Filsafat Islam sedikit banyak disangsikan keberadaannya oleh para orientalis. Para filsuf muslim dianggap tidak mempunyai bangunan filsafatnya sendiri. Adapun pertumbuhan dan perkembangan filsafat di dunia Islam diklaim sebagai lanjutan dari filsafat Yunani. Banyak peneliti barat (baca: orientalis) yang membangun framing-framing buruk terhadap filsafat Islam. Namun, tulisan ini akan difokuskan kepada Ernest Renan. Sebab dapat dikatakan, Ernest Renan menjadi orang yang pertama kali mempopulerkan framing inotentisitas filsafat Islam di dunia Barat pada pertengahan abad 19 M. Kemudian setelah itu, muncul tuduhan-tuduhan dari orientalis lain seperti T.J. De Boer, Duhem, dan kawan-kawannya.
Lantas, bagaimana para pemikir muslim kontemporer merespons pandangan orientalis tersebut? Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara komparatif pendapat beberapa pemikir muslim kontemporer terhadap tuduhan-tuduhan Ernest Renan.
Pandangan Ernest Renan
Ernest Renan adalah orientalis berkebangsaan Prancis lahir pada tanggal 28 Februari 1823 dan meninggal pada tanggal 2 Oktober 1892. Pandangan-pandangannya cukup populer di dunia Barat dan berhasil mempengaruhi generasi orientalis sesudahnya. Ia memetakan bangsa Arab ke dalam dua kategori, yaitu Bangsa Semit dan Bangsa Aria. Menurutnya, Bangsa Semit memiliki cara berfikir yang secara prinsipil sangat berbeda dengan Bangsa Aria. Bangsa Semit dinilai tidak mampu berfikir sistematis dan filosofis serta cenderung berfikir terhadap hal-hal yang bersifat parsial. Sebaliknya, Bangsa Aria dinilai mampu berfikir secara ilmiah dan memiliki cara berfikir yang filosofis.
Walaupun demikian, yang disebut sebagai filsafat yang dikembangkan Bangsa Semit, dalam pandangan Ernest Renan, tidak lain hanyalah sebatas menceritakan gagasan filsafat Aristoteles dan mengulang-ulang pemikiran filsuf Yunani yang ditulis dengan bahasa Arab. Atau dengan bahasa yang lain, gerakan filsafat yang digaungkan para filsuf muslim hanyalah meng-Arab-kan filsafat Yunani dan ‘menjiplak’ gagasan-gagasan filsafat Aristoteles. Pada hakikatnya gerakan filsafat yang berkembang di dunia Islam menurut Ernest Renan lebih pantas dikategorikan sebagai ilmu kalam (Madkur, 2019, hal. 16-18).
Jika disarikan, pandangan Ernest Renan terkait filsafat Islam mengarah kepada dua hal. Pertama pengakuannya terhadap keberadaan filsafat Arab yang kemudian ia sebut peng-Arab-an atau penjiplakan filsafat Yunani. Kedua, pengakuannya terhadap keberadaan filsafat Islam sebatas sebagai ilmu kalam. Pandangan ini pada hakikatnya memuat tuduhan akan ketidakotentikan atau inotentisitas filsafat Islam itu sendiri.
Respons Pemikir Muslim
Tidak bisa dimungkiri bahwa orientalis telah menyumbangkan banyak penelitian terhadap kajian-kajian Islam. Meskipun penelitian mereka sedikit banyak terkesan diskriminatif, akan tetapi setidaknya kita perlu menaruh apresiasi yang proporsional atas kontribusi mereka. Sebab, banyak penelitian yang mereka lakukan telah memicu pemikir muslim untuk menelaah lebih jauh tentang filsafat Islam dalam rangka membantah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis seperti Ernest Renan dan lain sebagainya.
Tokoh pemikir muslim seperti Musthafa Abdur Raziq, Ibrahim Madkur dan Ali Sami an-Nassyar yang memiliki konsentrasi di filsafat Islam nampaknya memiliki kesamaan dalam pendapatnya. Menurut mereka, pembahasan-pembahasan yang tertera dalam ilmu kalam, tasawuf, dan ushul fikih memuat beberapa mazhab dan teori-teori filsafat yang tak kurang mendalam dibanding pembahasan-pembahasan yang digagas oleh filsuf paripatetik. Semua pembahasan tersebut, dalam pandangan mereka, masuk dalam kategori pembahasan filsafat Islam.
