Kasus tewasnya George Floyd oleh seorang polisi di wilayah Minneapolis, Amerika Serikat telah memicu gelombang protes hingga di 75 kota di Amerika Serikat. Kasus ini menjadi puncak letupan dari api rasisme di negeri tersebut dalam waktu yang sangat lama. Diskriminasi dan kekerasan yang berdasarkan ras masih saja menjadi api dalam sekam yang tidak kunjung bisa diredakan di negeri adidaya tersebut.
Pejabat penegak hukum di seluruh AS memiliki sejarah membunuh orang kulit hitam sudah sejak lama. Jennifer Cobbina, seorang profesor peradilan pidana di Universitas Negeri Michigan mengatakan, “Terlalu sering orang melihat masalah kontemporer, masalah yang sedang terjadi saat ini, tetapi tidak memahami bahwa semua yang terjadi meresap dalam 400 tahun warisan ketidakadilan.” (USA Today, 7 Juni 2020)
Sedangkan menurut Lawrence R. Jacobs, pakar politik di Universitas Minessota, “Rasisme telah ada untuk waktu yang sangat lama.” Hal ini, menurutnya, terlihat jelas jika Anda melihatnya “… pada pembagian lingkungan (tempat tinggal), sistem pendidikan, sitem transportasi dan yang jelas, di kepolisian.”(Kompas, 2 Juni 2020)
Dua sumber di atas memberi gambaran dengan jelas kepada kita keadaan yang sesungguhnya di Amerika. Rasisme bukan saja problem negara, namun itu menjadi problem bagi kehidupan manusia secara umum.
Setelah menyimak sekelumit pemaparan mengenai kasus rasisme di Amerika, saya terpantik untuk mengulas, apakah rasisme di tubuh Islam juga ada, bahkan sejak zaman Nabi?
Rasisme dalam budaya masyarakat Arab
Suatu ketika Abu Dzar bertemu dengan Bilal. Abu Dzar merupakan bagian dari klan Ghifar, sebuah klan di antara beberapa kalan besar kala itu. Karenanya, dia disebut Abu Dzar al-Ghiffari. Entah masalah apa, lantas terjadi kemarahan dan perseteruan antara keduanya. Abu Dzar mengumpat Bilal dengan membawa-bawa ibunya. “Wahai anak wanita hitam!” serunya. Mendapati dirinya dihina begitu, Bilal kemudian mendatangi Rasulullah dan mengadukan ucapan Abu Dzar kepadanya.
Selang beberapa waktu Abu Dzar bertemu dengan Rasulullah, setelah beliau menanyai benarkah dia mengatakan hal itu kepada Bilal? Abu Dzar mengakuinya dan mengemukakan alasannya. Jika seseorang mengumpat orang lain, dia biasa mengumpat bapak ibunya. Larangan melakukan umapatan masih belum diketahui oleh Abu Dzar. Lantas Rasulullah menegurnya dan menganggap hal ini telah keluar dari adab. Beliau menganggap ini musibah besar hingga berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seseorang yang terdapat moral jahiliyah dalam dirimu.”
Luluh lantak hati Abu Dzar. Ia lantas menghampiri Bilal dan meminta maaf. Ia meletakkan pipinya di atas tanah dan mengatakan, “Injak muka anak perempuan putih ini,” sebagai penyesalan atas perbuatannya. Namun, Bilal tidak melakukan itu. Ia memaafkan dan keduanya berangkulan.
Pada kesempatan lain, Rasulullah bersabda perihal menaati pemimpin “… meskipun hamba Habasyi yang kepalanya seperti anggur memerintah kalian.” Artinya, tidak ada urusannya dengan warna kulit maupun identitas lain di mana ia diciptakan demikian. Siapapun pemimpinnya, ia harus ditaati.
Ketika Rasulullah berada di Mina, di tengah hari Tasyriq dalam rangkaian Haji Wada beliau memberi pesan saat menunggang di atas unta. “Wahai manusia! Ingatlah bahwa Tuhan kalian adalah satu. Ingatlah bahwa bapak kalian adalah satu. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang hitam atas orang merah kecuali dengan takwa. Ingatlah, sudahkah aku menyampaikan?”
Masyarakat Arab pra-Islam dikenal dengan kelas kasta sosial. Seseorang acapkali berbangga dengan klan dan leluhurnya. Tradisi seperti ini sudah mengakar sangat kuat, mengingat salah satu kelebihan bangsa Arab adalah keunggulan nasab. Silsilah keturunan sering digunakan media bersaing satu dengan yang lain dalam membanggakan leluhurnya. Hal ini yang selanjutnya menjadi salah satu konsentrasi perbaikan oleh Islam melalui ajaran kesetaraannya.
Telaah ulang fenomena rasisme di masa Nabi
Ibn Khaldun mengatakan, “Suatu budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat atau individu akan melahirkan jenis manusia dengan karakter sesuai dengan budaya tersebut. Seolah manusia lahir berdasarkan budaya yang ada dan itu menjadi watak dalam dirinya.”
Kita tinjau ulang Hadits Rasulullah yang sudah saya sebutkan di atas perihal persamaan orang hitam dan orang putih. Rasul dengan tegas mengajak kita menghormati orang berkulit hitam jika ia menjadi pemimpin kita. Dari sini, bisa kita lihat bahwa Rasul bermaksud untuk mengangkat martabat golongan yang tersisihkan dalam konteks saat itu.
Di lain kejadian, Rasulullah memerintahkan Bilal, seorang mantan budak berkulit hitam, untuk mengumandangkan azan dari atas Kakbah. Ketika mendengar adzan dari seorang Bilal, seorang pemuka Quraisy mencela, “Tidakkah Muhammad menemukan muazin selain gagak hitam ini?”
Melihat fenomena budaya Arab di atas, bagaimana Rasulullah mengikis rasisme yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat Arab itu? Bagaimana seorang dari klan besar, Abu Dzar, mampu menundukkan egonya dan memepersilakan mantan budak hitam menginjak pipinya? Sebagai analisis dari saya, Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari telah menekankan nilai-nilai ajaran kemanusiaan dan teladan. Sebab, suatu pengetahuan saja tidak akan mengubah karakter dan budaya karena budaya hanya akan berubah dengan pengetahuan, perilaku dan teladan.
Diskrimanasi dan rasisme memang tidak hilang selama masih ada perbedaan. Padahal, perbedaan adalah keniscayaan hidup. Diskriminasi dan rasisme akan hilang jika ada sikap egaliter dan saling menghargai sesama mengakar kuat dalam diri manusia. Sebagaimana sabda Nabi di atas, sesungguhnya yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.