Numesir
  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Ubuddiyah
  • Sejarah
    • Kajian
      • Kajian Lakpesdam
    • Tokoh
    • Terjemah
    • Resensi
No Result
View All Result
NU Mesir
  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Ubuddiyah
  • Sejarah
    • Kajian
      • Kajian Lakpesdam
    • Tokoh
    • Terjemah
    • Resensi
No Result
View All Result
NU Mesir
No Result
View All Result
Home Kajian Kajian LBMNU

Telaah Hukum Ikhtilat: Antara Konsistensi Fikih dan Wacana Kesetaraan Gender

oleh: Izdihar Muhammad Nahidl

LBM by LBM
18 March 2025
in Kajian LBMNU
0
0
SHARES
610
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Dewasa ini, semakin banyak ditemukan aktivitas yang melibatkan laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, keagamaan, hingga kegiatan sosial-kemasyarakatan. Aktivitas-aktivitas ini sering kali dilakukan di ruangan yang sama tanpa sekat pembatas, bahkan tidak jarang mereka duduk berdampingan. Dalam perspektif fikih, kondisi semacam ini sering dikaitkan dengan konsep ikhtilat. Secara sekilas, hukum ikhtilat dalam syariat Islam dianggap haram. Namun, di era modern, wacana kesetaraan gender telah menjadikan aktivitas semacam ini semakin dimaklumi.

Perempuan, yang dalam tradisi Islam klasik memiliki ruang gerak terbatas, kini mulai diberi kesempatan lebih luas untuk beraktivitas di luar rumah, bahkan jika harus berinteraksi dengan laki-laki. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketegasan dan konsistensi fikih dalam menyikapi realitas sosial. Apakah aktivitas-aktivitas tersebut benar-benar dilarang dan termasuk dalam kategori ikhtilat yang diharamkan? Ataukah fikih memiliki fleksibilitas dalam menyesuaikan hukum dengan perkembangan zaman?

Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami konsep ikhtilat itu sendiri. Secara etimologis, ikhtilat berasal dari kata kerja ikhtalaṭa, yang bermakna percampuran atau pembauran. Dalam konteks interaksi manusia, ikhtilat dapat diartikan sebagai bertemu dan berdialog antara laki-laki dan perempuan. Secara lebih spesifik, dalam interaksi antara lawan jenis, ikhtilat merujuk pada keterlibatan salah satu pihak dalam lingkungan pihak lain.

Dalam terminologi fikih, ikhtilat memiliki berbagai makna tergantung pada konteksnya. Dalam beberapa bab fikih, ikhtilat diartikan sebagai percampuran fisik yang menyebabkan sentuhan langsung. Dalam bab lain, ikhtilat merujuk pada kondisi di mana dua hal bercampur sehingga sulit dibedakan satu sama lain. Dalam konteks pembahasan ini, ikhtilat diartikan sebagai berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat yang sama.

Para ulama tidak memberikan hukum khusus terhadap ikhtilat, karena dalam fikih, status hukum ikhtilat bergantung pada faktor eksternal yang menyertainya. Secara umum, ikhtilat menjadi haram jika mengandung unsur-unsur berikut.

Pertama, jika dalam ikhtilat terjadi khalwat (berduaan). Khalwat adalah kondisi di mana seorang laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan zina. Keharamannya berlaku jika mereka berada di tempat sepi yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain. Oleh karena itu, seorang laki-laki dan perempuan yang salat berjamaah di masjid tidak dikategorikan sebagai khalwat, karena masjid adalah tempat umum yang dapat diakses oleh siapa saja. Namun, jika mereka berduaan dalam ruangan tertutup dan terkunci, maka hal tersebut termasuk khalwat yang diharamkan. Secara fikih, istilah khalwat hanya berlaku bagi pertemuan antara satu laki-laki dan satu perempuan. Namun, keharaman ikhtilat juga berlaku jika melibatkan lebih dari dua orang laki-laki dan perempuan. Fikih juga membedakan status perempuan yang ditemani mahram dan yang tidak.

Secara rinci, ada delapan kemungkinan hukum dalam kasus ikhtilat. Pertama, jika ikhtilat terjadi antara satu laki-laki dan satu perempuan, maka hukumnya haram secara mutlak, karena sudah tergolong khalwat. Kedua, jika melibatkan satu laki-laki dan banyak perempuan, terdapat dua pendapat: pertama, hukumnya boleh secara mutlak; kedua, hukumnya boleh jika disertai mahram. Ketiga, jika melibatkan banyak laki-laki dan satu perempuan, hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur, kecuali jika disertai mahram atau laki-laki tersebut termasuk orang yang dapat dipercaya. Namun, ada pendapat lain yang membolehkan secara mutlak. Keempat, jika melibatkan banyak laki-laki dan banyak perempuan, maka hukumnya boleh jika ada mahram yang mendampingi.

Dari rincian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ikhtilat yang diharamkan hanya terjadi jika melibatkan satu laki-laki dan satu perempuan dalam kondisi khalwat. Keharaman ini pun berlaku hanya jika mereka berada di tempat yang jauh dari jangkauan manusia. Sedangkan jika berada di tempat yang ramai atau masih dapat dijangkau oleh orang lain, maka ikhtilat tidak menjadi haram.

