Lanjutan bagian I
Kota Ideal dalam Fikih Urban
Dalam buku ini, Dr. Khalid menyajikan capaian beberapa ulama terdahulu melalui rumusan fikih yang disebut dengan fiqh al-’umran ini. Salah satu yang menarik adalah dua bait syair yang dikarang oleh seorang fakih yang juga kadi di tanah Yaman bernama Jamaluddin Muhammad bin al-Hasan al-Haymi (wafat 1115 M). Ia menganggit syair tentang syarat sebuah kota:
المِصْرُ في صِحّة التجميع مُشترط # فاسمعْ حقيقة ما يحْويه تفصيلا
والٍ وقاضٍ طبيبٌ جامعٌ وكذا # سوقٌ ونهرٌ وحمّامٌ كما قيلا
Sebuah kota itu mempunyai syarat untuk menjadi hunian,
Dengarkanlah (saya sebutkan) hakikatnya secara detil
(Kota harus punya) pemangku kebijakan, pemimpin, kadi, tabib, masjid jamik, dan;
demikian juga punya pasar, sungai, dan pemandian
Syarat-syarat ini menyentuh hampir semua aspek kehidupan perkotaan jika kita lihat detil. Mulai dari pemerintahan sebagai eksekutif, kadi sebagai yudikatif, dokter untuk aspek kesehatan, jamik untuk beribadah, pasar sebagai pusat perekonomian, sungai untuk sumber air, dan juga hammam (pemandian umum) sebagai kebutuhan gaya-hidup sehat.
Dalam bahasan fikih air dan prasarananya, pembahasan hammam (pemandian umum) dibahas rinci dari mulai bangunan fisik hingga adab seorang Muslim dalam memakai fasilitas ini. Hammam dalam teks-teks sejarah Islam tidak bisa diterjemahkan begitu saja seperti istilah modern sekarang yakni kamar mandi. Seperti lazimnya setiap istilah memiliki zamannya, hammam yang dimaksud bukanlah kamar mandi personal seperti era sekarang ini yang ada dalam bagian tak terpisahkan sebuah rumah, melainkan pemandian-umum baik yang berair hangat ataupun normal.
Mandi, seperti disebut oleh penulis buku ini, bukan merupakan bagian budaya bangsa Arab yang menempati tanah berpasir dan sahara. Islam datang lalu memasukkannya ke dalam bagian bersuci yang mempunyai hukum wajib (mandi besar) ataupun sunnah (mandi Jumat). Seiring kebutuhan masyarakat pada mandi inilah muncul bangunan hammam yang biasanya dimiliki di beberapa sudut sebuah kota.
Mandi dalam pemandian umum ini pun bukan berfungsi sebagai sarana bersuci saja, melainkan mempunyai peran kesehatan dengan adanya ruang beruap, terapi pijat oleh seorang petugas yang disebut Lawanji (penjaga liwan), serta mandi dengan sabun. Setiap orang yang mandi akan dikenai biaya. Pengantin juga biasanya akan menyewa-penuh khusus mendekati hari bahagianya.
Sebagian hammam dimanfaatkan oleh baik pria maupun wanita. Biasanya, hammam jenis ini dibedakan waktu penggunaannya, seperti sebelum zuhur dan sesudahnya. Jika wanita, biasanya di bagian muka hammam akan digantung secarik kain sebagai penanda. Yang membedakan tak hanya itu, dalam catatan, konsumsi sabun wanita terhitung lebih banyak dari pria. Fasilitas kain yang disediakan juga lebih halus milik wanita daripada pria.
Salah satu kecerdasan desain bangunan di dalam peradaban Islam, pintu hammam dan bangunan hunian pada umumnya didesain dengan lorong yang patah, bukan lurus. Hal itu dengan tujuan agar orang yang lewat tidak melihat apa yang di sebalik pintu. Jika rumah terletak di dua jalan berbeda, rumah tradisional Arab akan cenderung memilih jalan yang lebih sedikit dilalui sebagai pintu. Misalnya, beberapa rumah tradisional yang masih terjaga hingga saat ini di kota-tua Rashid, Mesir. Khusus dalam kakus-umum, posisi bak air ada di sisi kanan penggunanya sehingga kalau pun pintu terbuka, aurat pengguna yang sedang buang-hajat akan tetap tak terlihat oleh yang membuka pintu.
