Praktik tabaruk (mencari atau mengambil keberkahan) merupakan tindakan yang pada titik tertentu seolah mengindikasikan kelemahan dan kegagalan seseorang dalam menangani realitas. Praktik ini sepintas mirip dengan ragam laku ritual yang didasarkan atas kepercayaan terhadap daya kekuatan tertentu yang ada dalam benda, makhluk, ruang dan waktu tertentu, atau yang biasa disebut dengan ajaran animisme-dinamisme. Kedua praktik tersebut sama-sama berangkat dari titik tolak yang berseberangan dengan realitas. Praktik ini tentu saja berlawanan dengan semangat awal kedatangan Islam di Jazirah Arab berupa seruan untuk menggunakan akal secara maksimal sebagai jangkar kemajuan peradaban. Oleh karenanya, tak mengherankan jika terkadang praktik tabaruk dengan segala medium pemerolehannya hanya dianggap sebagai konsep angan-angan irasional dalam mencapai kesempurnaan hidup.
Kata berkah memiliki banyak arti yang berkisar pada sebuah pemahaman tentang kekuatan bawaan. Kekuatan ini kadang kala dipahami sebagai suatu “anugerah ilahi” yang melekat pada sosok yang kudus (Meri, 1999). Praktik mencari dan mengambil “berkah” dapat kita jumpai sejak masa-masa Jahiliah Arab pra-Islam melalui dua instrumen penting, yaitu sejarah dan sastra. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islām menuliskan bahwa di antara kepercayaan yang mendasari berbagai perilaku orang Arab Jahiliah yaitu mempercayai darah pemimpin kabilah sebagai obat penyakit rabies, penggantungan tulang manusia yang telah meninggal di tubuh orang gila sebagai upaya penyembuhan, dan kepercayaan terhadap perkataan serta perbuatan para pendeta (representasi Ilahi) sebagai tata aturan yang disepakati oleh kabilah masing-masing. Berbagai perilaku tersebut mengindikasikan adanya kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan ilahiah pada suatu benda maupun sosok “pilihan” tertentu, semisal pemimpin kabilah dan pendeta.
Berbagai perilaku di atas, pada mulanya merupakan pandangan subjektif individu terhadap sebuah nilai-nilai ketundukan kepada “yang Maha”. Tersebab, kekuatan ilahi pada suatu hal yang dicari dan dirasakan oleh individu merupakan sebuah pengalaman pribadi yang sangat personal. Meskipun demikian, kesamaan watak dan alam yang melingkupi masyarakat Arab Jahiliah waktu itu turut menciptakan kesamaan cara pandang atas kehidupan. Pada gilirannya, kesamaan cara pandang ini menghasilkan berbagai praktik dan tindakan kolektif, beralih menjadi suatu pengalaman komunal yang berpotensi untuk terus menerus diwariskan.
Pewarisan pengalaman ini juga menemukan jalannya melalui sastra[1]. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam salah satu genre sastra Arab matsal (peribahasa atau pepatah). Terdapat sebuah peribahasa dalam masyarakat Arab yang berbunyi : “Jazāni jazāhu Allāh syarra jaza’ihi – Jazā’a Sinimmar wa ma kāna dzā dzanb”, yang dimaksudkan sebagai ungkapan untuk sebuah kebaikan yang dibalas dengan kejahatan. Latar belakang munculnya matsal ini yaitu an-Nukman, sosok raja kawasan Hirah di Irak, yang membunuh Sinimmar karena panik dengan pernyataannya. Sinimmar sebagai pemimpin proyek pembangunan istana terbesar raja mengungkapkan, bahwa terdapat satu batu bata dalam konstruksi istananya yang menjadi penyangga seluruh sisi istana. Jika bata tersebut terambil, maka seluruh istana akan hancur. Oleh karena keyakinan an-Nukman terhadap daya kekuatan adikodrati batu bata dan kegagalannya dalam memahami realitas, akhirnya dia secara tidak langsung telah membunuh pekerjanya sendiri (Amin, 2019).
