Serta merta, mungkin karena pengaruh beriman, kita akan memilih penggalan pertama dari pertanyaan “Apakah Al-Quran adalah wahyu murni yang sakral atau produk budaya?”. Namun kemudian saat pertanyaan lain membuntuti, “Bagaimana Al-Quran, wahyu yang sakral itu, menyinggung kejadian-kejadian yang ada di bumi, membincang masa lalu dan depan, menyeru kepada utusan Tuhan dan hamba-Nya, sementara ia tetap terjaga dalam kuasa Tuhan yang transenden?”. Mungkin kaki kita akan mundur ke belakang dan berpikir kembali.
Sifat transenden yang sering dilekatkan pada agama membuat hampir segala hal dalam agama bersifat seragam. Lantas menjadi tidak masalah, karena sifat transendenlah yang membuat agama menjadi tetap dipercaya sebagai hal yang otentik. Begitu pun domain ketuhanan yang sifatnya eksklusif menjadikan agama tetap selalu berada dalam genggaman Tuhan. Tidak jauh berbeda dengan sifat-sifat lainnya yang selalu mengarah pada hal-hal di luar jangkauan manusia. Namun meskipun begitu, yang penting dicatat adalah itu semua menjadi benar saat apa yang ada dalam jangkauan Tuhan masih berada di dunia sana. Tetapi saat Tuhan menghendaki itu untuk turun ke dunia sini dan membiarkan berbaur dengan campur tangan manusia, maka lain ladang lain belalang.
Apakah Al-Quran kalām Allah bersifat qādim atau hādits? Perdebatan boleh tak usai. Itu persoalan lain. Tetapi mengenai sabda Tuhan dan Al-Quran yang ada pada mushaf sekarang adalah dua hal yang berbeda, tentu saja tidak mungkin berbeda persepsi. Sabda Tuhan bersifat supranatural, sedang mushaf bersifat inderawi. Konversi sabda Tuhan menjadi kitab suci agama lantas tidak terjadi dalam satu malam. Sejarah mencatat pewahyuan kitab suci berkisar dua puluh tiga tahun. Sabda Tuhan yang ilahi dan bersifat metafisis saat dikehendaki untuk “turun ke bumi”, harus dikonversi ke dalam bahasa manusia untuk bisa dipahami. Sabda Tuhan terkonversi menjadi teks suci. Ucapan Tuhan menjadi tulisan, sedangkan tulisan adalah domain kebudayaan, karena tulisan adalah produk budaya manusia. Tulisan sabda Tuhan diabadikan menggunakan bahasa. Sedangkan bahasa, produk siapa lagi kalau bukan manusia?
Syahdan, di atas mimbar, Umar bin Khattab membacakan sepotong ayat dari surat An-Nahl. Lantas berhenti dan menanyakan arti kata dalam ayat tersebut. Seorang laki-laki dari Bani Hudzail menjawab sembari menyisipkan syair jahili (Amin, 1996). Barangkali dari situ muncul pernyataan populer Umar tentang syair jahili sebagai salah satu rujukan makna kata Al-Quran. Umar lantas tidak serta merta mengembalikan otoritas makna kata yang ada pada kitab suci itu kepada Tuhan, sang pemilik kalam-Nya, atau Nabi, utusan-Nya, tetapi ia kembalikan makna itu kepada manusia, sang pemilik bahasa.
Apa Tuhan menghendaki makna yang bukan dimaksudkan oleh seorang Bani Hudzail itu? Bisa saja. Tetapi menimbang bahasa, dalam aturan mainnya, tunduk pada konvensi sosial, itu jelas sudah keluar jalan (Saussure, 1959). Mengenai bahasa sebagai salah satu tanda, Al-Jurjani turut berpandangan bahwa kata tidak memberikan makna dengan sendirinya, tetapi makna itu dibentuk oleh konvensi sosial. Sangat mungkin kata itu mempunyai makna berbeda di kemudian hari, tergantung konvensi sosialnya. Menurut De Saussure, dalam pembacaan Abu Zayd (1995), hubungan antara makna dan kata, yang dalam bahasa De Saussure disebut penanda dan petanda, adalah hubungan yang lebih kompleks. Kesatuan bahasa (atau kita sebut sebagai kata) adalah perwujudan ganda, bukan karena dia menunjukkan hubungan antara sesuatu yang dikatakan dan entitas yang berada di luar. Tetapi karena kata tidak serta merta merujuk langsung ke entitas luar, tetapi ke mafhum yang ada di pikiran dahulu, lalu ke entitas luar. Secara sederhana, apa yang dibaca oleh Nasr Hamid adalah bagaimana konvensi sosial itu diurai kembali. Kata merujuk kepada mafhum yang ada di pikiran. Mafhum yang ada di benak tiap orang merujuk ke entitas yang ada di luar. Sedangkan mafhum yang ada di pikiran selalu dipengaruhi oleh entitas luar. Kita berada pada tiga hal yang saling berkaitan: kata, mafhum, entitas luar (‘alam ). Sehingga dalam berbahasa, termasuk bahasa Arab yang Al-Quran pakai, tiga hal ini tak bisa dilepaskan.