Musthafa Abdur Raziq dalam hal ini berupaya memperluas cakupan filsafat Islam terhadap ushul fikih. Menurutnya, jika ilmu kalam dan ilmu tasawuf memiliki hubungan erat dengan filsafat Islam sehingga dimasukkan dalam kategori filsafat Islam, maka ilmu ushul fikih yang disebut sebagai ilmu ushul al-ahkam lebih layak dicakup dalam pembahasan filsafat Islam. Sebab, hampir seluruh pembahasan-pembahasan ilmu ushul fikih merupakan bagian dari pembahasan ilmu kalam (Raziq, 2011, hal. 42-43). Oleh karena itu, pantas kiranya Musthafa Abdur Raziq disebut sebagai orang yang pertama kali menjadikan ilmu ushul fikih sebagai bagian dari pembahasan filsafat Islam.
Menurut Thasyikubra Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh Musthafa Abdur Raziq, ilmu ushul fikih memuat empat cabang ilmu, yaitu ilmu rasional atau ilmu logika (’ilmu al-mantiq), ilmu tentang diskusi (’ilm al-munadharah), ilmu debat (’ilm al-jadal), dan ilmu perbedaan pendapat (’ilm al-khilaf). Empat ilmu ini menurut Musthafa Abdur Raziq masuk dalam kategori ilmu rasional-filosofis. Kategorisasi keempat ilmu tersebut menjadi bagian dari ilmu ushul fikih sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ilmu ushul fikih penuh dengan corak filsafat (Raziq, 2011, hal. 119). Maka tidak heran jika Ali Sami an-Nassyar, sebagaimana yang dikutip oleh Husain Muruwwa dalam bukunya, An-Naza’at al-Maddiyah fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Islamiyah, menyebut Imam asy-Syafi’i sebagai pentolan filsuf muslim di dalam ilmu ushul.
Sedangkan pembacaan Ibrahim Madkur terhadap Ernest Renan lebih ke arah metodologi historis. Ernest Renan telah dianggap zalim dalam pembacaannya terhadap filsafat Islam. Bahkan Ibrahim Madkur tidak segan mengatakan bahwa Ernest Renan terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan bahwa filsafat Islam hanyalah menceritakan filsafat Aristoteles. Oleh karena, naskah-naskah filsafat Islam yang berbahasa Arab tidak sebegitu mudahnya dipahami sesuai dengan yang sebenarnya. Adapun naskah-naskah filsafat Islam yang telah dialihbahasakan ke bahasa Latin dianggap tidak cukup oleh Ibrahim Madkur sebagai sumber otoritatif yang digunakan oleh Ernest Renan dalam melontarkan tuduhannya (Madkur, 2019, hal. 18).
Oleh sebab itu, kata Ibrahim Madkur, adalah sebuah kesalahan jika filsafat Islam dikatakan sebagai ‘jiplakan’ dari filsafat Yunani. Filsafat Islam lahir dari perpaduan berbagai budaya sehingga membentuk sebuah pemikiran baru dalam filsafat. Terjadinya perpaduan dan pertukaran budaya ini tidak meniscayakan bahwa hal tersebut adalah murni penjiplakan semata, akan tetapi di sana terjadi ragam proses yang membentuk sebuah corak baru yang disebut dengan filsafat Islam. Peradaban Islam telah membentuk sebuah corak filsafat baru yang menjadikannya distingtif dan unik, baik dari aspek objek kajian maupun pembahasannya.
Filsuf muslim seperti Ibnu Sina yang dianggap sebagai orang yang paling terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles memiliki gagasan filsafat yang berbeda dengan Aristoteles. Yaitu dalam masalah ilmu jiwa (’ilm an-nafs) yang dahulunya merupakan bagian dari filsafat. Ibnu Sina dalam konsepsinya tentang ilmu jiwa menurut pandangan Muhammad Usman Najati merujuk kepada sumber-sumber lain yang tidak dirujuk oleh Aristoteles.