Pewarisan konsep “berkah” ini semakin masif turun-temurun dengan adanya berbagai mitos (khurāfāt) yang hidup di tengah-tengah masyarakat waktu itu. Keberadaan mitos memiliki andil dalam pelestarian praktik “tabaruk” zaman Jahiliah pra-Islam dengan pola-pola yang hampir serupa. Di antara mitos yang dimaksud adalah kisah tentang kesaktian salah seorang sisa pengikut Nabi Isa bernama Faymiyun (Hisyam, 1955). Pada suatu waktu, saat dia sedang khusyuk beribadah di padang sahara daerah Syam, seekor ular berkepala tujuh datang mendekat bersiap untuk menggigitnya. Namun, ular tersebut gagal mendekat dan akhirnya mati hanya dengan rangkaian doa yang diucapkan Faymiyun dalam hati. Kemasyhuran kesaktiannya ini akhirnya mendorong masyarakat Najran di perbatasan Yaman untuk berbondong-bondong meminta doa kesembuhan darinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Wahab ibn Munabbih, seorang Yahudi yang kelak masuk Islam dan memiliki andil besar dalam penyebaran kisah-kisah israiliyyat.
Berbagai praktik mencari “berkah” dengan segala cara pemerolehannya memiliki ciri yang sama, yaitu pemakaian simbol dan pengelakan terhadap realitas.[2] Pertama, pemakaian simbol sebagai alat penolakan terhadap realitas. Contoh dari pemakaian simbol dalam mekanisme pemerolehan “berkah” masa Jahiliah adalah penggantungan tulang manusia di tubuh orang gila sebagai upaya penyembuhan. Simbolisasi tulang manusia dan penggantungan yang diyakini memiliki daya penyembuhan, merupakan ciri dari kegagalan pelaku dalam menangani realitas yang melingkupinya. Penyakit yang seharusnya dapat ditangani dengan berbagai obat yang sesuai akhirnya tak teratasi dengan tepat. Kemunculan simbolisasi di atas merupakan pantulan dari nilai ketundukan masyarakat terhadap sesuatu “yang luar biasa” yang diyakini bisa menyembuhkan melalui praktik tersebut.
Kedua, pengelakan terhadap realitas konkret beralih kepada yang abstrak. Contoh praktik pergeseran tersebut yaitu penetapan tata aturan kabilah berdasarkan perkataan dan perbuatan pendeta mereka seperti yang telah disebutkan di awal. Hukum sebagai suatu tata aturan konkret yang berada di atas masyarakat dan penentu gameplay kabilah, haruslah berdasarkan pertimbangan mufakat dengan melihat berbagai variabel sosial yang ada. Tata aturan tersebut tidak akan menemukan bentuk sempurnanya jika hanya didasarkan atas keputusan satu individu saja. Hukum yang seharusnya bersifat konkret dan objektif bergeser menjadi sesuatu yang abstrak, subjektif, rentan namun mengikat.
Konsepsi tentang berkah menunjukkan adanya kekuatan ilahi yang menetap pada sesuatu seperti diri manusia, benda, ruang maupun waktu. Oleh karenanya, para tokoh agama tak luput dari anggapan sebagai sosok yang terlimpahi berkah karena laku hidup mereka tampak dekat dengan Tuhan. Sakralitas tokoh seperti inilah yang mampu menjadi kekuatan dalam memimpin masyarakat Arab Jahiliah (Khaldun, 2014). Dengan daya tersebut, ia mampu melunakkan watak brutal masyarakat Arab dan tribalisme yang menjadi faktor utama sulitnya sentralisasi kepemerintahan mereka.