Dalam kota-kota Islami, Dr. Khalid mengelompokkan jalan dalam tiga jenis: jalan umum, jalan menengah umum-khusus, dan jalan khusus. Ketiganya dibedakan dari seberapa banyak jalan itu digunakan oleh khalayak. Semakin banyak yang menggunakan, semakin sedikit pajak yang dibebankan. Sementara jalan khusus adalah gang yang berakhir buntu dan memiliki tingkat keterjagaan-privasi paling tinggi serta pungutan pajak terbesar meski akses ke berbagai tempat strategis jauh. Contoh jalan khusus yang masyhur adalah jalan Khusy Qadam sekarang ini ada di Distrik al-Darb al-Ahmar dan jalan Mong di tempat Bayt al-Sinnari beralamat, Distrik Sayidah Zainab.
Sabil: Kebaikan dalam Mengelola Air
Dalam Islam terdapat 3 hal yang disebut sebagai milik-bersama. Nabi SAW bersabda, “Orang-orang memiliki 3 hal (sebagai hak bersama): air, rumput-gembala, dan api,” (HR Abu Dawud). Sumber-sumber air natural seperti sungai, danau, dan laut tidak bisa dimiliki perorangan. Mereka milik bersama.
Dalam kota-kota di wilayah Islam biasanya terdapat sebuah bangunan bernama sabil (tempat air-minum umum). Ia merupakan wakaf dari seseorang untuk kepentingan umum—dalam hal ini air-minum. Seperti sebuah yayasan, sabil dijaga oleh orang-orang yang dibiayai dengan dana wakaf untuk mengurus tata-kelola dan merawatnya.
Seorang penunggu sabil disyaratkan bukan orang yang terjangkit penyakit kulit atau penyakit menular lainnya. Syarat yang tak kalah menarik adalah ia harus berpenampilan baik dan bukan orang dengan muka masam. Hal itu semata untuk memberi pelayanan maksimal bagi khalayak.
Dalam pembahasan air, Dr. Khalid juga memulai dengan urut dari hukum yang berkaitan dengan mata-air (‘uyûn), sumur-air (âbâr), tandon-air bawah tanah (sahârij), hingga detil sabil, baik bangunan maupun aturan pengelolaan.
Dalam catatan, proyek terbesar pembangunan sahrij ialah yang dinisiasi oleh seorang putri bangsawan bernama Zubaidah binti Jakfar (170-193 H), istri Harun al-Rasyid. Ibnu Batuta juga turut mengabadikannya dalam Rihlah, “Setiap tandon-air, kolam, atau sumur yang ditemukan di sepanjang jalan antara Makkah dan Bagdad adalah donasi tinggalannya (Zubaidah). Semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan dan pahala. Jika bukan kebaikannya melalui proyek-air sepanjang jalan ini, takkan ada seorangpun yang melewati jalur ini.”
Zubaidah membangun megaproyek penggalian sumur sepaket dengan sahârij di sepanjang jalan Bagdad menuju Makkah dan Madinah, di jalan yang setiap tahunnya memakan-korban ribuan jamaah haji yang meninggal sebab kehausan. Fasilitas itu bahkan terus bermanfaat dari sejak masa hidupnya hingga abad ke-6 Hijriah.
Selain sabil, ada bangunan lain bernama hawdl yang berarti kolam untuk minum hewan-tunggangan dan ternak. Di banyak sabil, khususnya di Kairo Lama akan kita jumpai bagian yang dimaksud dengan hawdl yang menempel pada bangunan utama, seperti di sabil Sulaiman Agha Silahdar (era Turki-Usmani) di jalan al-Mu’izz atau hawdl biasa (tanpa menempel bangunan lain) seperti yang dibangun Sultan Qaitbay di belakang Masjid al-Azhar. Ia ada tepat di persimpangan belakang masjid sebelum lapak-buku Tahta Syajarah dan kafe, sebelah kanan jika seorang pejalan membelakangi Masjid al-Azhar ke arah kampus.
Tata-kota dalam Fikih Urban
Aturan pembangunan jalan yang menjadi akses menuju hunian diatur dalam cakupan kaidah fikih lâ dlarar wa lâ dlirâr (tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain). Kaidah ini diterapkan untuk melindungi privasi, hak guna, dan kehidupan bertetangga, seperti dalam banyak kasus pembangunan rumah.
Salah satu kasus yang terekam dalam sijil mahkamah, disebut oleh seorang ulama pakar tata-kota bernama Ibn al-Rami dalam kitabnya al-I’lân bi Ahkâm al-Bunyân bahwa terdapat seorang yang berperkara karena tetangganya mempunya alat-penggilingan yang berisik dan dianggapnya dapat berdampak hingga rumahnya. Ada juga kasus lain yang mirip, hanya saja sumber berisik dan celakanya berbeda, yakni kandang kuda. Tiap waktu tertentu terdengar berisik karena hentakan kaki-kuda.
