Tuduhan moralitas buruk dan bobrok seringkali dipahami identik dengan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Oleh karenanya, penamaan “Jahiliyah” disematkan guna menyebut fase tersebut. Salah satu alasannya adalah banyak penulisan sejarah umat muslim yang menunjukkan perilaku buruk dan kebobrokan moral mereka. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, benarkah pada masa tersebut sama sekali tidak ditemukan nilai-nilai moral kebaikan, dan apakah benar bahwa datangnya Islam serta Al-Qur’an menjadi konstruksi paling awal atas moral sosial masyarakat Arab? Tulisan ini akan mencoba menelusuri pengalaman bahasa, khususnya syair dan Al-Qur’an, serta merelokasi konstruksi moral sosial masyarakat Arab Jahiliyah dan setelahnya.
Bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama peradaban manusia. Oleh karenanya, bahasa menunjukkan identitas dan karakteristik yang dimiliki oleh sebuah bangsa. (Ahmad Amin: 2017). Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata “perempuan” digunakan untuk menunjuk wanita. Maka pada hakikatnya bangsa Indonesia menilai wanita harus di-empu dalam arti dihormati dan dimuliakan, atau meng-empu yakni membimbing dan mendidik. Sedangkan dalam bahasa Arab, kata “mar’ah” digunakan untuk wanita, sementara pada kata lain–masih dalam padanan yang sama–kaca disebut “mir’ah”. Dalam kaidah bahasa Arab, jika terdapat dua kata dengan struktur yang hampir serupa, keduanya mempunyai kesamaan makna yang tersurat ataupun tersirat. Sebagaimana kaca yang mempunyai sifat bening dan rentan pecah, wanita juga mempunyai sifat serupa, jiwanya bening, perasaannya halus dan cintanya tulus. Ia harus diperlakukan dengan lembut dan penuh kasih.
Masyarakat Arab mempunyai perhatian sangat tinggi terhadap bahasa Arab, bahkan sebelum Islam dikenal di dunia Arab. Bagi mereka, bahasa tidak hanya sebagai sarana komunikasi, melainkan juga sebagai sarana untuk meningkatkan pamor antar suku. Bangsa Arab juga dikenal sebagai masyarakat yang ahli dalam penggunaan bahasa sesuai dengan sense dan warisan bahasa yang fasih, sebagaimana yang mereka terima dari para nenek moyang mereka. (Philip K. Hitti: 2005)
Pola kehidupan bangsa Arab pra-Islam dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan refleksi lini-lini kehidupan bangsa Arab pada masa tersebut, karena dalam karya sastra tergambar jelas kondisi kehidupan mereka, baik terkait dengan kondisi geografis, adat-istiadat, sistem ekonomi, maupun bentuk kepercayaan mereka. Kecenderungan sastra Arab Jahiliyah adalah ritsa’ (ratapan), madh (pujian), hija’ (satire), fakhr (kebanggan), ghazal (rayuan), dan lain sebagainya. (Ahmad Amin: 2017)
Genre paling dominan dalam kesusastraan Arab adalah syair. Syair mempunyai peranan penting dalam memainkan emosi dan reputasi masyarakat Arab. Mereka biasa mengadakan festival secara periodik dengan menampilkan penyair terbaik dari masing-masing kabilah. Barang siapa yang menang, akan sangat terhormat penyair tersebut beserta kabilahnya. Mereka juga biasa menampilkan syair pada ayyām al-ʿarab[1], masa di mana permusuhan dan emosi pada masyarakat Arab sedang menggelora. Mereka mendendangkan syair terlebih dahulu sebelum berperang secara fisik guna melemahkan mental musuhnya. (Philip K. Hitti: 2005)
Masyarakat Arab Jahiliyah
Secara kebahasaan, kata Jahiliyah mempunyai makna yang dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks penggunaannya, begitu juga digunakannya kata Jahiliyah bagi masa pra-Islam. Al-Alusi menuturkan, al-jahlu juga mempunyai arti orang yang tidak mau mengikuti ilmu, sehingga orang yang berbicara menyelisihi kebenaran, baik dirinya memahami kebenaran tersebut ataupun tidak maka dinamakan dia orang yang jahil. Begitu pula orang yang mengamalkan lawan dari kebenaran maka dia dinamakan jahil, walaupun dirinya paham jika dirinya sedang menyelisihi kebenaran. Dari sini kita mendapati kekeliruan sebagian orang, sebagaimana dijumpai dalam beberapa kamus, yang mengatakan bahwa Jahiliyah merujuk kepada fase kesejarahan Arab yang penuh dengan kebodohan yang tidak mempunyai ilmu sama sekali, tidak bisa baca tulis, dan sebagainya. Pemaknaan tersebut kurang tepat, sebab orang Arab sebagaimana jamak kita ketahui, mereka mempunyai ilmu dan pengetahuan. (Sayyid Mahmud al-Alusi: 2003). Meskipun hal demikian dibantah oleh Ahmad Amin dan Ibn Khaldun (Ahmad Amin: 2017).
