Di era kiwari begini, klenik belum sepenuhnya lepas dari kultur masyarakat Indonesia. Konten media sosial yang dipenuhi boneka arwah (spirit doll) baru-baru ini menunjukkan bahwa klenik masih dipercaya sebagai kekuatan mistis yang mampu melakukan hal-hal tertentu. Yang tak kalah sering kita temui khususnya di masyarakat pedesaan adalah sesajen, dan sedekah laut yang ditujukan untuk menenangkan jin penunggu setempat. Dua hal terakhir disebut menggambarkan identitas tertentu masyarakat, yang karenanya beragam respon muncul saat sebuah sesajen di lereng Semeru ditendang dan dilempar dalam sebuah rekaman video yang viral beberapa bulan lalu.
Dua kasus ini adalah sebagai contoh bahwa kepercayaan akan makhluk gaib yang bertuah masih mengakar di masyarakat Indonesia. Di praktik kehidupan desa misalnya, mereka sering meminta bantuan paranormal untuk mengusir jin atau meminta bantuan pada jin. Selain mereka yang memang pawang, beberapa paranormal tak sungguh mengerti klenik (abal-abal). Perkataan mereka sulit dipercaya sepenuhnya; kasus Ningsih Tinampi, misalnya.
Awalnya, Ningsih Tinampi dipercaya dapat mengusir jin dan penyakit dari pasien-pasiennya yang ribuan itu. Namun, semakin ke belakang ia mengklaim dapat memanggil nabi dan malaikat. Ia memamerkan itu di sebuah video di kanal Youtube. Padahal, untuk bisa “bersambung” dengan alam nabi dan malaikat, seorang salik mesti menyucikan diri dengan proses yang hanya bisa dijalani orang-orang pilihan seperti para wali dan ulama.
Sikap masyarakat terhadap sesajen dan hal-hal mistis demikian memantik pertanyaan: bagaimana sebenarnya sikap Islam perihal meminta bantuan pada jin? Atau, bagaimana sebenarnya interaksi antara manusia dan jin di dalam pandangan Islam?
Keberadaan jin
Bagi masyarakat Muslim, keberadaan jin tidak dapat disangkal lagi. Al-Quran menyebutkan cerita-cerita tentang jin dan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus kepada tsaqalain, yang artinya manusia dan jin.
Di antara ayat-ayat itu adalah: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS al-Dzariyat: 56). Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Dahulu, nabi diutus khusus untuk kaumnya, [sementara] aku diutus untuk jin dan manusia” (HR al-Baihaqi).
Jika jin benar adanya lalu apakah jin dapat tunduk kepada manusia atau membantu melakukan hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia pada umumnya? Kisah Nabi Sulaiman AS sebagai raja dari para manusia dan jin di masanya menunjukkan bahwa keduanya mungkin terjadi. Kisah itu tercatat dalam ayat berikut:
“Dia (Sulaiman) berkata, ‘Wahai para pembesar! Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku menyerahkan diri?’ ‘Ifrit dari golongan jin berkata, ‘Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu, dan sungguh aku kuat melakukannya dan dapat dipercaya.’ Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’…” (QS al-Naml: 38-40)
Meminta bantuan jin
Pada dasarnya manusia adalah sosok yang memiliki keterbatasan. Sehingga dalam kelompoknya ia harus saling bekerja sama meminta bantuan antara satu dan lainnya. Begitu pun mereka membuat berbagai peralatan untuk membantu mereka dalam bekerja. Atas dasar ini, meminta bantuan pada apa pun dan siapa pun diperbolehkan, termasuk meminta bantuan pada jin.
Kebolehan ini bisa saja berubah seusai dengan cara dan bantuan apa yang diberikan. Jika caranya atau tujuannya melanggar syariat tentu saja tidak diperbolehkan. Pada sisi inilah meminta bantuan pada jin bisa menjadi haram bahkan syirik.