Sementara sabda Ilahi bukanlah hal yang dapat dijangkau manusia, sehingga yang paling mungkin dijangkau adalah sabda Tuhan yang sudah terkonversi menjadi teks suci. Sementara Al-Quran yang belum diletakkan dalam bentuk tulisan, apakah bisa dianggap sebagai teks? Bisa saja menurut Ricoeur. Karena teks, tulis Ricoeur (1981), adalah segala bentuk wacana (discourse) yang dipancangkan (fixed) lewat tulisan. Sedangkan ayat Al-Quran saat belum diletakkan dalam bentuk tulisan bukan menjadi masalah, karena ucapan (speech) masih termasuk dalam bentuk wacana. Bahwa kitab suci Al-Quran yang masih kita baca hingga kini adalah teks berbahasa arab, yang mana ketaatan dalam aturan mainnya menjadi hal yang disepakati.
Boleh jadi dengan cara pandang itulah kita bisa membaca apa yang dikemukakan oleh Ahmad Amin. Amin memberikan porsi yang tidak sedikit mengenai pembahasan proses kelahiran Islam. Melalui deskripsinya, Amin secara terang benderang memosisikan Islam lewat wahyu Al-Quran sebagai teks. Maka sebagai teks, ia punya interkoneksi. Ia turun pada lingkungan masyarakat yang luhur sastranya, lahir di tengah orang-orang jahiliah, yang Amin maknai sebagai orang-orang yang mudah merendahkan, marah, dan fanatik. Maka pemilihan kata ‘islam’, dalam pembacaan Amin, adalah pemilihan kata yang paling cocok disandarkan sebagai penolakan terhadap jahiliyah. Lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam, baik yang sifatnya amal maupun akidah, eksoteris maupun esoteris, bahkan ia bawa sebagai reaksi perilaku-perilaku jahiliyah kala itu (Amin, 1996). Cara baca ini membawa satu konklusi bahwa realitas menuntut kehadiran wahyu, lalu wahyu memilih diabadikan lewat teks sebagai medium, lantas wahyu kembali ke realitas lewat bentuk teks.
Teropong ini mungkin membantu kita menyingkap apa yang dikatakan oleh Nasr Hamid, bahwa teks terbentuk dalam realitas, berjalan pada relnya, dan realitas yang punya peran penting–jika enggan mengatakan sebagai faktor utama–dalam pembentukan teks. Realita adalah yang pertama, kedua, dan terakhir (Zayd, 1994). Pembacaan teks tanpa menimbang tuntutan dan sebab realitas sama saja menganggap teks sebagai tulisan biasa tanpa sisi wahyu, sementara wahyu meruang pada satu, dua, dan banyak kejadian, dan meruang pada bahasa, tempat dan waktu, dan ruang-ruang manusiawi lainnya. Sehingga jarak dan lipatan seperti itulah yang memungkinkan lahirnya distingsi; “bilangnya begini, maksudnya begitu”. Tetapi apa ia tetap akan dibaca otentik sebagai wahyu atau dibaca berselimut lipatan-lipatannya?
Barangkali itulah yang membuat Nasr Hamid melekatkan Al-Quran dengan frase “muntaj tsaqāfiy” (Zayd, 2014). Tesisnya memicu perhatian khalayak lantaran kata “muntaj” (produk) yang ia gunakan, alih-alih menggunakan kata “nash” (teks). Begitu pun kata “tsaqāfah” yang ia gunakan, alih-alih menggunakan kata “lughah” (bahasa). Sementara yang Nasr Hamid kehendaki tidak berbeda dengan apa yang telah penulis uraikan. “Tsaqāfah”, kata Nasr, adalah deskripsi tentang entitas luar (‘alam) menurut sekelompok manusia. Sementara bahasa adalah aturan yang mewakili deskripsi tersebut. Dalam bahasa sederhana, entitas luar adalah al-madlūl (petanda) dan bahasa adalah al-dāl (penanda) (Zayd, 1995). Sehingga apa yang dikehendaki oleh Nasr Hamid dengan “budaya” bisa diganti dengan “bahasa”.