Ahmad Amin memberikan penjelasan panjang terkait makna Jahiliyah. Menurutnya, kata al-jahl untuk menyebut masa pra-Islam bukan bermakna bahwa mereka orang-orang bodoh dalam artian buta huruf dan tidak mengenal pengetahuan sama sekali (lawan kata al-ʿilm yang bermakna bodoh), melainkan lawan kata dari kata al-hilm. Hal ini dapat diamati pada banyak syair jahili yang menyandingkan kata al-jahl dengan al-hilm. Oleh karena itu, penisbatan kata al-jahl bagi masa pra-islam digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat Arab ketika itu; intoleran, sulit bersatu, kejam, sembrono, keras, fanatik, cepat marah, dan suka membanggakan diri. Semua makna tersebut bertolak belakang dengan kata salām yang mempunyai makna patuh dan tenang, yang selanjutnya digunakan sebagai akar kata agama Islam. (Ahmad Amin: 2017)
Terdapat kekhususan dalam pola kehidupan moral masyarakat Arab Jahiliyah. Gambaran paling menonjol dalam kehidupan sosial mereka adalah budaya patriarki yang sudah mendarah daging. Perempuan di masa itu sering kali memperoleh perlakuan diskriminatif, tidak adil, dan hanya dianggap sebagai beban laki-laki karena ketidakmampuannya dalam berperang. Kondisi ini tergambar dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah yang berbicara kondisi perempuan di masa Jahiliyah sebagai berikut: 1) pernikahan secara spontan, 2) seorang laki-laki biasa berkata kepada isterinya yang baru suci dari haid “Temuilah fulan dan berkumpullah bersamanya”, 3) pernikahan poliandri, yaitu pernikahan beberapa orang laki-laki dalam jumlah tidak mencapai sepuluh orang, dan 4) sekian banyak laki-laki bisa mendatangi wanita yang dikehendakinya yang juga disebut wanita pelacur. (Shafiyurrahman al-Mubarakfury: 2008).
Kekhususan lain yang terlihat dari pola kehidupan masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam sesuai riwayat Ja’far bin Abi Thalib, bahwa “masyarakat Jahiliyah adalah penyembah berhala, gemar memakan bangkai, berbuat keji, merusak silaturahim, menyakiti tetangga, serta menindas golongan lemah.” Meskipun riwayat akan penjelasan ini dianggap lemah dari beberapa aspek, namun cukup guna menggambarkan kebobrokan moral dan perilaku buruk masyarakat Arab kala itu.
