Identitas Buku
JUDUL:
Fiqh al-’Umrân, al-’Imârah wa al-Mujtama’ wa al-Dawlah (Fikih Urban: Bangunan, Masyarakat, dan Negara)
PENULIS:
Khalid Azb
TERBIT:
Mei, 2017 (cetakan kedua)
PENERBIT:
al-Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah, Kairo
TEBAL:
576 halaman
UKURAN:
28 cm x 19,5 cm
ISBN:
978-977-427-753-5
Prolog
Dalam teks-teks keagamaan Islam, khususnya di jazirah Arab terdapat penyebutan “al-badiyah” yang secara harafiah berarti tanah-lapang dengan tempat menggembala dan air. Orang yang tinggal di sana disebut dengan nisbat “badawiy” yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi badui.
Kata itu berlawanan dengan “al-madinah” atau “al-mishru” yang berarti kota; tempat tinggal dengan bangunan-bangunan sebagai penunjang fasilitas kehidupan para penduduknya. Masyarakatnya hidup bersama dalam peradaban dan kemajuan. Dalam bahasa Indonesia, kata ini juga diserap masuk menjadi tamadun, dari kosakata Arab “tamaddun” yang berasal akar kata yang sama dengan “al-madinah”.
Dalam peradaban Islam terdapat beberapa kota yang menjadi latar-tempat proses turunnya syariat, sejak masa Nabi SAW hingga para Sahabat setelahnya. Kakbah terdapat di kota Makkah. Ada yang menjadi tempat-tinggal sekaligus pusat Nabi Muhammad SAW berdakwah. Nama kotanya pun al-Madinah. Ada kota Bagdad, Kufah dan Basrah yang masyhur. Kota Fustat di Mesir. Kota Kairo Lama tinggalan era Fatimi. Juga kota-kota lain hingga ke ujung Barat jagat keislaman memanjang dari Tripoli (Libya), Tunis (Tunisia), Fes (Maroko), dan Andalus (Spanyol).
Kota-kota tersebut sampai sekarang masih menyimpan peninggalan kota-lama yang menjadi saksi-bisu. Sayangnya, bangunan fisiknya yang masih terjaga tak lebih banyak dari apa yang terekam dalam berbagai jenis catatan. Maka tak heran, jika menggambarkan bagaimana kondisi dan dinamika-kehidupan di beragam kota Islam tidaklah mudah. Dr. Khalid Azb meramunya dalam buku berjudul Fiqh al-’Umrân: al-’Imârah wa al-Mujtama’ wa al-Dawlah (Fikih Urban: Bangunan, Masyarakat, dan Negara). Buku tersebut disusun dari beberapa sumber utama seperti kitab kumpulan fatwa, kitab-kitab siyasah syar’iyyah (kebijakan-publik berasas Islam), kitab turats (klasik) spesifik tata-kota Islam, hingga dokumen-sijil mahkamah, kitab-kitab fikih, hingga persis kitab turats yang membahas fiqh al-’umrân (fikih urban).
Buku ini yang menurut Dr. Khalid ‘Azb sudah mulai disusun sejak medio 80-an di bangku sarjana diharapkan mampu menjadi pintu-gerbang bagi pembaca, peneliti, dan pelajar yang hendak mencari-tahu lebih jauh tentang fikih urban. Ia berupaya memotret dinamika Muslim penduduk-kota dalam tiga hal utama yang saling berkaitan: bangunan yang mengalami pemekaran, masyarakat yang berusaha menyelesaikan permasalahannya, dan otoritas yang mengeluarkan kebijakan.
Kukuh dan Estetis
Setelah mukadimah, Dr. Khalid Azb memulai bukunya dengan pemahaman Islam tentang pembangunan dan urban. Ia mengumpulkannya dalam dua poin menarik yang akan ditemukan oleh sesiapa yang menilik bangunan-bangunan tinggalan di kota-lama.
Pertama, al-quwwah (kuat/kukuh). Islam menekankan integritas (al-itqan) pada diri seorang Muslim. Sedangkan, kukuh atau teguh merupakan asas integritas dan profesionalitas. Rasul SAW bersabda: “Semoga Allah merahmati orang yang bekerja dan menjaga integritasnya.” Hal ini juga bisa dilihat dari perilaku Nabi saat membangun masjidnya bersama para Sahabat. Dalam suatu riwayat, Nabi berkata pada Talq bin Ali al-Hanafi saat melihatnya mengolah bahan bangunan “Sesungguhnya al-Hanafi satu ini memang pemegang al-thin (adonan bangunan).” Di riwayat lain, Nabi SAW memerintahkan agar tugas adukan turap dipegang oleh al-Hanafi, “Biarkan al-Hanafi dengan adonan, sebab ialah yang paling pas dengan adonan (untuk pekerjaan melepa).”
Kedua, al-Jamal (indah/estetis). Islam mengajarkan keindahan, baik batin maupun zahir. Seorang Muslim dianjurkan memakai baju terbaiknya dalam beribadah. Bukan saja saat ia akan pergi ke masjid atau tidak, melainkan dengan redaksi “hendak beribadah”. Selain dalam hal berbusana, seorang Muslim juga selayaknya memperhatikan nilai estetika dalam pembangunan infrastuktur.