Meskipun Nasr belum banyak membahas apa yang ia kehendaki dengan kata “produk” sependek pembacaan penulis, kecuali hanya dimaknai secara literal. Namun sebagai orang beriman, Nasr tidak meyakini ada tangan lain selain tangan Tuhan dalam pewahyuan kitab suci. Melacak pemikiran Nasr, kata “produk” yang ia kehendaki adalah sesuatu yang berkaitan dengan produksi. Maka selain teks kitab suci itu “produk”, setelah dia hadir di tengah masyarakat Arab, ia juga menjadi “muntij” (produsen), menjadi saingan primer bagi teks-teks lain, memandang peradaban Arab adalah peradaban teks. Sehingga di satu sisi ia terbentuk maka disebut muntaj, dan di sisi lain ia membentuk maka disebut muntij (Zayd, 2014). Lantas bagaimana rasanya mengonsumsi “produk” yang sudah dikonsumsi berabad-abad lalu?
Sesungguhnya tiada lagi “muntaj tsaqāfiy” saat pembacaan baru milik Nasr ia lahirkan. “muntaj tsaqāfiy” bukanlah akhir, dan tidak lain kecuali hanyalah premis awal, sehingga bukan hal final yang bisa dibingkai kemudian digugat. Nasr Hamid menawarkan satu pembacaan yang disebut dengan “maghzā” (signifikansi). Teks ilahi—atau Sabda ilahi—saat turun ke bumi, maka telah termanusiakan dan menjadi teks biasa yang tunduk pada perangkat-perangkat teks. Hanya saja karena itu teks yang turun dari Tuhan, maka haruslah relevan pada setiap masa. Maka melalui pendekatan yang Nasr pakai, teks menjadi statis dalam mantūq/dilālah, dan dinamis dalam mafhūm/maghzā. (Zayd, 1994).
Apakah teori maghzā yang digagas Nasr adalah teori baru? Nampaknya, E. D. Hirsch, JR, tokoh Hermeneutika asal Amerika Serikat, mempunyai teori yang mirip. Teori Hirsch berangkat dari kegelisahannya terhadap pembuangan sisi pengarang dalam memaknai teks. Pembuangan sisi pengarang dan membiarkan teks menjadi otonom, sehingga bisa bebas diinterpretasi, membuat teks kehilangan validitas makna. Menurutnya, makna teks tidak berubah, tetapi yang bisa berubah signifikansinya. Makna teks akan berubah saat hanya pemilik teks mengatakannya. Distingsi ini yang sering kali diabaikan. Sementara makna, menurut Hirsch (1967), adalah apa yang dikatakan oleh teks; adalah sesuatu yang dimaksudkan pengarang lewat penggunaan rangkaian partikular tanda; adalah apa yang tanda (teks) representasikan. Sedangkan signifikansi adalah hubungan antara makna dan seseorang, konsep, situasi, atau apa pun yang bisa diimajinasi. Sehingga suatu teks, jika ingin direinterpretasi, tidaklah menjadi usang. Apalagi teks itu memang dibuat untuk relevan di segala masa. Lantas selain selalu tajdīd interpretasi, ingin apalagi?