Kedua, ikhtilat menjadi haram jika menyebabkan terbukanya aurat. Dalam Islam, batas aurat bagi laki-laki adalah dari pusar hingga lutut, sedangkan bagi perempuan, jumhur ulama berpendapat bahwa auratnya adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat ini didasarkan pada QS. An-Nur [24]: 30, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” Frasa ma zhahara minha dalam ayat ini ditafsirkan oleh ulama sebagai wajah dan telapak tangan. Beberapa ulama seperti Ad-Dardiir dalam Syarh As-Sughra menegaskan bahwa kebolehan membuka wajah dan telapak tangan hanya berlaku selama tidak menimbulkan fitnah.

Ketiga, ikhtilat menjadi haram jika disertai nazar (memandang lawan jenis yang bukan mahram). Dalam fikih, nazar terhadap aurat hukumnya haram secara mutlak. Namun, jika yang dipandang adalah wajah dan telapak tangan, terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa nazar diperbolehkan selama tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Pendapat ini didasarkan pada penafsiran kata ma zhahara minha dalam QS. An-Nur [24]: 30. Mayoritas ulama, terutama dari kalangan mutaqaddimin, berpegang pada pendapat ini. Sementara itu, pendapat kedua menyatakan bahwa nazar haram secara mutlak, baik berpotensi menimbulkan fitnah maupun tidak. Pendapat ini berangkat dari konsep mazinnah al-fitnah (potensi fitnah), yang menurut mereka sulit untuk dideteksi. Oleh karena itu, cara terbaik adalah menutup semua celah yang berpotensi menimbulkan fitnah.

Keempat, ikhtilat menjadi haram jika disertai dengan kontak fisik. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa setiap kali nazar diharamkan, maka menyentuh pun diharamkan. Hal-hal yang tidak boleh dipandang, tentu tidak boleh disentuh. Bahkan, keharaman menyentuh lebih ditekankan, karena persentuhan fisik dapat lebih memunculkan syahwat. Ibn Hajar Al-Haytami dalam Tuhfat Al-Muhtaj menegaskan bahwa persentuhan tetap haram meskipun terdapat penghalang seperti kain atau sarung tangan.

Dengan demikian, hukum ikhtilat diperbolehkan selama tidak mengandung salah satu dari empat unsur di atas. Dalam konteks sosial, interaksi laki-laki dan perempuan tetap harus memperhatikan batas-batas syariat. Di sinilah fikih menunjukkan konsistensinya. Islam mendukung kesetaraan manusia, termasuk dalam aspek gender. Namun, wacana kesetaraan gender tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan aturan-aturan syariat. Asy-Sya’rawi dalam Fiqh Al-Mar’ah Al-Muslimah menyatakan bahwa perempuan memang memiliki kebebasan untuk keluar rumah, bekerja, dan beraktivitas sebagaimana laki-laki. Namun, kebebasan tersebut tidak boleh dipahami secara berlebihan. Penerapannya harus tetap memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, kebebasan yang benar adalah kebebasan yang selaras dengan nilai-nilai Islam, atau dalam istilah Asy-Sya’rawi disebut sebagai kebebasan islami.

 

Daftar pustaka

  • Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir. Beirut: Maktabah al-Ilmiah, 1431 H.
  • Al-Haytami, Ahmad bin Muhammad bin Ali Ibn Hajar. Tuhfat al-Muhtaj. Beirut: Dar Ihya at-Turas, 1983.
  • Al-Mishriyyah, Dar al-Ifta’. Mausu’ah al-Fatawa al-Muassalah. Cairo: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, 2013.
  • An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Cairo: Tiba’ah al-Muniriyyah, 1347 H.
  • Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Fiqh al-Mar’ah al-Islami. Cairo: Maktabah at-Taufiqiyyah.
  • Ba’alawi, Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar. Bughyah al-Mustaryidin fi Talkhis Fatawa Ba’d al-Aimmah min al-Ulama al-Muta’akhkhirin. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
  • Kuwait, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam. Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Kuwait: Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 1427 H.
Tags: bersentuhanFikihhukumikhtilatLBMLbm Mesirnazar
ShareTweetSend
LBM

LBM

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

25 April 2025
Taliban dan Pembawa Panji Hitam dari Khurasan

Taliban dan Pembawa Panji Hitam dari Khurasan

27 October 2021
FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

1 May 2025
Abdullah bin Saba’ dan Transmisi Ajaran Islam Otentik

Abdullah bin Saba’ dan Transmisi Ajaran Islam Otentik

25 May 2023
Dinamika Qunut dan Legalitasnya dalam Fikih Empat Mazhab

Dinamika Qunut dan Legalitasnya dalam Fikih Empat Mazhab

7 March 2025
Delegasi PCINU Mesir Hadiri Forum “Listen and Talk” di Markaz Muktamar Al-Azhar

Delegasi PCINU Mesir Hadiri Forum “Listen and Talk” di Markaz Muktamar Al-Azhar

7 May 2025
FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

1 May 2025
PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

25 April 2025
Qiyas Sebagai Legal Reasoning dalam Menyikapi Fallacy Mengenai Bid’ah

Qiyas Sebagai Legal Reasoning dalam Menyikapi Fallacy Mengenai Bid’ah

4 April 2025
Telaah Hukum Ikhtilat: Antara Konsistensi Fikih dan Wacana Kesetaraan Gender

Telaah Hukum Ikhtilat: Antara Konsistensi Fikih dan Wacana Kesetaraan Gender

18 March 2025

Numesri.net putih

Tentang Kami | Kontak | Redaksi | Kirim Tulisan

Ikuti juga sosial media kami

  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Sejarah
  • Kajian
  • Tokoh
  • Ubuddiyah
  • Terjemah