Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa perdebatan teologis dalam Islam justru lebih sengit dibandingkan perdebatan hukum fikih? Fenomena ini membuka refleksi mendalam tentang esensi ijtihad dalam ranah akidah. Berdasarkan analisis mendalam terhadap karya Yasin as-Salimi, at-Taqlîd wa al-Ijtihâd fî Ushûl ad-Dîn, esai ini bertujuan mengeksplorasi dinamika epistemologis yang membentuk wacana teologis Islam. Menariknya, terdapat paradoks berikut: Jika akidah benar-benar bersifat qath’iy—keyakinan definitif tanpa celah keraguan, mengapa perselisihan dalam akidah sama luasnya dengan perselisihan dalam fikih yang dianggap zhanniy—keyakinan probabilistik tertinggi? Bagaimana paradoks ini memengaruhi praktik ijtihad akidah? Dengan memahami konteks qath’iyyât dan zhanniyyât, kita dapat menyelami lapisan berpikir yang membedakan akidah dengan fikih.
Para ulama usul fikih dan para mutakalim sejak awal telah sepakat pada satu prinsip fundamental yang tampak sederhana namun penuh komplikasi. Mereka menetapkan bahwa furuk agama (cabang- cabang agama) termasuk dalam kategori zhanniyyât—wilayah yang membolehkan perbedaan pendapat karena menyangkut praktik, bukan keyakinan fundamental. Sementara itu, usuludin ditempatkan dalam kategori qath’iyyât—bidang yang seharusnya tidak ada perdebatan karena menyangkut keyakinan fundamental. Ironisnya, realitas menunjukkan hal yang sebaliknya. Pluralisme hukum dan keragaman pendapat dalam persoalan akidah menjadi fenomena yang sangat jamak dan cenderung normatif, bahkan lebih variatif dibandingkan dengan fikih. Kejanggalan ini menuntun kita pada pertanyaan: apakah definisi dan batasan qath’iyyât dan zhanniyyât selama ini keliru?
Konsep usuludin ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Setiap mazhab teologi memiliki definisi tersendiri yang—jika dicermati—memperlihatkan kecenderungan subjektif.
Sayangnya, cakupan kedua definisi ini sangat luas. Cakupan tersebut meliputi baik persoalan yang disepakati antar golongan Islam (seperti kenabian dan keesaan Allah) dan yang masih diperdebatkan (seperti sifat-sifat Allah). Meskipun kedua pendekatan ini mengukuhkan kerangka qath‘iyyât, namun kompleksitas realitas memerlukan perincian lebih lanjut.
Al-Ghazali—dalam kerangka teologisnya—mempersempit persoalan akidah yang masuk kategori al-ushûl hanya pada tiga hal fundamental: (1) iman kepada Allah, (2) kepada rasul-Nya, dan (3) kepada hari kiamat. Ia menambahkan kriteria lain yang harus dipenuhi secara kumulatif: (1) diriwayatkan secara mutawatir, (2) tidak ada potensi takwil (interpretasi alternatif), dan (3) tidak terdapat dalil yang membatalkan. Contoh konkret yang memenuhi ketiga syarat ini adalah keberadaan surga dan neraka. Kategori al-furû’ mencakup semua persoalan akidah yang tidak memenuhi kriteria al-ushûl, termasuk di dalamnya persoalan seputar ru’yah, sifat-sifat Allah, dan af’âl al-‘ibâd. Kerangka metodologis ini lebih prosedural dan objektif dibanding definisi-definisi sebelumnya yang cenderung terlalu luas dan kabur.
Meskipun al-Ghazali—dan mayoritas ulama kalam—mengakui adanya pembagian hierarkis ini, mereka tetap konsisten bahwa semua persoalan ilmu kalam, baik al-ushûl maupun al-furû’, tidak memiliki pintu ijtihad karena semuanya termasuk dalam kategori qath’iyyât. Menurut al-Ghazali, pembagian ini berdampak pada status hukum bagi yang berseberangan: pengingkaran terhadap al-ushûl berakibat takfîr, sedangkan pengingkaran terhadap al-furû’ hanya berakibat dosa. Meski ketat, pembagian ini memancing kritik epistemologis lanjutan. Misalnya mengingkari peperangan Nabi SAW yang mutawatir atau pernikahan Hafsah tidak berakibat takfîr karena termasuk persoalan al-furû’.