Pembacaan teori maghzā Nasr pernah ia terapkan dalam beberapa wacana terkait perempuan. Salah satunya mengenai pernikahan. Teks-teks mengenai perempuan kebanyakan termaktub dalam surat Al-Nisa’, surat madaniyah yang turun setelah perang Uhud pada 4 H. Kekalahan kaum Muslimin dan banyaknya dari mereka yang mati syahid menjadikan banyak kemunculan janda dan anak-anak Yatim dan ketentuan-ketentuan terkait pernikahan, cerai, dan warisan. Surat Al-Nisa’ dibuka dengan ayat yang menerangkan kesetaraan antara lelaki dan perempuan, sejak dari asal mula diciptakan, sampai dalam perkara taklif, urusan-urusan duniawi dan ukhrawi. Lalu ayat selanjutnya menerangkan urusan anak yatim dan pernikahan. Nasr menyoroti bahwa berangkat dari susunan gramatikal, ayat tersebut mengandung susunan syarat, yang menggantungkan antara kebolehan poligami dan khawatir berbuat tidak adil. Kedua hal itu lantas menunjukkan bahwa ketentuan tersebut bukanlah ketentuan yang tetap, melainkan ketentuan yang hadir sebagai solusi atas kondisi tertentu. Hal yang membuat rancu adalah kebiasaan poligami orang Arab yang tidak tunduk pada batasan apa pun sebelum Islam datang. Sehingga saat Islam mencoba memberikan beberapa aturan-aturan yang menjadikan perempuan tidak dianggap sebagai barang, lantas harusnya dikembalikan kembali pada konsep kesetaraan yang dibawakan oleh ayat sebelumnya. Karena toh batasan-batasan itu, sekalipun ia diterangkan jelas pada teks, hanyalah menyesuaikan pada nalar sosio-historisnya. Apalagi ayat tentang poligami turun pada kondisi tertentu. Maka meskipun makna yang ia bawa adalah poligami, tetapi signifikansi ayat ini adalah monogami (Zayd, 2004).
Aplikasi teori maghzā ala Nasr Hamid mungkin bukanlah praktik yang tidak pernah ada sebelumnya. Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi yang tak pernah selesai dibaca. Membaca Umar adalah membaca pemikiran-pemikiran unik dan berani dalam sejarah Islam. Meskipun kita masih boleh berdebat tentang pengklasifikasiannya, Umar termasuk golongan ahl-ra’y dalam sejarah hukum Islam. Umar adalah lembaran-lembaran ijtihad yang layak diberi markah dalam buku besar sejarah hukum Islam. Kebijakan-kebijakannya saat memangku jabatan khalifah menuai banyak pertanyaan. Kebijakan tentang distribusi zakat adalah satu puingnya (Amin, 1996).
Meskipun apa yang dilakukan oleh Umar menarik kembali perhatian pakar ushul fiqh, namun tidaklah mustahil di sisi lain menjadi legitimasi pembacaan sahih dari bukan hanya satu pihak. Penolakan Umar terhadap distribusi zakat kepada mualaf boleh dibaca oleh banyak kalangan sebagai penangguhan pemberian zakat, bukan mengubah ketentuan hukumnya, atau bahkan melawan dan menabrak ayat. Begitu juga interpretasi-interpretasi lain yang secara tegas dan kukuh membela sikap Umar sebagai ijtihad yang benar. Lagi pula, siapa yang berani mengatakan sahabat Umar sembrono dalam melakukan ijtihad? Tetapi pembacaan-pembacaan lain juga bukan merupakan hal yang tidak boleh diraba. Lebih dari itu, misalnya, pembacaan teks zakat lewat kacamata maghzā Nasr Hamid.
Membaca teks zakat adalah membaca kehadiran teks agama yang ditujukan pada orang-orang Arab di masa primordial. Teks shadaqat (zakat) lahir dalam konteks ajaran Islam yang hadir atas kondisi sosial saat itu. Sehingga hal-hal yang terkait dengan konsep zakat, dari mulai nama dan definisinya, penentuan mustahiq, sampai hal-hal prosedural bukanlah hal yang statis dan profan, karena wahyu Tuhan yang transenden butuh penyesuaian dengan sosio-historis saat itu. Sehingga teks-teks agama tentang zakat mau tidak mau harus dibaca lepas dari ke-produk budaya-annya, harus dilepas dari lipatan-lipatannya, jikalau ingin membuka keotentikannya.
Zakat kini dipandang sebagai praktik yang dogmatis asosial, praktik yang tidak punya konteks sosial, seakan-akan turun di bawah pohon di siang bolong (Mas’udi, 1993). Sekalipun ayat Al-Quran menyatakan zakat adalah penyucian tumpukan harta dari kotoran pelit, kikir, dan tamak, tetapi ucapan Nabi tentang zakat sebagai hal yang mampu mencukupkan orang-orang faqir, dan sabda “kaum faqir tidak akan merasakan susah payah (yaitu) saat mereka lapar dan telanjang kecuali sebab apa yang dilakukan oleh orang-orang kaya” bukan tidak berarti menunjuk makna lain kehadiran zakat (Sabiq, 2004). Hal lain yang patut direnungi kembali adalah berjenjangnya perintah zakat. Teks turun pada kaum muslim Mekkah yang belum mempunyai struktur sosial yang resmi, sehingga teks yang hadir berbunyi “agar tidak berputar pada orang-orang kaya” saja. Lantas ketika kaum muslim punya sistem sosial yang kuat di Madinah, zakat kemudian dilengkapi dengan segala prosedurnya. Sehingga ajaran zakat bukanlah lembaran-lembaran yang tiba-tiba turun dari langit. Lantas tidak menjadi ritual yang tak lebih dari sekedar santunan karitatif yang bersentuhan dengan kebutuhan perorangan dalam batas skala yang sangat sempit.