Dua hal itu dapat kita amati saat melancong ke kota tua, setidaknya dari sederet nama kota tua yang disebut di awal resensi dan dijadikan objek penelitian Khalid Azb. Saya melihatnya juga saat berziarah di kota-tua Kairo atau Fes. Tiap tinggalan bangunan tampak memiliki indah dan telah melalui perhitungan yang matang hingga kokoh. Di Kairo sendiri malah mudah sekali kita bandingkan antara bangunan kota-tua dan bangunan yang baru dibangun beberapa tahun terakhir. Yang disebut terakhir sering kali acuh pada nilai estetis bahkan ada yang sampai tak memperhatikan faktor kekuatan. Apartemen yang dibangun asal-asalan, tidak paripurna, miring dan membahayakan, misalnya. Kontras dengan bangunan rumah tradisional Bayt al-Suhaymi (Kairo) Arab era Turki-Usmani misalnya yang begitu memperhatikan fungsi dan estetika.
Yang juga menarik dari buku ini, bagaimana usaha Dr. Khalid menggali awal mula mihrab dari Masjid Nabawi yang dulu beratapkan pelepah kurma. Juga peristiwa Khalifah Abu Bakr yang turun satu dari tiga anak-tangga mihrab tempat Nabi menjadi khatib Jumat. Khalifah Umar bin Khattab pun sempat ikut turun satu anak-tangga di masa kepemimpinannya. Di dalam beberapa bahasan, meskipun penulis secara jelas memilih pendapat-pendapat yang moderat, tapi ia secara tak ragu juga menuliskan pendapat lain bahkan argumen hukum fikih yang cenderung keras, seperti pengharaman bentuk mihrab dan menghias masjid dengan zakharif (ornamen).
Kebijakan Otoritas dalam Fikih Urban
Selain mukadimah dan mulhaq (apendiks/lampiran), Dr. Khalid membagi buku ini ke dalam delapan bagian. Fikih urban diletakkan pada pasal pertama. Peran fikih dalam tata-kota di pasal kedua. Lalu berturut-turut membahas fikih berkenaan masjid sebagai sebuah bangunan-kota, fikih pasar dan bangunan perekonomian. Lantas fikih terkait kompleks hunian, fikih air dan prasarananya, wakaf di masyarakat berkaitan bangunan, dan pembahasan berakhir dengan kecerdasan arsitektur dalam peradaban Islam. Beberapa halaman yang tak kalah penting dan menarik adalah lampiran berisi beberapa istilah dalam fikih, kaidah fikih, serta istilah khusus lain dalam fikih urban.
Salah satu yang menarik dari buku ini, menurut saya, Dr. Khalid melalui bukunya ingin mengangkat betapa dinamika kehidupan kota-kota tua dalam peradaban Islam begitu kompleks. Ada satu bagian yang, menurutnya, kurang terekspos jika membincang “Islam” dengan “kota” yang identik dengan kemajuan atau justru lekat dengan aturan-aturan yang mengikat (dari otoritas penguasa). Ia berusaha membuka khazanah keislaman yang masih dianggapnya tertutup-tersimpan fikih urban.
Buku ini menyajikan fikih urban yang di dalamnya terdapat dua aspek berpengaruh: siyasah syar’iyyah (kebijakan-publik berasas Islam) dan fiqh al-’imarah (fikih bangunan). Banyak karangan para ulama (dalam fikih) yang secara spesifik membahas siyasah syar’iyyah saja. Sementara fiqh al-’imarah yang merupakan pengalaman kasus-kasus fikih dibahas hanya dalam sekelebatan perdebatan terpisah di kitab kumpulan fatwa dan nawazil (kasus-kasus baru), tidak ada karangan khusus untuk hal ini kecuali sedikit. Keduanya sama-sama dalam area fikih dan berpengaruh pada dinamika kehidupan kota-kota Islami.
Fiqh al-’imarah membahas dinamika masyarakat kota dengan sarana dan prasarana serta keinginan mereka mengambil penyelesaian fikih seiring kemajuan lingkungan urban. Dengan kata lain, fikih ini terwujud atas keinginan masyarakat-kota menyelesaikan masalah yang muncul seiring dinamika pembangunan sarana-prasarana di lingkungkannya. Ia tak ubahnya kerangka-acuan fikih yang disusun ulama atas keinginan masyarakat-kota saat itu.
Yang paling membedakan fiqh al-’imarah dari siyasah syar’iyyah (kebijakan-publik berasas Islam) adalah pijakan awal keduanya. Siyasah syar’iyyah bertumpu pada otoritas (penguasa/negara) yang ingin agar aturan dan kebijakannya diterapkan, membumi di masyarakat. Sementara fiqh al-’imarah berpangkal pada masyarakat yang ingin agar masalah yang muncul di tengah pembangunan-kota diselesaikan dengan rumusan fikih spesifik terkait dinamika-urban hasil susunan para fukaha (dengan kaidah usul fikih).
Kerangka-acuan dalam fiqh al-’imarah inilah yang sebenarnya lebih mampu diharapkan penerapannya karena ia datang dari kegelisahan khalayak, orang-orang yang akan langsung bersentuhan dan terdampak. Merekalah yang akan menerapkan nilai-nilainya, meski pada kenyatannya, Dr. Khalid juga menyinggung bahwa keduanya bersinggungan peran karena cakupan siyasah syar’iyyah lebih umum dari fiqh al-’imarah yang menyentuh detil persoalan. Meski yang pertama itu tetaplah yang paling banyak berpengaruh dengan dalih kekuasaan, sementara fiqh al-’imarah dihindari oleh para pengampu kekuasaan, keduanya tetaplah dua aspek yang berpengaruh dalam fiqh al-’umran seperti yang dijabarkan dalam buku ini.
Bersambung di bagian II