Beberapa waktu ini saya cukup asyik menikmati arus perdebatan pro kontra terkait sumber referensi Bahtsul Masail belum lama ini, apakah harus turats atau mu’ashirah? Selanjutnya pembahasan merembet pada kejumudan dan relevansi hasil Bahtsul Masail. Pandangan saya, dua pembahasan ini akan tetap hangat didiskusikan tanpa menunggu momentum. Sebab pembahasan semacam ini tentu terkait dengan cara kerja dari aktivitas keilmuan di tubuh Nahdlatul Ulama sendiri, khususnya Bahtsul Masail, yang terus bergulir.
Sebenarnya di Mesir sendiri pembahasan tentang bagaimana berinteraksi dengan turats lebih luas dan mencakup banyak disiplin. Sebab turats sendiri, jika didefinisikan adalah suatu hasil pemikiran manusia dengan jarak rentan minimal seratus tahun dari saat ini. Ini merujuk kepada definisi Dr. Ali Jum’ah, mufti Mesir 2003-2013, yang termaktub dalam karyanya Ath-Thariq ila At-Turats Al-Islami. Dari pengertian ini turats mencakup berbagai disiplin keilmuan, sastra, sejarah dan yang lainnya.
Belum lagi ditambah arus reformasi pemikiran yang sudah berjalan lebih dari satu abad di Mesir hingga pembahasan turats sekaligus pro kontranya pun menjadi subur. Al-Azhar sendiri telah melaksanakan konferensi bertajuk Pembaharuan Pemikiran Islam tahun 2020. Namun, sejauh pandangan saya di Indonesia, kata turats masih sering terdengar hanya dalam keilmuan syariat Islam. Khususnya Bahtsul Masail yang banyak menggunakan teks-teks turats dalam merumuskan hukumnya. Sebaliknya, term mu’ashirah sering dipakai untuk karya yang dihasilkan oleh penulis yang hidup sezaman. Lalu, turats dan mu’ashirah seolah menjadi bersaing. Dari sini muncul pertanyaan: dari keduanya manakah yang lebih bisa menjawab tantangan saat ini dalam rumusan hukum fikih?
Masih menurut Dr. Ali Jum’ah, turats mengandung beberapa sisi. Sisi teks, sisi pemikiran, dan sisi metafisika. Turats juga mengandung berbagai disiplin keilmuan. Selain itu, turats juga dituliskan dalam rentang waktu yang panjang, untuk konteks Islam ia memanjang hingga 14 abad. Teks turats juga punya beragam tingkat keautentikan. Di sisi lain, turats juga merupakan hasil pemikiran yang relatif dan terbatas waktu, bisa didiskusikan. Turats juga mencakup berbagai bahasa dan memiliki beragam istilah khusus. Turats merupakan dokumentasi atas penerapan nas syariat pada realitas sehingga keberimbangan diperlukan dalam berinteraksi dengan turats.
Cara orang berinteraksi dengan turats juga beragam. Ada yang mengultuskan total, ada yang menolak total, dan sebagian lainnya ada yang sekedar mencomot. Lantas sebenarnya bagaimanakah interaksi yang ideal?
Cara berinteraksi dengan turats adalah dengan menggunakan metode (manhaj). Misalnya berinteraksi dengan turats dan sumbernya secara menyeluruh meliputi sisi teks, sisi penalaran, dan sisi metafisikanya. Berinteraksi dengan menggali teori turats dan pengaplikasiannya pada saat ini. Berinteraksi secara adil, yakni tidak melepaskannya dari ruang dan waktu ketika turats itu dituliskan. Berinteraksi dengan memudahkan akses menuju turats untuk menggali khazanahnya. Dan berinteraksi dengan menggunakan standar berupa nas dan realitas untuk menimbang produk pemikiran yang lahir setelahnya.
Terkait metode dalam berinteraksi dengan turats, setidaknya ada empat hal mendasar yang diperlukan untuk bisa memahami dengan utuh. Pertama, mengetahui “pemahaman menyeluruh” yang mana itu sudah menjadi pengetahuan umum bagi penulis turats di masanya. Seolah pemahaman menyeluruh ini menjadi pengetahuan yang sudah maklum saat itu. Namun, mualif tidak menuliskannya sebab menuliskan sesuatu yang sudah maklum sama dengan merendahkan akal pikiran, seperti yang diungkap alim pakar ushul fikih di Al-Azhar Dr. Mahmud Abdurrahman. Tanpa punya pemahaman menyeluruh seperti ini, pembaca turats akan banyak kehilangan pemahaman.