Berangkat dari situ, konsep zakat bisa atau bahkan harus dikonstruksi ulang. Rekonstruksi konsep zakat agar dibaca sebagai wahyu dapat penulis pinjam gagasan Masdar F. Mas’udi. Ide yang dibawa Masdar adalah penyetubuhan pajak dan zakat. Melacak filosofi sosial dan akar-akar sejarah zakat, Masdar menyatakan bahwa embrio zakat adalah upeti pada ketatanegaraan zaman dahulu. Namun begitu, upeti yang alih-alih membuat sejahtera rakyatnya, justru malah membuat berenang dalam kemiskinan. Teks zakat yang hadir dengan membawa spiritnya lantas mengubah upeti dan lembaganya yang semula tempat dasar kezaliman, menjadi wahana yang bertransformasi menjadi sumber keadilan (Mas’udi, 1993).
Berbicara prosedur zakat berarti berbicara seputar penerima, kadar, dan barang yang wajib dizakati. Lebih lanjut lagi, masih menurut Masdar, delapan golongan penerima zakat yang termaktub dalam ayat enam puluh pada surat At-Taubah bisa dikontekstualisasikan, Dalam hal ini, sabīlillāh sebagai penerima zakat tidaklah sesuai dengan kemaslahatan yang nyata apabila hanya dimaknai “tentara di medan perang melawan orang kafir”, sementara aparat penegak hukum tetap kita letakkan di luar orbit misi ketuhanan untuk tegaknya orde keadilan.[1] Dalam barang yang wajib dizakati, ia juga berpendapat bahwa rincian detail Nabi mengenai hal-hal yang wajib dizakati tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio historis saat teks dituntut untuk hadir, sehingga hanya terpusat pada sektor produktif yang dijadikan tumpuan saat itu, sedang hal-hal lain yang belum lazim menjadi tak terjangkau. Dalam kadar tarif zakat pun bukanlah hal yang tak bisa diganggu gugat dan diotak-atik kembali. Menurutnya, lagi-lagi kadar tarif zakat tidak bisa lepas dari nalar dan setting sosialnya. Masdar menguraikan, rincian Nabi mengenai zakat didasari atas masyarakat Madinah yang roda ekonominya memang banyak bertumpu pada sektor pertanian. Lantas menjadi masuk akal saat tarif zakat hasil pertanian lebih tinggi dibanding dengan kadar zakat hasil niaga. Secara berani, Masdar bahkan memastikan kalau teks ini dituntut hadir di tengah-tengah masyarakat Mekah, di mana poros ekonominya bertumpu sektor perdagangan kapitalistik, maka tarif itu niscaya dibalik. (Mas’udi, 1993).
Apa yang Masdar mainkan secara panjang lebar tidak lain adalah cerminan gagasan zakat-pajaknya. Sederhananya, Masdar mengatakan zakat dan pajak bukanlah untuk dipisahkan, apalagi ditabrakkan. Zakat adalah ruhnya, sementara pajak adalah badannya. Sebagai konsep keagamaan, zakat bersifat ruhaniyyah dan personal. Sementara konsep kelembagaan dari zakat yang bersifat profan dan sosial adalah sebutan lain dari pajak. Oleh sebab itu, barang siapa dari umat beriman yang telah membayarkan pajaknya (dengan niat zakat) kepada negara, maka terpenuhilah sudah kewajiban agamanya. Sebagai orang muslim (pasrah kepada Tuhan), ia telah menunaikan tanggung jawab sosialnya secara benar dan semestinya. Sebaliknya, seberapa pun besarnya sumbangan atau infaq seorang muslim kepada pihak-pihak tertentu tanpa lewat otoritas negara, maka sumbangan itu jatuhnya hanyalah sedekah biasa (tathawwu’) yang bersifat ekstra (nāfilah) dan tidak bisa menggugurkan kewajiban pajaknya (sedekah zakatnya)(Wahid, 1993).