Selanjutnya, jauh sebelum nama-nama besar seperti Ibn Taimiyyah dan Dawud azh-Zhahiri mencuat dalam diskusi pembaharuan teologi, terdapat sosok al-Anbari (168 H) yang layak disebut sebagai perintis legalitas ijtihad dalam akidah. Ia melancarkan kritik epistemologi terhadap status qath’iyyât dalil tekstual yang dipegang oleh mayoritas ulama akidah. Menurutnya, banyak dalil tekstual yang diklaim definitif ternyata memiliki derajat probabilistik—sehingga tidak terdapat kebenaran tunggal yang mutlak dalam persoalan-persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa klaim objektivitas absolut dalam interpretasi teks keagamaan kerap menutupi dimensi subjektif yang tak terhindarkan. Dengan kata lain, apa yang disebut “pasti” sering kali merupakan hasil konstruksi interpretatif yang bisa diperdebatkan. Dari sinilah ia membuka pintu legalitas ijtihad dalam ranah akidah. Dengan demikian, ijtihad akidah bukan sekadar wacana filosofis belaka, melainkan kebutuhan epistemologis untuk mengakui subjektivitas interpretasi.
Di sisi lain, Ibn Taimiyyah menilai para ulama kalam terlalu berlebihan dalam memberikan status qath’iy pada semua cabang ilmu kalam dan status zhanniy pada persoalan fikih. Padahal realitas menunjukkan bahwa perselisihan pendapat dalam ilmu kalam justru lebih luas dibanding dalam ilmu fikih. Kritik ini mengungkap paradoks epistemologis antara subjektivitas dan objektivitas. Jika persoalan kalam benar-benar qath’iy, mengapa perselisihan di dalamnya begitu ekstensif? Sebaliknya, jika persoalan fikih benar-benar zhanniy, mengapa tingkat konsensus dalam banyak masalah fikih justru lebih tinggi? Dari titik ini, ia sejalan dengan klasifikasial-ushul dan al-furû’ yang dijelaskan al-Ghazali. Oleh sebab itu, kemudian ia menganggap persoalan akidah yang masih diperdebatkan antarulama adalah zhanniyyah ijtihâdiyyah—masalahyang dapat dijadikan objek ijtihad. Di titik inilah poin perbedaan al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah. Ia melihat realitas perselisihan sebagai indikator praktis adanya dimensi zhanni yang masih membuka pintu ijtihad. Pendekatan pragmatis ini menyeimbangkan antara komitmen pada kepastian dengan pengakuan atas kompleksitas realitas intelektual.
Esai ini setidaknya merangkum tiga argumen sentral: (1) paradoks antara status qath‘iyyât akidah dan pluralisme pendapat menuntut penyempitan kategori keyakinan, (2) sistematisasi al-Ghazali menawarkan kerangka metodologis yang objektif, dan (3) kritik al-Anbari dan solusi pragmatis Ibn Taimiyyah membuka legitimasi ijtihad akidah. Eksplorasi tentang evolusi ijtihad dalam ranah akidah dan ilmu kalam menyingkap narasi yang jauh lebih kaya dari pada yang sering digambarkan. Ini bukan sekadar kisah perubahan metodologi, melainkan pergulatan mendalam untuk mencapai keseimbangan antara komitmen pada kebenaran dan keterbukaan terhadap kompleksitas. Dengan irama paralelisme—kepastian yang lentur, keragaman yang bermakna—kita menyadari bahwa agama bukan monolog dogmatis, melainkan dialog hidup yang terus berkembang. Menyelami akar epistemologis akidah mendorong kita melebur komitmen pada kebenaran dengan keterbukaan pada kompleksitas nyata. Pada akhirnya, pembaca dipanggil untuk menelusuri ulang wacana teologis kontemporer dengan mata kritis dan semangat pembaruan.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, A. H. M. ibn M. Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushûl.(n.d.). Retrieved August 3, 2025, from https://shamela.ws/book/9926.
Al-Kaludhani, A. al-K. A. ibn al-H. At-Tamhîd fî Ushûl al-Fiqh.(n.d.). Retrieved August 5, 2025, from https://shamela.ws/book/14103.
As-Salimi, Y. At-Taqlîd wa al-Ijtihâd fî Ushûl ad-Dîn. (Kairo:Namaa for Research and Studies, 2022).