Kedua, mengetahui “teori yang menjadi standar”, artinya teori-teori yang menjadi standar untuk menilai realitas. Seperti teori perihal akad, teori perihal harta, teori perihal hak, di mana teori semacam ini dulu masih terpencar dalam berbagai literatur namun sebenarnya penulis turats sudah menguasainya. Akhir-akhir ini banyak tulisan yang secara khusus mengulas beberapa teori dalam satu tulisan tersendiri.
Ketiga, mengetahui “istilah” yang digunakan dalam tiap bidang. Tidak memahami istilah akan membawa halangan besar ketika membaca turats.
Keempat, menguasai ilmu bahasa dan ilmu logika. Kedua ilmu ini adalah kunci paling mendasar ketika membaca turats sehingga bisa membuka pemahaman yang benar.
Metode dalam Bahtsul Masail
Jika diambil secara umum, metode yang digunakan dalam Bahtsul Masail diawali dengan penjabaran permasalahan yang akan dibahas. Menariknya, sesi penjabaran ini sering diisi oleh para ahli yang sengaja didatangkan agar para peserta mendapat gambaran utuh. Kemudian dimulai dengan pembahasan dan tarik ulur untuk menyelesaikan premis-premis atau mukadimah yang berakhir pada konklusi atau jawaban dari persoalan yang dibahas dengan menerapkan ibarat (teks kitab) dalam permasalahan. Baik dengan metode ‘ilhaq al-masail’ maupun ‘takhrij al-furu’ dan yang lainnya.
Pada praktiknya, ketika pengkaji Bahtsul Masail menemukan permasalahan, pertama dia menggambarkan permasalahan terlebih dahulu, kemudian mengaitkannya dengan bab fikih yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Kemudian menemukan sisi kesamaan maupun perbedaan antara permasalahan dengan bab fikih yang dia temukan. Selanjutnya melahirkan hasil keputusan berbekal teks, kaidah fikih, usul fikih, dan seperangkat keilmuan lainnya.
Dalam metode yang digunakan ini, ternyata punya kesamaan yang besar dengan teori yang digunakan oleh Dar Al-Ifta Mesir ketika menerbitkan fatwa. Dalam buku Al-Marji’ al-Am terbitan Dar Al-Ifta dijelaskan bahwa metode pertama adalah ‘tashwir’ atau penggambaran permasalahan. Kedua ‘takyif’ atau pencocokan pada bab fikih. Ketiga ‘tadlil’ atau mencari dalil maupun referensi. Keempat adalah ‘ifta’ atau memberikan hukum pada permasalahan.
Lantas, ada empat pertimbangan yang tidak boleh ditinggalkan bagi seorang pengkaji fikih, yaitu waktu, tempat, kebiasaan, dan keadaan. Sehingga tanpa empat pertimbangan ini seorang pengkaji fikih tidak akan tepat sasaran ketika memberikan hukum. Banyak ulama fikih yang menyatakan demikian, di antaranya Ibn Al-Qayim dalam A’lam Al-Muwaqi’in, “Siapapun yang berfatwa hanya bermodalkan teks dalam kitab, tanpa mempertimbangkan tradisi, kebiasaan, waktu, tempat, keadaan, dan indikasi situasi penerima fatwa, maka sungguh telah melakukan kesalahan.”
Dalam Bahtsul Masail, keempat teori Dar Al-Ifta Mesir tersebut diterapkan, didiskusikan, diolah, dengan mempertimbangkan keempat unsur berupa waktu, tempat, kebiasaan, dan keadaan dalam menerapkan referensi ke dalam permasalahan yang dibahas. Sehingga proses Bahtsul Masail tidak hanya mengutip teks murni lantas menggunakannya untuk menjawab permasalahan. Tuduhan jumud terhadap hasil Bahtsul Masail akan sulit diterima sebab demikianlah rentetan proses yang dilakukan ketika merumuskan jawaban permasalahan.
Dengan demikian, dalam Bahtsul Masail yang terpenting justru bagaimana cara kita berinteraksi dengan turats, bisakah kita mengambil kekayaan khazanahnya dalam menjawab realitas? Demikian juga dengan mua’shirah, tanpa mempertimbangkan keempat hal di atas dan hanya mengutip saja juga salah sasaran. Sehingga permasalahannya tidak dalam turats maupun mu’ashirah, namun keahlian kita dalam berinteraksi dengan referensi, baik itu turats maupun mu’ashirah.
Editror: Muhid Rahman