Masyarakat muslim di Indonesia, khususnya kalangan Nahdliyin, sangat kental dengan tradisi maulidan. Maulidan adalah acara perayaan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Maulidan ini dilakukan setiap tahun. Bahkan tidak hanya satu tahun sekali, kaum pesantren atau warga Nahdliyin pada umumnya juga biasa membaca selawat dan biografi-biografi keluhuran Nabi Muhammad SAW pada setiap malam Jumat atau hampir di setiap acara riungan. Baik itu selawat-selawat pendek maupun biografi panjang seperti Barzanji, Diba’, Simthuddurar, dan lain sebagainya.
Kegemaran kaum muslimin dalam membaca selawat ini merupakan tanda kecintaan dan kerinduan mereka yang luar biasa pada Sang Nabi. Selain karena alasan tersebut, membaca selawat memang merupakan perintah dari Allah SWT dan anjuran dari Nabi Muhammad SAW.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu sekalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan untuknya.” (QS al-Ahzab: 56)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم , قَالَ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barang siapa yang membaca satu selawat kepadaku, maka Allah menurunkan sepuluh rahmat kepadanya.” (Sahih Muslim, Maknaz: 939, Sunan al-Nasai, Maknaz: 1304)
Biasanya, selawat dan maulid ini dibaca dengan menggunakan nada atau irama tertentu. Seperti misalnya ketika teks selawat tersebut mengandung hal yang melahirkan harapan dan semangat, nada dan irama pembacaannya dilakukan dengan lebih lantang dan meninggi. Begitu juga sebaliknya, apabila selawat yang dibaca itu menunjukkan rasa cinta dan kerinduan yang penuh sendu, iramanya pun akan berubah menjadi lebih landai dan mendayu. Hal ini dilakukan agar para hadirin dapat merasakan penghayatan yang lebih dalam, sesuai dengan kandungan pesan selawat yang saat itu sedang dibaca.
Selain itu, agar acara riungan menjadi lebih hidup dan semarak, pembacaan selawat atau maulid ini kerap diiringi dengan unsur musik seperti tabuhan rebana (biasa disebut hadrah atau marawis). Irama musik dari rebana disesuaikan dengan irama pembacaan selawat tadi. Rebana dan alat musik lainnya ditabuh dengan keras dan lantang, ketika suasana pembacaan selawat mengharuskannya begitu. Pada beberapa bagian lain, tempo dan iramanya pun dapat berubah menjadi turun, tatkala selawat yang dibaca lebih membutuhkan penghayatan yang syahdu.
Tradisi seperti ini sebenarnya sudah sangat lumrah dan populer di Indonesia. Bahkan, akan terlihat sedikit kaku jika ada pembacaan selawatan yang tidak diiringi dengan irama dan rebana. Para kiai di Indonesia tidak mempermasalahkan tradisi ini, bahkan beliau-beliau mendukung dan memfasilitasi tradisi pembacaan selawat seperti ini dengan menyediakan alat rebana bagi para santrinya di pesantren. Di sisi lain, para kiai mempertimbangkan tradisi ini bernilai positif supaya umat muslim pada umumnya menjadi lebih semangat dan gemar membaca selawat.
Namun demikian, ternyata masih saja ada sebagian saudara muslim kita yang malah menganggap dan menuding tradisi ini bernilai negatif. Mereka menganggap tradisi selawat ini sebagai bidah atau penyimpangan dalam ajaran Islam. Tuduhan yang tergesa-gesa ini sejatinya kurang elok. Hal tersebut bisa dilihat dengan landasan beberapa dalil berikut ini.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau orang pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS al-A’raf: 199)
فعن بُرَيدة الأسلمي رضي الله عنه قال: خرج رسول اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم في بعض مغازيه، فلمَّا انصرف جاءت جاريةٌ سوداء فقالت: يا رسول الله، إنِّي كنت نذَرتُ إن رَدَّكَ اللهُ سَالِمًا أَن أَضرِبَ بينَ يَدَيكَ بالدُّفِّ وأَتَغَنَّى، فقالَ لها رسولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم: «إن كُنتِ نَذَرتِ فاضرِبِي، وإلَّا فلا» رواه الإمام أحمد والترمذي وقال: هذا حديث حسن صحيح غريب.
Dari Buraidah al-Aslami RA berkata: Rasulullah SAW keluar di sebuah peperangan, ketika kembali dari peperangan tersebut, seorang Jariyah berkulit hitam datang menghampiri Rasulullah SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah SAW! Sesungguhnya aku telah bernazar apabila engkau kembali dengan selamat, aku akan menabuh duff (rebana) dan bernyanyi di hadapanmu.” Rasulullah SAW pun bersabda: “Apabila kau telah bernazar, maka tabuhlah. Apabila kau tidak bernazar, maka tak usah.” (Sunan al-Tirmidzi, Maknaz: 4054)
عن عائشة رضي الله عنها أنها زفّت امرأة إلى رجل من الأنصار فقال نبي الله— صلى الله عليه وسلم—: يا عائشة أما كان معكم لهو؟ فإن الأنصار يعجبهم اللهو
Dari Aisyah RA, bahwasanya ia pernah menikahkan seorang wanita kepada seorang pemuda Anshar. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Aisyah! Apa kalian tidak memiliki musik-musik (lahw)? Sesungguhnya orang Anshar itu suka pada tabuhan musik-musik.” (Sahih al-Bukhari, Maknaz: 5217)
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembacaan Maulid Nabi atau selawatan yang diiringi dengan tabuhan rebana bukanlah sesuatu yang salah dilihat dari sudut pandang agama. Bahkan, ia bernilai positif tatkala penggunaannya dapat mengundang banyak kebaikan. Wallâhu a’lam.
Ahmad Hilmi Zidan (divisi keilmuan dan ideologi PC GP Ansor Mesir)