Sebagian orang mungkin mengira bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak banyak mengenal nilai-nilai moralitas dan acap kali menuduh bahwa mereka merupakan bangsa yang amoral dan tidak berperadaban. Catatan sejarah tersebut tidak sepenuhnya salah, namun kita juga tidak boleh mengingkari kenyataan sejarah lain tentang sisi nilai moral baik serta kemanusiaan pada masa itu. Hal ini terbukti dari beberapa syair-syair Jahiliyah yang layak untuk ditampilkan di sini:
Syair karya Zuhair bin Abi Sulma:
وأعلم ما في اليوم واﻷمس قبله ولكنني عن علم ما في غد عم
Aku tahu apa yang terjadi hari ini dan kemarin
Namun aku tidak tahu apa yang terjadi esok hari
Bait syair ini, sepertinya memang sengaja dikatakan oleh Zuhair untuk membantah pengkultusan bangsa Arab terhadap penyair yang menganggap mereka sebagai peramal dan penyihir yang mengetahui berbagai hal tentang masa depan. Bait syair ini juga menegaskan bahwa secara sosial, syair jahili dianggap mempunyai muatan magis hingga para penyair disamakan dengan penyihir yang mempunyai kekuatan supranatural.
رأيت المنايا خبط عشواء نت تصب تمته ومن تخطئ يعمر فيهرم
Aku lihat kematian yang tidak pernah pandang bulu
Siapa yang dikenalinya pasti akan mati, bila meleset, ia akan berumur panjang, lalu menua
Pada bait ini, Zuhair menyatakan pendapatnya tentang kematian. Kematian menurutnya bukanlah manusia yang mengatur, meskipun cara kematian menjemput orang berbeda-beda. Bila ajal telah tiba, tidak seorangpun yang bisa menghindarinya. Bila ajal tak kunjung menjemputnya meskipun telah tua renta, pada ujungnya kematian pasti akan tiba juga. (Yusuf Farran: 1990)
Dari kedua bait syair tersebut, terdapat dua sudut pandang yang dikemukakan oleh Zuhair: Pertama, bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui akan masa depan kehidupannya. Kedua, tidak seorang pun yang tahu takdir kematiannya. Karena dua hal tersebut, Zuhair mengajarkan nilai moralitas dalam bait-bait di bawah ini yang mengandung ajakan berkarya (meninggalkan sesuatu yang bermanfaat ketika hidup), menjaga kehormatan diri, bersifat dermawan, menepati janji, percaya akan takdir Tuhan, menempatkan kebaikan pada tempatnya, dan menjaga akhlak bergaul dengan sesama.
ومن لم يصانع في أمور كثيرة يضرب بأنياب ويوطأ بمنسم
Barang siapa yang tidak berbuat banyak (dalam hidup ini)
Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta
ومن يجعل المعروف من دون عرضه يفره ومن لا يتق الشتم يشتم
Barang siapa yang berbuat kebajikan bukan untuk mencari kehormatan
Kebajikan itu pasti akan menjaganya, dan barangsiapa yang suka mencaci pasti akan dicaci
ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله على قومه يستغن عنه ويذمم
Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut dengan kaumnya,
ia tidak dibutuhkan dan tercela
ومن يوف لا يذمم ومن يفض قلبه إلى مطمئن البر لا يتجمجم
Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya ke arah kebaikan,
ia tidak akan pernah ragu
ومن يجعل المعروف في غير أهله يكن حمده ذما عليه ويندم
Siapa yang berbuat kebaikan bukan pada tempatnya
Bukan pujian yang ia terima, tapi cercaan yang ia dapat dan penyesalan.
ومهما تكن عند امرئ من خليقة وإن خالها تخفى على الناس تعلم
Akhlak (baik ataupun buruk) seseorang,
meskipun ia mengira bisa disembunyikan dari manusia, tetap saja tercium. (Yusuf Farran: 1990)
Syair-syair gubahan Zuhair bin Abi Sulma di atas adalah syair yang sarat akan pesan moral, bahkan Yusuf Farran memasukkan syair tersebut ke dalam kategori hikmah, sehingga bukan hal yang mengherankan jika pada masa awal Islam syair tersebut sering dikutip sebagai kata-kata mutiara.