Praktik Tabaruk Era Awal Islam
Islam datang ke jazirah Arab membawa seperangkat ajaran dan nilai. Agama ini mencakup dua sisi kehidupan manusia yang sering kali dikotomis; dunia-akhirat, material-imaterial, akal-spiritual. Di satu sisi, Islam datang dengan mendasarkan ajarannya pada kemampuan daya akal manusia, sehingga kemunculannya memiliki daya dorong bagi penggunaan akal masyarakat secara maksimal demi mobilisasi sosial. Di sisi lain, Islam merupakan agama yang basis utamanya adalah kepercayaan terhadap transendensi ilahi. Termasuk di antaranya adalah konsepsi tentang berkah dengan segala medium pemerolehannya yang didasarkan atas keimanan. Ajaran dan nilai tersebut berasal dari dua sumber utama Islam yaitu Al-Quran dan hadis.
Dalam Al-Quran terdapat beberapa kata yang berkelindan dengan akar kata baraka.[3] Seperti kata barakāt (plural) yang terdapat dalam surat Al-A’raf ayat 96, Hud ayat 48 dan 73. Kata tersebut bermakna “kebaikan ilahi yang menetap pada suatu hal”. Selain barakāt (plural), dalam Al-Quran juga terdapat kata tabāraka (kata kerja) yang penggunaannya dimaksudkan sebagai pengingat, bahwa sesuatu yang diiringi oleh kata tersebut memiliki kebaikan dan keutamaan yang hanya dikhususkan untuk Tuhan. Kata tersebut terdapat dalam surat Al-A’raf ayat 54, Al-Mukminun ayat 14, Al-Furqan ayat 1, 10 dan 61, Ghafir ayat 64, Az-Zukhruf ayat 85, Ar-Rahman ayat 78 dan surat Al-Mulk ayat 1. Dua kata ini-barakāt (plural) dan tabāraka (kata kerja)-ditinjau dari segi esensi berkah memiliki arti kebaikan ilahi yang menetap pada suatu hal.
Al-Quran juga mencatatkan kata berkah yang ditinjau dari sisi penerima berkah, baik itu benda, manusia, ruang maupun waktu, yang dibahasakan dengan mubārak (objek penerima berkah). Kata ini di antaranya digunakan untuk menunjukkan keberkahan pada suatu perkataan seperti yang terdapat dalam surat Al-An’am ayat 92 dan 155, Al-Anbiya ayat 50, An-Nur ayat 61 dan Shad ayat 29. Kata mubārak juga digunakan untuk menunjukkan benda, tempat dan waktu yang terberkahi seperti dalam surat Ali Imran ayat 96, Al-Mukminun ayat 29, An-Nur ayat 35, Al-Qashash ayat 30, Qaf ayat 9 dan Ad-Dukhan ayat 3. Kesakralan makna berkah juga terdapat pada individu-individu manusia berdasarkan nas yang telah ditetapkan dalam Al-Quran. Kitab suci ini menetapkan bahwa kebaikan-kebaikan Tuhan terdapat pada diri Nabi dan keluarganya (Hud:73), para pengikut mereka (Hud:48) dan tempat-tempat yang disinggahi oleh mereka (Maryam:31).
Lebih lanjut, hadis sebagai sumber kedua ajaran dan nilai dalam Islam merupakan cermin interaksi Nabi dengan para pengikutnya. Konsepsi berkah sebagai suatu nilai menemukan bentuk “konkretnya” dalam interaksi tersebut melalui praktik tabaruk. Nabi selaku pemimpin umat yang terberkahi tercatat pernah melakukan praktik tabaruk dengan meminum bekas wudu orang mukmin. Begitu juga para pengikutnya, para Sahabat sering mencari dan mengambil keberkahan Nabi melalui berbagai cara, seperti berebut air bekas wudu Nabi, mewadahi dahak Nabi lalu mengoleskannya ke sekujur tubuh dan lain sebagainya (HR. Hakim).
Di antara banyak riwayat tentang tabaruk Sahabat, terdapat dua hal yang sangat menarik perhatian penulis. Pertama, praktik tabaruk sahabat Ibn Zubair dengan meminum darah bekam Nabi. Kedua, interaksi Sahabat Umar bin Khattab dengan hajar aswad dengan mengatakan, “Engkau hanyalah batu, tidak dapat membahayakan dan memberi manfaat” (HR. Bukhori).