Berdasarkan ini, Muhammad Usman Najati menilai bahwa gagasan Ibnu Sina tentang ilmu jiwa lebih unggul di beberapa kasus dari pada gagasan Aristoteles. Hal itu berarti, gagasan Ibnu Sina bisa dijadikan sampel satu-satunya yang sempurna dalam hal ilmu jiwa yang muncul pada zaman klasik (Muruwwa, 2008, hal. 119). Adanya fakta ini telah membuktikan bahwa betapa pun filsuf muslim terpengaruh dari gagasan filsuf Yunani bukan berarti hal tersebut murni jiplakan semata. Sebab pada dasarnya, tidak ada satu pemikiran besar tanpa ada keterpengaruhan dari pemikiran sebelumnya. Maka dalam hal ini, tradisi filsafat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam konsepsinya terhadap gagasan-gagasan filsafat.
Karakteristik lain dari filsafat Islam adalah bahwa ia menaruh perhatian besar dalam mempererat hubungan antara Tuhan dan makhluk-Nya. Di samping itu, filsafat Islam juga berupaya memadukan antara wahyu dan akal, akidah dan hikmah, agama dan filsafat. Filsafat Islam ingin menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara wahyu dan akal. Begitu pula, akidah, jika disinari dengan cahaya hikmah, akan menjadi akidah yang kokoh. Oleh karenanya, ketika agama bersanding dengan filsafat, akan terbentuk sebuah agama yang bercorak filosofis sebagaimana juga menciptakan filsafat yang bercorak agamis. Maka dalam hal ini, filsafat Islam merupakan buah hasil dari lingkungan dan kondisi sekeliling yang melahirkan tatanan filosofis-agamis bernuansa spiritual.
Sejatinya, Ibrahim Madkur tidak memungkiri adanya keterpengaruhan filsafat Islam dari filsafat Yunani. Pada faktanya, banyak dari kalangan filsuf muslim yang terpengaruh dari Aristoteles seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Rusyd. Terlebih di saat masifnya penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab yang bermula sejak akhir Dinasti Umayyah hingga puncaknya di era Dinasti Abbasiyah. Era penerjemahan tersebut, sedikit banyak telah berkontribusi kepada dunia Filsafat Islam untuk sampai masa keemasannya.
Terkait dengan hal ini Ahmad Amin di dalam bukunya, Fajr al-Islam, berbeda dengan para orientalis yang memandang negatif sejarah penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Era penerjemahan, dalam pandangan Ahmad Amin, menunjukkan bahwa umat Islam tidaklah terisolasi dari berbagai macam pengetahuan, dalam arti bahwa umat Islam mempunyai hubungan erat dengan peradaban umat lain. Hal ini menegaskan karakteristik umat Islam yang inklusif terhadap pengetahuan luar, mendorong keterbukaan dirinya terhadap peradaban lain (Amin, 2011, hal. 150).
Walhasil, tuduhan-tuduhan buruk terhadap otentisitas filsafat Islam yang digaungkan orientalis memiliki banyak celah untuk dikritik balik. Respons pemikir muslim terhadap tuduhan orientalis telah memberikan informasi penting kepada kita bahwa tradisi filsafat yang berkembang di dunia Islam ada yang memang murni tanpa ada pengaruh dari filsafat Yunani. Seperti adanya corak filosofis dalam pembahasan-pembahasan ilmu kalam dan ilmu ushul fikih. Ada pula filsafat yang memang terpengaruh dari filsafat Yunani, seperti tradisi filsafat yang dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Akan tetapi, keterpengaruhan tersebut tidak berarti bahwa filsafat dalam dunia Islam adalah jiplakan dari tradisi filsafat Yunani. Filsafat Islam memiliki corak dan karakteristik tersendiri sebagai sebuah hasil dari perpaduan beragam budaya. Alih-alih dikatakan tidak mampu berfilsafat, filsuf muslim dalam hal ini telah berhasil menciptakan tradisi filsafat baru yang penuh dengan nuansa agamis.
Hamim Maftuh Elmy
Mahasiswa tingkat II Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo
Referensi
Amin, Ahmad. 2011. Fajr al-Islām. Mu’assasah Hindāwī.
Madkur, Ibrahim. 2019. Fī al-Falsafah al-Islāmiyah Manhaj wa Tathbīquh. Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb.
Muruwwa, Husain. 2008. An-NazaꜤāt al-Māddiyah fī al-Falsafah al-ꜤArabiyah al-Islāmiyah (cet. 2). Beirut: Dār al-Fārābī.
Raziq, Musthafa Abdur. 2011. Tamhīd li Tārīkh al-Falsafah al-Islāmiyah. Beirut: Dār al-Kutub al-Bannānī.