Sebagaimana karya sastra pada umumnya, terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam syair. Unsur intrinsik meliputi struktur dan kaidah bahasa, sedangkan unsur ekstrinsik dalam syair mencakup tradisi bersyair masyarakat Arab dan kondisi sosiologis, serta psikologis penyair waktu itu. Jika ditilik pada unsur ekstrinsik, bagaimana seorang penyair bisa menggubah syair hikmah sedemikian rupa, maka dapat dibaca pada masa itu nilai-nilai moralitas sosial sebagaimana dalam syair Zuhair telah banyak berlaku pada masyarakat Arab pra-Islam, khususnya pada semasa hidup Zuhair.
Secara garis besar, tolak ukur moralitas dibagi menjadi dua teori, yaitu deontologis dan teleologis. Deontologis, mengukur baik atau buruknya suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturannya sendiri. Sedangkan teleologis, mengukur baik atau buruknya suatu perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan. (Burhanuddin Salam: 1997) Maka berlandaskan teori tersebut, syair karya Zuhair dalam mengajarkan nilai-nilai moralitasnya, baik atau buruknya diukur berdasarkan akibat yang ditimbulkan (teleologis), dengan kata lain, jika perihal ini dilakukan, maka akan berakibat demikian baik atau buruk.
Teori teleologis kemudian terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoisme dan unilitarianisme. Menurut aliran egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat atau berdampak baik bagi kepentingan dirinya sendiri. Adapun aliran unilitarianisme menilai, suatu tindakan dapat dikatakan baik apabila menciptakan nilai guna dan kebaikan secara luas dan tidak terbatas pada dirinya sendiri. Berdasarkan dua aliran dari teori teleologis tersebut, maka kita dapat mengatakan bahwa pesan moral yang ingin disampaikan dalam syair Zuhair bernuansa universal (unilitarianisme).
Syair karya Nabighah al-Dzibyani:
استبق ودك للصديق ولا تكن قتبا يعض بغارب ملحاحا
Berlomba-lombalah memberikan kasih sayang pada temanmu,
Dan janganlah engkau menjadi bagai pelana kuda yang senantiasa memberatkan
فالرفق يمن والأنة سعادة فتأن في رفق تنال نجاحا
Karena kebaikan adalah keberkahan, dan kebersamaan adalah kebahagiaan.
Maka bersabarlah atas perlakuan baikmu, dan engkau akan memperoleh kesuksesan
واليأس مما فات يعقب راحة ولرب مطعمة تعود ذا باحا
Keputusasaan sebab sesuatu yang lampau akan menimbulkan ketenangan
Maka tak jarang anak panah yang kembali pada empunya. (Jamil Sulthan: 1971)
Syair karya Nabighah mencerminkan nilai-nilai moral bahwa kebaikan suatu saat akan berbuah kebaikan juga. Syair Nabighah agaknya mirip dengan syair Zuhair dari sudut pandang teori teleologis, karena berbicara tentang baik atau buruknya sesuatu dinilai dari akibat yang ditimbulkan. Namun, pada aliran teleologisnya, nilai moral yang ingin di sampaikan dalam syair Nabighah bisa digolongkan sebagai aliran egoisme dan unilitarianisme sekaligus.
Guna menegaskan unsur ekstrinsik yang mempengaruhi produksi syair dengan muatan nilai-nilai moral sebagaimana pada karya Zuhair dan Nabighah di atas, Ahmad Amin mengutip analisa Goldziher yang menyatakan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah mempunyai beberapa kekhasan dalam laku sosial mereka, seperti: Keberanian, berjiwa kesatria, sangat dermawan, tulus dan totalitas terhadap kabilah. (Ahmad Amin: 2017). Moral masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya sering dilihat hanya dari aspek negatif, tanpa menghadirkan nilai positifnya, padahal mereka mempunyai nilai moral positif itu sebagaimana analisa yang diajukan Goldziher di atas.