Kedua kasus itu berakhir dalam meja kadi yang melibatkan pakar bangunan sebagai saksi ahli. Kedua kasus itu ditutup dengan sebuah penyelesaian masalah yang menarik. Pakar bangunan diminta mengukur seberapa kuat pengaruh hentakan kuda dan alat-penggilingan pada dinding tetangga. Pada skala tertentu, perkara akan memihak pada tetangga yang dindingnya berpotensi rusak. Namun, jika tidak, maka hak seseorang masih tetaplah penuh dengan rumahnya. Atas masukan pakar-bangunan, kedua masalah itu dipungkasi dengan solusi memberi ruang hampa-udara yang kedap suara di antara dinding kedua orang yang bertetangga.
Hukum membuka pintu bagi rumah yang ada di gang buntu juga dibahas dalam buku ini. Apakah setiap penghuni di gang itu bebas membuka akses menuju rumahnya ataukah dengan mekanisme pemungutan suara?
Ada juga penjelasan menarik tentang gerbang di sebuah gang yang pada bagian atasnya dibangun rumah (sabath). Pemasangan jendela dan kaitannya dengan dlarar al-kasyf (privasi rumah), haq al-hawâ’ (hak atas langit) seperti saat seseorang membeli hak-guna lantai dua rumah tetangganya, haq al-murûr (hak lalu-lalang), dlarar al-shawt (kerugian sebab bising), dan kaidah bertetangga dalam area hunian atau pasar. Apakah penjual minyak-tanah dibiarkan begitu saja berdekatan dengan penjual kain? Atau, apakah pusat penyamakan boleh berdampingan dengan rumah-ibadah yang tak berpenghuni tapi tiap kali salat, jamaah mengeluhkan baunya?
Banyak hal menarik yang diulas baik dalam bentuk kaidah fikih dan usul fikih maupun temuan kasus zaman dahulu yang menarik beserta penyelesaiannya. Dari yang sesederhana apa hukum fikih membangun infrastruktur pasar, sampai yang detil dalam sebuah contoh kasus terdahulu. Semua hukum berpatokan pada fikih empat mazhab, para kadi dengan kasusnya, hingga kaidah dalam usulfikih.
Ada banyak hak dan dlarar (bahaya/kerugian) yang dipertimbangkan dalam kehidupan kota-kota Islami. Spesifik tentang hukum menerangi jalan yang berperan penting bagi sebuah kota, Dr. Khalid memaparkan temuan menarik bahwa di kota Kordoba ada 10 kilometer jalan yang diterangi lampu untuk menghindarkan pejalan dari dlarar (bahaya) saat gelap, sementara 700 tahun setelah masa itu di jalanan London belum 1 pun terpasang lampu-penerangan.
Kelebihan dan Kekurangan
Menurut saya sebagai peresensi, merupakan sikap yang terlalu rendah-hati jika Dr. Khalid ‘Azb menyebut buku ini sebagai madkhal (permulaan) bagi pelajar yang ingin mempelajari Fiqh al-’Umrân (Fikih Urban). Karena porsi pembahasan yang sangat spesifik di beberapa kota yang menjadi sampel, seperti kota-kota tua di Mesir, Maroko, Spanyol, Yaman, Irak dan Saudi, buku ini bukan sekadar gerbang bagi pemula. Ia adalah temuan-temuan kaya dari khazanah Islam. Seorang pembaca yang baru membaca buku-buku arkeologis membutuhkan beberapa pendahuluan khususnya di istilah terkait.
Banyak istilah atsari (arkeologis) yang akan susah dipahami jika pembaca belum pernah melihat langsung, atau setidaknya pernah membaca tentangnya dengan paripurna di selain buku ini. Namun, meski begitu buku ini dilengkapi ilustrasi dan gambar yang terbilang banyak—untuk kategori fikih atau bahkan arkeologi Islam sekalipun.
Secara umum, buku ini sangat layak mendapat penghargaan sebagai Buku Terbaik di Negeri Arab 2014 dari sebuah yayasan Lebanon, Muassasah al-Fikr al-Arabi yang pada tahun itu menggelar penganugerahan di Maroko. Sebuah karya yang turut menyumbang besar dalam tema sejarah peradaban Islam.
Epilog
Pada Ramadan kali ketiga yang lalu, sebuah rumah-budaya di Distrik Sayidah Zainab bernama Bayt al-Sinnari mengadakan rangkaian acara yang mengangkat kehidupan seorang qari terpilih. Saat itu, ada foto, dokumen, kliping dari koran masa hidup sang qari serta biografinya dipamerkan. Tak ketinggalan, seminar juga digelar dengan menghadirkan ahli-waris dari keluarga sang qari dan ulama sebagai bintang-tamu.
