Seperti halnya kepada Abdul Qahir al-Jurjani, bagaimanapun kita harus berterima kasih kepada al-Jahiz. Memang ada sikap al-Jahiz yang terkesan buruk terhadap gurunya, tetapi hal itu dapat dimaklumi sebagai bentuk dialektika keilmuan. Di sisi lain, sikap i’tizal yang membuat citra buruk pada dirinya, tetap dilakukan oleh al-Jahiz pada gurunya dan menjadi benih lahirnya para sarjana muslim, seperti al-Wasithi, al-Jurjani, al-Rumani, dll. Hal ini menjadikan dirinya sebagai Mu’tazilah yang Mu’tazilah.
Layaknya murid pada umumnya, al-Jahiz selalu mengikuti apa saja yang diajarkan oleh gurunya. Bagi al-Jahiz, guru yang memberikan pengaruh besar terhadap dirinya di bidang teologi adalah al-Nazam, sosok yang terkenal sebagai pentolan Mu’tazilah di zamannya. Tak heran, dalam akidah al-Jahiz menganut paham Mu’tazilah. Akan tetapi, dalam suatu persoalan mengenai kemukjizatan Al-Qur’an ia berani untuk berbeda pandangan dengan al-Nazam. Hal ini dikarenakan kapabilitas al-Jahiz yang sangat mumpuni pada bidang bahasa dan sastra Arab, yang akhirnya membuatnya mampu mendobrak pintu keilmuan baru.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Zahra dalam kitabnya Mu’jizatul Kubro Al-Qur’an, lahirnya keilmuan ini sebagaimana lahirnya ilmu nahwu, dilatarbelakangi oleh kesalahan baca pada ayat Al-Qur’an. Ia adalah hikmah dari pemahaman yang salah terkait konsep I’jaz Al-Qur’an, yaitu sharfah, yang menjamur pada era Dinasti Abbasiyah, ketika al-Jahiz hidup. Faktor munculnya pemahaman ini ialah keterbukaan para cendekiawan muslim pada masa kepemimpinan Abu Ja’far al-Manshur yang mulai terbuka terhadap pemikiran dunia luar.
Kemudian, sebagian cendekiawan pada masa itu menelaah satu pemahaman dari umat Hindu yang masuk pada tubuh Dinasti Abbasiyah. Dalam pemahaman Hindu ini, terdapat kitab bernama Vida yang berisi kumpulan syair dan prosa. Konon, kitab tersebut tidak dapat ditandingi oleh siapapun karena para dewa memalingkan siapapun yang hendak menandingi. Abu Raihan al-Biruni mengungkapkan bahwa orang yang ingin menandingi kitab Vida sebenarnya memiliki kemampuan untuk menandinginya. Namun demikian, mereka diurungkan niatnya oleh para dewa dalam rangka menghormati kitab suci mereka.
Kepercayaan umat Hindu terhadap kitab itu lantas diadopsi dengan alasan ada kesamaan dengan kitab suci kepercayaan umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Al-Nazam memang bukan penggagas dari konsep pemikiran tersebut, tetapi dialah yang menggelorakan dan bersikeras untuk mengiaskan Al-Qur’an dengan Vida. Al-Qur’an, dalam pandangan al-Nazam, tidak dapat ditandingi oleh siapapun, meskipun sebenarnya ada kemampuan, sebab Allah menghalangi atau membelokan niat seseorang yang berusaha menandingi kitab sucinya tersebut. Dan inilah konsep I’jaz Al-Qur’an yang benar menurut al-Nazam.
Mendengar hal demikian, al-Jahiz berusaha untuk meluruskan pandangan gurunya. Dengan cara yang santun, al-Jahiz mulai membelot, bukan dengan berdebat langsung dengan gurunya, tetapi dengan cara yang lebih akademis, yaitu mengarang kitab. Oleh karena itu, orang yang pertama kali mengarang kitab yang membahas I’jaz Al-Qur’an ialah al-Jahiz. Kitab tersebut diberi nama Nazm Al-Qur’an yang berisikan penjelasan kemukjizatan Al-Qur’an secara esensial dan bantahan atas pemahaman sharfah yang mengedepankan faktor eksternal sebagai bukti kemukjizatan Al-Qur’an.
Adapun pemahaman lain yang masih senada dengan konsepsharfah ialah pemahaman yang digagas oleh al-Syarif al-Murtadla dari kalangan Syi’ah. Dikatakan bahwa sebenarnya manusia mampu untuk menandingi Al-Qur’an, dalam segi sastra maupun kebahasaan, tetapi Allah mencabut atau tidak memberikan ilmu terhadap orang yang ingin menandinginya. Pemahaman yang dilontarkan oleh al-Murtadla ini termasuk ke dalam konsep sharfahkarena hal tersebut bukan tergolong faktor esensial.
Contoh yang lain dapat diambil dari pernyataan Ibn Hazm al-Andalusi. Dikatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an tidak lain karena ia merupakan kalamullah. Dan kalam tersebut diekspresikan dengan huruf-huruf yang kemudian menjadi kata dan kalimat. Dengan demikian, mana mungkin seseorang dapat menandingi kalimat-kalimat yang menjadi representasi dari kalamullah. Jika begitu, bagaimana dengan kitab-kitab samawi yang lain, yang semuanya adalah kalamullah, sedangkan hanya Al-Qur’an yang menjadi mukjizat. Oleh karena itu, gagasan ini juga termasuk ke dalam sharfah.
Gerakan al-Jahiz dalam menghadapi sharfah tetap hidup, meskipun dirinya sudah wafat. Muhammad bin Yazid al-Wasithi termasuk orang yang melengkapi bangunan konstruksi pemikiran yang dibangun oleh al-Jahiz. Kemudian, datang generasi berikutnya, yaitu Abdul Qahir al-Jurjani, yang menjadikan kedua tokoh sebelumnya menjadi sumber inspirasi. Al-Jurjani kemudian dianggap sebagai penyempurna keduanya, yang menjadikannya sebagai sumber primer dalam keilmuan paramasastra (balaghah).
Bagi Prof. Dr. Muhammad Abu Musa, Guru Besar Balaghah dan Kritik Sastra Universitas al-Azhar, Kairo, al-Jurjani merupakan pembaca terbaik al-Jahiz, meski keduanya berbeda secara ideologi. Al-Jurjani adalah seorang Asy’ari, sedangkan al-Jahiz merupakan seseorang yang ditokohkan di kalangan Muktazilah. Walau bagi al-Jahizh, Al-Qur’an adalah makhluk, tetapi secara prinsip keduanya sepakat bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW. Dari al-Jahiz hingga al-Jurjani semuanya bermuara pada spirit yang sama, yaitu spirit keilmuan dalam rangka menjaga Al-Qur’an dari pemahaman yang tidak benar. Meskipun berbeda dalam segi akidah, keobjektifan tetap dikedepankan, demi amanat menyambung rantai keilmuan.