Aspek-aspek demikian kiranya berpengaruh terhadap proses produksi syair yang tidak bisa terlepas dari realitas sosial kala itu, syair jahili tidak dilahirkan dari ruang kosong begitu saja, melainkan sangat bertaut dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan demikian, terang sudah bagaimana bahasa (dalam hal ini syair) menjadi sebuah cerminan kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah hingga melahirkan karya syair yang bermuatan moralitas baik sedemikian rupa.
Kemunculan dan Pengaruh Al-Qur’an pada Moral Sosial Masyarakat Arab
Munculnya Islam yang disertai dengan proses pewahyuan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW, turun secara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Hal ini menjadikan Al-Qur’an secara kontinu bersinggungan dengan nilai-nilai moralitas, tradisi, budaya, dan tatanan kehidupan yang telah mapan di tengah masyarakat Arab. Nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan berbagai kebiasaan atau adat istiadat masyarakat Arab, bahkan tidak sedikit pula ayat-ayat yang berbicara langsung (berdialog) dengan penduduk Arab yang menjadi sasaran pertama ajaran Al-Qur’an. Misi utama wahyu ini adalah ingin memperbaiki moralitas masyarakat dengan berdialog secara argumentatif, ʿaqliyah, bijak, penuh hikmah, serta mengajak masyarakat yang “tak beradab” ke jalan yang berperadaban (madaniyah). (Umar Shihab: 2005)
Menurut Ahmad Amin, nilai moralitas dalam Al-Qur’an bisa dikelompokkan menjadi dua: Pertama, moralitas kesopanan, sebagaimana dijelaskan dalam (QS 4:86) tentang membalas penghormatan lebih kepada orang yang menghormati. Serta dalam (QS 24:27) tentang menghargai hal-hal privat orang lain. Kedua, moralitas yang lumrah disebut “akhlak” dalam Islam, seperti: menepati janji, sabar ketika ditimpa musibah (QS 2:177), bersikap adil (QS 16:90), memiliki sikap pemaaf (QS 7:199), dan kesederhanaan tanpa berlebihan (QS 7:33) (Ahmad Amin: 2017).
Jika bisa diklasifikasikan, setidaknya ada tiga aspek pengaruh Al-Qur’an pada kehidupan moral sosial masyarakat Arab. Pertama, menghapus nilai yang sama sekali bertentangan dengan ajaran yang dibawa Islam. Sebagai contoh bagaimana hak dan martabat perempuan oleh Islam dikembalikan utuh setelah pada masa Jahiliyah diinjak-injak tak bersisa. Moral buruk seperti ini kemudian dihapuskan oleh Al-Qur’an dengan penegasan bahwa jenis laki-laki dan perempuan pada hakikatnya adalah setara di hadapan Tuhan, hanya saja takwa yang membedakan satu dari yang lain (QS 49:13).
Contoh lain, melanjutkan riwayat Ja’far bin Abi Thalib di atas; Setelah ia menyatakan kondisi masyarakat Arab pra-Islam, ia berkata: “… pada kondisi demikian, Allah mengutus seorang Rasul kepada kami. Kami mengenal (Muhammad) nasabnya, kejujurannya, amanahnya, serta kesederhanaannya. Ia menyeru agar menyembah Allah dan mengesakan-Nya, serta meninggalkan sesembahan warisan nenek moyang dahulu berupa batu dan berhala; kami diperintah agar berkata jujur, amanah, menyambung persaudaraan, berperilaku baik terhadap tetangga, menahan diri agar tidak berbuat buruk, melarang kami berbuat dosa dan sesuatu yang haram, tidak memakai bangkai, serta tidak mudah menuduh jelek orang lain …” Muatan yang terkandung dalam riwayat ini, kesemuanya telah dijelaskan dalam Al-Qur’an secara jelas.
