Beberapa hari yang lalu saya menjadi panelis diskusi ilmiah kemahasiswaan. Bersama perwakilan dari Lakpesdam PCINU Mesir dan Nahdlatul Wathan, kami membahas apakah Taliban termasuk kelompok teroris atau bukan.
Diskusi berjalan dengan baik dan penuh antusias. Lalu, ada salah satu audiens berkomentar bahwasanya ia tidak puas dengan ketiga panelis. Mendengar itu, saya tersenyum. Ketidakpuasan satu audiens ini barangkali disebabkan oleh tiadanya panelis yang tegas menyatakan status Taliban sebagai teroris, tidak juga sebaliknya.
Apa artinya kita melabeli Taliban dengan teroris atau bukan? Hemat saya, alih-alih melabeli, yang penting dimengerti adalah bagaimana terbentuknya gerakan, apa yang menjadi pijakan keberagamaan gerakan tersebut. Memahami kedua poin ini lebih penting, mengingat bahwa Taliban sedang mengupayakan hal paling mendasar di kepemimpinan: landasan hukum sebuah negara.
Menurut saya, Taliban bukanlah objek bacaan yang sesekali muncul dalam beranda sosial media. Taliban ialah subjek. Ia adalah bagian dari “diri-kita” yang salah arah dan terluka. Oleh karena itu, pelabelan seperti tersebut di muka, menurut saya kurang bijak. Membaca kembali sejarah, menyelidiki latar belakang dan motif-motif di balik munculnya gerakan tersebut, barangkali lebih bermanfaat bagi masa depan Indonesia.
Pada awalnya, gambaran saya atas Taliban sederhana. Ada sebuah negara demokratis. Oleh sebagian milisi Islam, sang presiden dianggap sebagai boneka Amerika. Kaum jihadis ini tidak rela negaranya dipimpin oleh boneka Barat, Amerika dalam hal ini. Karena disetir oleh Barat, maka undang-undangnya juga kebarat-baratan, non-Islami. Mereka ingin menegakkan Islam.
Pandangan saya atas Taliban berubah setelah membaca beberapa referensi otoritatif. Saya bisa melihat Taliban lebih dekat. Rupanya, Taliban bukan sebatas fenomena keberagamaan semata. Ada unsur kesukuan, campur tangan asing seperti dalam peristiwa perang Afghanistan-Soviet misalnya, dan perebutan kekuasaan antar-golongan yang mengakar di sana. Qasim Dans Bikhtiyari dalam bukunya, Judzûr al-Azmah wa Tharîq al-Tanmiyyah al-Siyâsiyyah fi Afghânistân menjelaskan bahwa sebelum terdapat motif eksternal, mula-mula terdapat motif internal terlebih dahulu, seperti kecenderungan menggalang pasukan dan mengelompokkan diri pada sesuai etnis tertentu.
Fanatisme kesukuan jelas berdampak pada instabilitas kekuasaan. Fanatisme tersebut sulit untuk dibendung sebab misalnya, bahwa etnis Pastun telah berkuasa di seluruh dataran Afghanistan selama 260 tahun lamanya. Selain fanatisme, suku-suku di Afghanistan biasa berebut kekuasaan. Kejadian saling mengkudeta pemimpin yang berkuasa adalah fakta biasa yang menjadi catatan hitam di negeri itu.
Terhitung semenjak kemerdekaannya pada 1919, konflik internal sudah terjadi di sana. Pemerintahan terhitung stabil semenjak kekuasaan Zahir Shah pada era 30-an sampai era 70-an. Pada 1973, kekuasaan Zahir dikudeta oleh Daud. Setelah lima tahun memimpin, akhirnya ia dikudeta pula pada 1978, yang mana peristiwa ini dikenal dengan Revolusi Saur.
Karena yang mengkudeta adalah rezim pro-komunis, maka pada saat itulah Uni Soviet masuk. Dalam jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Helwan pada 2020 dengan judul Nasy’ah wa Tathawwur al-Jamâ’at al-Jihâdiyyah fi Afghânistân, disebutkan bahwa momentum inilah yang kemudian menandai kemunculan banyak gerakan jihadis (mujahidin) yang kemudian terbagi menjadi delapan kelompok besar.
Perang Afghanistan-Soviet memakan waktu empat belas tahun lamanya. Hingga pada 1992, Mujahidin sukses menguasai Afghanistan. Setelah berhasil mengalahkan Soviet, para Mujahidin mau tidak mau harus bersatu untuk membangun negerinya. Sibghatullah Mujaddedi lantas ditunjuk sebagai presiden.
Belum genap satu bulan Sibghatullah Mujaddedi berkuasa, para Mujahidin sudah bertikai satu sama lain. Mereka saling berebut kekuasaan. Dari sini muncullah golongan besar. Satu di kubu Qalbuddin Hakimtiyar dengan nama Hizb Islami dan satu yang lain di kubu Burhanuddin Rabbani dengan nama Jam’iyah Islamiah. Hal ini mengakibatkan konflik internal tak bisa berhenti. Karena banyak pihak yang merasa dirugikan, khususnya para pedagang, hal inilah yang memicu kemunculan Taliban.
Muhammad Srafaraz dalam bukunya yang berjudul, Târîkh al-Thâlibân min al-Nusyû’ ilâ Suqûth menyebutkan bahwa yang melatarbelakangi munculnya Taliban adalah perang internal, khususnya para pemuda yang lelah dan bosan dengan peperangan antara kaum Mujahidin sendiri. Ia juga mencatat, alasan selanjutnya adalah karena kelemahan Mujahidin dalam menyusun sistem pemerintahan, semisal dalam hal kebijakan yang cenderung dirumuskan secara sepihak atau perorangan. Alasan lain adalah tidak adanya sistem ketatanegaraan yang disepakati secara final setelah jatuhnya kekuasaan kepada Mujahidin, dan hal itu berdampak pada krisis yang cukup serius dalam pembentukan asas negara.
Pada 1994, Taliban dibentuk di bawah komando Mulla Omar. Karena gerakan awalnya menjanjikan keadilan, perdamaian dengan cita-cita meletakkan senjata para Mujahidin, maka banyak yang tertarik bergabung dengan gerakan ini. Dalam waktu singkat, ia mampu menguasai Kabul.
Dari pemaparan singkat barusan, kita melihat bahwa Taliban sebagai gerakan jihadis memang berangkat dari ruang krisis, baik secara sosial maupun politik. Kemunculan Taliban tidak sesederhana soal ideologis atau negara islam (i kecil) yang ingin mereka tegakkan.
Editor: Hamidatul Hasanah
Ilustrator: Khairuman