Teori maghzā ala Nasr Hamid bisa menjadi pisau yang digunakan untuk membedah pemikiran Masdar, meski tidak pernah ia nyatakan secara langsung. Adapun ide Masdar tentang penyetubuhan zakat dengan pajak bisa dipersoalkan kembali apabila ingin dibaca lewat kacamata ini. Apakah itu sebagai langkah konkret aplikasi wahyu itu sendiri, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi langkah berbeda di kemudian hari, atau malah satu gerakan yang masih perlu ditaruh di dalam sangkar terlebih dahulu.
Maka apakah sikap Umar mengenai distribusi zakat untuk mualaf menjadi masalah jika dibaca lewat kacamata ini? Lalu mengapa yang diubah oleh Umar hanya soal mustahiq zakat, maka jawabannya sudah tentu karena nalar setting sosial yang tidak jauh berbeda, sehingga konstruksi ulang hampir seluruh konsep zakat bukanlah hal yang bijak. Apakah Umar juga menggunakan kacamata yang sama?
Membaca Al-Quran sebagai wahyu otentik melalui teori Nasr membantu pembaca untuk membaca teks sebagai perwakilan abadi dari Tuhan, alih-alih menuhankan teks. Sekaligus membedakan mana yang tersembunyi dalam lipatan dan mana yang tak terkatakan sebagai pesan. Di sisi lain, pembacaan seperti itu membuat pembaca tetap berada dalam koridor identitasnya, bukan lantas beralih identitas menjadi satu bangsa tertentu. Sehingga semua tetap otentik di hadapan Tuhan; hamba-Nya, pembaca, dan pesan-Nya. Kemudian wahyu Tuhan tetap “kāffah” dan kita semua menjadi teringat kebenaran salah satu ayat-Nya; “dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya” (QS. Saba’; 28).
Kitab suci Al-Quran bukan produk budaya adalah iman yang banyak orang amini. Tetapi membacanya sebagai wahyu otentik ternyata masih harus melewati jalan berliku. Apalagi pembaruan ilmu-ilmu agama dianggap menambah-nambahi agama. Membaca lewat kacamata lain dianggap liberal, kritik pemikiran berarti kritik ajaran, dan seterusnya.
Intihob S. Savirta
Mahasiswa tingkat I Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo
Referensi:
Abu Zayd, Nasr Hamid. (1995) al-Nash, al-Sulthah, al-Haqīqah, (cet, 1) Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfiy al-ꜤArabiy.
—————————. (2004) Dawāir al-Khauf (cet,3) Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfiy al-ꜤArabiy.
—————————. (2014) Mafhūm al-Nash (cet, 1) Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfiy al-ꜤArabiy.
—————————. (1994) Naqd al-Khithāb al-Dīniy (cet. 2 ) Kairo: Sina.
Amin, Ahmad. (1996). Fajr al-Islām. Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-ꜤĀmmah.
De Saussure, Ferdinand. (1959) Course In General Linguistics. Terj. Wade Baskin. New York: Philosophical Library.
Hirsch, JR. E. D. (1967) Validity In Interpretation. London: Yale University Press.
Mas’udi, Masdar F. (1993) Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (cet. 3) Jakarta: P3M.
Ricoeur, Paul. (1981) Heurmenetics and the Human Sciences (cet. 1) New York: Cambridge University Press.
Sabiq, Sayyid. (2004 ) Fiqh as-Sunnah (cet. 1) Kairo: Dar al-Hadīts,
Wahid, Abdurrahman. (1993) Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas. Kata Pengantar untuk buku Masdar Farid Mas’udi,cet. III Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) p. xiii.
Wahid, Marzuki. (2003) Pemikiran Agama Keadilan Masdar Farid Mas’udi:
Transedensi Negara Untuk Keadilan Sosial. Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner. Vol.2, 52-94.
[1] Dikutip dari Marzuki Wahid, Pemikiran Agama Keadilan Masdar Farid Mas’udi:
Transedensi Negara Untuk Keadilan Sosial. Ia mengutip dari Masdar F. Mas’udi, “Zakat, Mensiasati Negara untuk Kemaslahatan Ralyat“, Makalah tidak dipublikasikan.