat, cukup bersikap inklusif dengan tidak sepenuhnya membenarkan, apalagi menganggapnya palsu. Serta menaruh kepercayaan dan rasa hormat kepada perawi isra’iliyat, karena riwayat mereka banyak didukung oleh kitab-kitab hadis shahih, termasuk Bukhari dan Muslim. Apakah dengan begitu semua hadis yang mapan sanad sudah tentu mapan matan? Begitu pun otoritas perawi hadis, apakah mampu menjamin keamanan mereka dari kritik?
Syaiful Anwar
Mahasiswa tingkat I Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Fajr al-Islām. 2011. Kairo: Hindāwi
Amin, Ahmad. 2012. Dhuha al-Islām. Kairo: Hindāwi
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Isrā’īliyāt fī at-Tafsīr Wa al-Hadīst. Kairo: Maktabah Wahbah
Royyah, Mahmud Abu. Adhwa’ ʿala al-Sunnah al-Muhammadiyah. Kairo: Dār al-Maʿārif
Ridha, Muhammad Rasyid. 1947. Tafsīr al-Mannār. Kairo: Dār al-Mannār.
Syushbah, Muhammad Abu. 1989. Difāʿ ʿAn al-Sunnah Wa Raddu al-Syubah al-Mustasyriqīn Wa al-Kuttāb al-Muʿāshirīn. Kairo: Maktabah al-Sunnah.
Al-Syarafi, Abdul Majid. 1986. Al-Fikr al-Islām fī al-Radd ʿala al-Nashārā. Tunisia: al-Dar al-Tūnisia Li al-Natsr.
Al-Jabiri. Muhammad Abid. 2000. al-ʿAql al-Siyāsi al-ʿArabī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wahdah al-ʿArabiyah.
Ibn al-Khaldun, Abdul al-Rahman. 2000. Muqaddimah. Damaskus: Dar Ya’rūb.