Kedua, merekonstruksi kecenderungan sebuah nilai moral. Sebagai contoh adalah ikatan ashabiyah terhadap kabilah dan suku yang telah mengakar dalam kesadaran masyarakat Arab Jahiliyah, sehingga banyak menyebabkan perang antar suku dan persengketaan. Islam berusaha mendobrak batas—dalam hal ini kesukuan—tersebut dan merekonstruksi dengan mempertahankan nilai kebaikan dari ashabiyah—berupa totalitas dan kesetiaan—dan memperluas batas tersebut berupa agama, sehingga menjadi persatuan Islam (QS 49:10).
Ketiga, melestarikan nilai-nilai yang baik. Aspek ketiga inilah yang erat kaitannya dengan nilai moralitas yang ditemukan pada syair jahili dan dilanjutkan oleh Islam dalam Al-Qur’an. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kemiripan nilai kebaikan yang terkandung dalam syair Zuhair dan Nabighah, kemudian dilanjutkan oleh Al-Qur’an, sebagaimana pada keterangan Ahmad Amin tentang pembagian nilai moral dalam Al-Qur’an di atas.
Bukti-bukti penelusuran sejarah kebahasaan di atas mematahkan tuduhan beberapa orang yang meyakini tentang nihilnya nilai moral sosial dalam kehidupuan masyarakat Arab pra-Islam. Meskipun gelar Jahiliyah selalu melekat untuk menyebut fase tersebut, bukan berarti mereka merupakan masyarakat yang hidup menggunakan hukum rimba yang tidak bermoral, tanpa mengindahkan nilai sosial kemanusiaan sama sekali. Kemudian Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, dengan muatan nilai moralitas di dalamnya tidak serta-merta menciptakan sebuah kebaharuan dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berperan menghilangkan ataupun merekonstruksi nilai moral yang tidak sesuai dengan misi besarnya, adapun nilai moral yang telah bagus dan mapan tidak dihilangkan.
Moralitas merupakan hal fundamental dalam peradaban manusia, mustahil akan hidup tentram jikalau moralitas sosial masyarakat sebuah negara masih bobrok. Islam mengutus Nabi Muhammad tak lain dengan satu tujuan mulia, yaitu “li’utamima makārim al-akhlāq”, Islam juga mempunyai jargon terkait moralitas “al-dīn khuluqun”. Semua peradaban manusia tentu mempunyai moralitas sosial, meskipun dalam batas-batas tersendiri. Jikalau begitu, apakah Arab Jahiliyah bermoral dan berperadaban?
Muhammad Hikam Mukhbitin
Mahasiswa tingkat II Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. 2009. Fajr al-Islam (cet. 1). Kairo: Dār as-Shurūq
Shihab, Umar. (2005). Kontekstualitas al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat- Ayat Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, Cetakan ke-V.
Al-Alusi, Sayyid Mahmud. (2003). Bulūgh al-ʿĀrib fi Ahwāl al-ʿArab, Beirut, Dār al-Hādits.
Sulthan, Jamil. (1971). al-Nābighah al-Dzibyānī, Beirut, Dār al-Anwār.
Salam, Burhanuddin. (1997). Etika Sosial: Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta, Rineke Cipta.
Farran, Muhammad Yusuf. (1990). Zuhair bin Abī Sulmā: Hayātuhu wa Syiʿruhu, Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyah.
Ziyat, Habib. (2014). al-Mar’ah fī al-Jāhiliyah, Muassasah Hindāwī.
Al-Mubarakfury, Shafiyurrahman. (2008). Sirah Nabawiyah terj. Kahthur Suhardi Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Hitti, Philip K. (2005). History of The Arabs, Terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
[1] Ayyām al-ʿArab merujuk pada permusuhan antara suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara para penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Ayyām al-ʿArab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri watak sosial. Berkat Ayyām al-ʿArab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka. (lihat, Philip. K. Hitti: 2006)