Interaksi antara jin dan manusia sama dengan interaksi antara manusia dengan manusia. Yang penting dimengerti ialah bahwa di antara jin terdapat mereka yang fasik dan penipu, sama halnya dengan manusia. Demikian ini seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam kumpulan fatwanya:
“Artinya, terdapat beberapa macam [interaksi] jin dan manusia:
[1] Ada di antara manusia yang memerintah jin dengan perintah Allah dan Rasulullah [SAW]. Yaitu untuk beribadah kepada-Nya semata dan taat pada Nabi-Nya, juga memerintahkan hal yang sama pada manusia. Orang ini adalah termasuk kekasih Allah yang terutama. Ia dengan apa yang ia lakukan itu adalah khalifah Rasul dan penggantinya.
[2] Ada di antara manusia yang meminta jin melakukan hal-hal yang diperbolehkan maka ia seperti orang yang meminta orang lain untuk melakukan yang diperbolehkan… Hal ini jika dilakukan oleh seorang kekasih Allah maka ia seperti kekasih Allah pada umumnya, sebagaimana Nabi yang menjadi raja dibanding Rasul yang menjadi hamba; seperti Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf dibanding Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Shalawat Allah dan salam-Nya atas mereka semua.
[3] Ada di antara manusia yang meminta jin untuk mengerjakan hal yang dilarang Allah, dapat berupa kesyirikan atau membunuh orang yang dijaga darahnya atau melukainya tanpa membunuh seperti membuatnya sakit, membuatnya lupa akan ilmu dan kezaliman lainnya, dapat juga berupa zina seperti menarik orang agar berzina dengannya. Maka hal-hal ini adalah termasuk meminta bantuan dengan para jin untuk melakukan dosa dan permusuhan. Jika meminta untuk melakukan kekufuran maka ia menjadi kafir, jika meminta untuk kemaksiatan maka menjadi orang yang maksiat, bisa menjadi fasik atau hanya berdosa.”
Belum tentu syirik
Seperti penjelasan di atas, hukum meminta bantuan jin bisa bermacam-macam tergantung tujuan dan cara yang dilakukan. Bisa jadi syirik jika cara dan tujuannya syirik, dan sebaliknya. Cara yang syirik adalah semisal dengan melakukan jampi-jampi yang mengandung penghinaan pada Allah SWT, Rasulullah SAW, Malaikat ataupun al-Quran, atau semisal menginjak al-Quran, atau berkeyakinan bahwa perbuatan jin tersebut dapat melawan kehendak Allah SWT atau bukan berasal dari-Nya.
Mana yang lebih baik?
Meminta bantuan pada jin walaupun terhadap hal yang diperbolehkan lebih baik tidak dilakukan. Karena jika permintaan itu dilakukan dengan mengalahkan jin dan membuatnya tunduk maka ini sama halnya dengan menjadi raja yang menyuruh pada hambanya.
Sebuah riwayat merekam bahwa Nabi SAW bersabda, “Kemarin ‘Ifrit dari golongan jin mendatangiku untuk mengganggu shalatku, lalu Allah membuatku mampu untuk menangkapnya. Aku pun ingin mengikatnya di salah satu tiang masjid sampai subuh dan kalian semua melihatnya. Lalu aku pun ingat akan ucapan saudaraku Sulaiman, ‘Tuhanku! Anugerahkan kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki siapapun setelahku.’ Lalu Allah pun mengembalikannya dalam keadaan hina.” Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi SAW memilih untuk tidak seperti Nabi Sulaiman demi mendapatkan keutamaan yang lebih tinggi. Selain itu, perilaku jin yang tidak bisa diketahui rawan menjerumuskan seseorang pada kesesatan. Walakhir, meminta bantuan pada jin bagaimana pun keadaannya sebaiknya dihindari; demi mengejar keutamaan dan menghindari tipu daya mereka.
Editor: Hamidatul Hasanah
Ilustrator: Khairuman