Selain Ibnu Zubair, banyak tokoh lain yang juga diriwayatkan pernah meminum darah bekam Nabi. Berbagai riwayat itu bertebaran dalam buku-buku karangan ulama klasik. Praktik tabaruk tersebut memiliki sisi kesamaan dengan praktik “tabaruk” pra-Islam karena sama-sama berangkat dari ruang simbolisasi. Riwayat mengenai hal tersebut mengindikasikan adanya simbolisasi darah dan aktivitas meminumnya sebagai jalan menuju kehidupan ideal baik di dunia maupun akhirat. Meskipun demikian, harus disadari pula bahwa berbagai praktik tabaruk dari para sahabat didorong dan didasari oleh keimanan dan kecintaan mereka terhadap Allah dan utusan-Nya. Konsep keimanan Islam ini tentu saja berbeda dengan praktik-praktik pra-Islam. Dalam dunia Islam, terdapat konsensus bahwa Nabi dengan segala keistimewaannya berbeda dengan manusia pada umumnya. Sehingga, apa yang terdapat pada diri Nabi dan apa pun yang bersumber dari dirinya tidak bisa disamakan dengan selainnya. Konsepsi tentang berkah dan semangat sahabat dalam bertabaruk juga menjadi semacam mesin organik yang efektif dalam usaha mengabadikan sunah Muhammad.
Disisi lain, apa yang dilakukan oleh Sahabat Umar dalam berinteraksi dengan hajar aswad tidak serta-merta dapat diartikan sebagai pengingkaran beliau terhadap berkah. Kalimat tersebut bisa dipahami sebagai puncak dari permenungannya terkait perintah mencium hajar aswad. Munculnya pernyataan Umar sebelum beliau mencium hajar aswad merupakan penanda kesucian akidah Islam dan ketundukan mutlak muslim sejati dalam menaati perintah Tuhannya. Sikap Umar tersebut juga merupakan suatu langkah politis strategis sebagai upaya untuk menunjukkan kemandirian berfikir Islam yang membedakan Islam dengan ajaran lain (red: penyembah berhala).
Berkah sebagai sebuah konsepsi nilai ketundukan terhadap “yang ilahi” memiliki kekhasan dan posisinya tersendiri dalam perkembangan Islam era awal. Pemerolehannya melalui mekanisme tabaruk merupakan suatu bentuk ekspresi personal atas penghayatannya terhadap agama secara intim. Sehingga, tak mengherankan jika tabaruk sebagai sebuah laku kadang kala berfungsi selayaknya jalan alternatif individu dalam menghadapi realitas yang melingkupinya. Oleh karenanya, fenomena praktik tabaruk seolah memiliki lapis-lapis nalar dan maksud yang khas.
Muhammad Ainunnadlif
Mahasiswa tingkat III Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Referensi:
Amin, Ahmad. 2009. Fajr al-Islam (cet. 1). Kairo: Dar as-Shurūq
Kholdun, Ibnu. 2014. Muqoddimah Ibn Kholdun (cet. 7). Kairo: Dar Nahdetmisr
Kuntowijoyo. 2019. Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (cet. 1). Yogyakarta: IRCiSoD
Hisyam, Ibnu. 1955. As-Sirah an-Nabawiyyah (cet. 2). Kairo: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Musthofa al-Bāb al-Halabi.
Meri, J. W. 1999. Aspect of Baraka (Blessings) and Ritual Devotion Among Medieval Muslims and Jews, Medieval Encounters, 5 (1), 46-69, doi: https://doi.org/10.1163/157006799X00259
[1] Meskipun tertaut dengan pengalaman, menurut Kuntowijoyo sastra tidak selamanya setia terhadap realitas. Ia terkadang menginterpretasikan suatu peristiwa melebihi dari apa adanya. (Kuntowijoyo, 2019)
[2] Proses identifikasi ini meminjam pembacaan Kuntowijoyo atas mitos (Kuntowijoyo, 2019)
[3] Al-Asfihaniy, Mufrodāt, hal. 119