Pada malam itu, hadirin disambut oleh pengamanan yang terbilang ekstra. Seorang laki-laki berpakaian rapi dengan jas, celana, dan sepatu yang senada tampak berdiri di dekat pintu gerbang. Di akhir, ternyata barulah diketahui ia berdiri di sana sebab sedang menunggu tamu-undangan, baik ahli-waris qari maupun ulama yang sedianya akan ikut menjadi pembicara dalam seminar. Lelaki itu ialah Dr. Khalid ‘Azb, penulis buku ini.
Rumah budaya Bayt al-Sinnari yang secara administratif ada di bawah naungan perpustakaan kenamaan Biblioteca Alexandrina dikepalai oleh penulis buku ini, Dr. Khalid ‘Azb. Seorang arkeolog bidang keislaman lulusan Fakultas Arkeologi, Universitas Kairo. Dalam mukadimah, ia mengutarakan buku ini adalah proyek penelitiannya yang ia mulai sejak ia duduk di bangku kuliah pada 1984. Saat itu banyak dari kawannya yang berdebat mengenai apa hukum-fikih mempelajari ilmu arkeologi, apakah halal ataukah haram?
Polemik tersebut begitu kuat hingga satu persatu kawannya meninggalkan Fakultas Arkeologi— waktu itu. Sebagian meninggalkan kuliah dan beralih ke lain studi, sementara lainnya memilih menghindari mata-pelajaran arkeologi masa Firaun. Menurutnya, hal itu berujung pada tak ada satupun yang memilih untuk mempelajari arkeologi Islam.
Pada 2016, sosok qari yang diperingati adalah Syekh Muhammad Rif’at (1882-1950). Qari pertama yang suaranya tersiar sejak Radio al-Quran Kairo pertama berdiri pada 1934 M. Qari kenamaan yang berjuluk Dawai Langit (Qitsarat al-Sama’). Qari yang oleh dai masyhur Syekh al-Sya’rawi dipuji dalam ungkapannya, “Jika kita ingin memetik banyak hikmah saat mendengarkan lantunan Alquran, dengarkan al-Hushary. Jika ingin mengecap manisnya suara, dengarkan Abdul Basit Abdussamad. Jika ingin suara panjang tapi jernih, Mustafa Ismail. Jika ingin semua itu dalam satu orang, dengarkanlah Muhammad Rif’at.”
Dalam seminar itu, ulama yang datang sebagai salah satu pembicara adalah Eks Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah. Begitu tahu kedatangan mufti, maka tak heran rumah-budaya yang di hari-hari biasanya tak menghidupkan alat pemindai logam, malam itu pun semua tim pengamanan aktif lalu-lalang. Termasuk di dalam kerumunan orang di gerbang adalah Dr. Khalid ‘Azb yang kemudian mengantarkan Syekh Ali Jumah serta ahli-waris qari, seorang perempuan paruh-baya, salah satu cucunya.
Syekh Ali Jumah bercerita tentang penyaksian beberapa gurunya tentang profil sang qari. “Salah satu guru saya dulu bercerita, Syekh Muhammad Rif’at adalah qari yang suaranya mampu mengekspresikan tafsiran hingga hikmah pada ayat suci yang dibawakan. Dulu, kata guru saya, ketika syekh qari ini sedang melantunkan al-Quran, semua diam. Jalanan Kairo belum sesesak sekarang, penuh bising kendaraan bermesin yang lalu-lalang. Sesuai yang ditunjukkan guru saya, kira-kira jika Syekh Muhammad Rif’at membawakan qiraah di Bayt al-Sinnari, maka hadirin yang saat itu ada di tempat sejauh Masjid Sayidah Zainab, dari sini ke sana itu (kurang lebih 250 meter) masih bisa mendengar dengan jelas tanpa perlu bantuan mikrofon seperti sekarang.”
Acara ini dibawakan langsung oleh Dr. Khalid ‘Azb, Direktur Bayt al-Sinnari. Seorang pakar arkeologi Islam, penulis buku ini yang dalam mukadimahnya menuliskan ucapan terima kasih kepada Syekh Ali Jumah yang telah mengajarinya mengenal dan belajar kaidah usul fikih.
Lantunan ayat-suci dari Dawai Langit masih diperdengarkan saat itu. Tak selang lama setelah beranjak dari Bayt al-Sinnari, lantunan itu merayap keluar dari Jalan Mong menuju jalan raya Port Said. Lamat-lamat ia harus berbagi tempat dengan suara-suara lain. Bisingnya jalanan kota Kairo ini ialah salah satunya.[]