Numesir
  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Ubuddiyah
  • Sejarah
    • Kajian
      • Kajian Lakpesdam
    • Tokoh
    • Terjemah
    • Resensi
No Result
View All Result
NU Mesir
  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Ubuddiyah
  • Sejarah
    • Kajian
      • Kajian Lakpesdam
    • Tokoh
    • Terjemah
    • Resensi
No Result
View All Result
NU Mesir
No Result
View All Result
Home Opini

Qiyas Sebagai Legal Reasoning dalam Menyikapi Fallacy Mengenai Bid’ah

oleh: Gifari Anta Kusuma

numesir by numesir
4 April 2025
in Opini
0
0
SHARES
109
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp
  1. Tulisan ini bertujuan menghadirkan pendapat para ulama mengenai bid’ah serta menjelaskan kesalahan berpikir (fallacy) yang sering terjadi dalam memahami konsep tersebut. Selain itu, tulisan ini juga menelaah konsep qiyas sebagai salah satu asas yurisprudensi dalam Islam yang berfungsi sebagai legal reasoning atau pertimbangan dalam memunculkan suatu hukum. Sebuah old maxim dalam bahasa Latin berbunyi: ad recte docendum oportet primum inquirere nomina, quia rerum cognitio a nominibus rerum dependet, yang berarti agar dapat memahami sesuatu, perlu diketahui namanya terlebih dahulu agar mendapatkan pengetahuan yang benar. Prinsip ini sejalan dengan ungkapan:

الحكم بالشيء أو عليه فرع عن تصوره

“Menghukumi sesuatu adalah bagian dari tashawwur-nya atau pemahaman yang bersifat konkret.” (Syekh Ahmad bin Abdurrahman An-Nahrawi, Durrul Farid fi Aqaidi Ahlit Tauhid).

Definisi Bid’ah

Bid’ah dalam bahasa adalah segala sesuatu yang baru, sebagaimana dikutip dari Ibnu As-Sakit dalam laman resmi Darul Ifta Mesir. Adapun menurut istilah syariat, para ulama memiliki beberapa definisi:
1. Imam As-Syatibi dalam Al-I’tisham
فالبدعة إذا عبارة عن: طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
“Bid’ah adalah jalan atau cara dalam beragama yang dibuat-buat, menyerupai syariat, dan bertujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.”
2. Syekh Izzuddin bin Abdissalam dalam Qawaidul Ahkam fi Mashalih Al-Anam
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله ﷺ وهي منقسمة إلى بدعة واجبة, وبدعة محرمة, وبدعة مندوبة, وبدعة مكروهة, وبدعة مباحة.
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah ﷺ, yang terbagi menjadi bid’ah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.”

Fallacy dalam Memahami Bid’ah

Kesalahan berpikir yang terjadi di kalangan kelompok tertentu dalam memahami bid’ah umumnya bersumber dari hadits Rasulullah ﷺ yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat dan masuk neraka. Meskipun hadits ini diakui kebenarannya, permasalahan terletak pada salah tafsir terhadap maksudnya. Beberapa kelompok cenderung mengartikan bid’ah sebagai segala sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah atau yang ditinggalkan oleh beliau dan para sahabat. Dari sinilah muncul kekeliruan berpikir.

Pendekatan metodologis yang tepat justru menegaskan bahwa at-tarku (tidak dicontohkan oleh Rasulullah) tidak otomatis menunjukkan keharaman sesuatu. Syekh Abdullah Al-Ghumari dalam Ar-Raddul Muhkamul Matin menjelaskan bahwa jika at-tarku tidak disertai dalil yang melarangnya, maka sesuatu itu tetap diperbolehkan. Dengan kata lain, hukum suatu perkara tidak bisa ditetapkan hanya berdasarkan ketidakhadirannya dalam sunnah.

Berdasarkan definisi bid’ah yang telah disebutkan, klaim bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah adalah bid’ah yang sesat menjadi tidak berdasar. Contoh konkret adalah perayaan Maulid Nabi. Beberapa kelompok menolaknya karena tidak ada dalil eksplisit yang menunjukkan bahwa Rasulullah merayakan hari lahirnya. Namun, berdasarkan definisi As-Syatibi, Maulid Nabi bukan perkara yang dibuat-buat tanpa dasar karena memiliki sandaran syariat, seperti kebiasaan Rasulullah berpuasa pada hari Senin sebagai bentuk syukur atas kelahirannya.

Lantas, bagaimana dengan pernyataan As-Syatibi yang menyebutkan bahwa menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai hari raya adalah bid’ah? Yang dimaksud dalam redaksi kitabnya adalah:

واتخاذ يوم ولادة النبي ﷺ عيدا

“Menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai hari raya.”

Bid’ah dalam konteks ini adalah menjadikan Maulid sebagai hari raya khusus dalam Islam, karena hari raya dalam Islam hanya ada dua, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, memperingati kelahiran Nabi sebagai bentuk penghormatan dan ekspresi kecintaan kepada Rasulullah bukanlah bid’ah yang sesat karena memiliki dasar syariat.

Pendekatan ini juga diperkuat oleh Sayyid Muhammad dalam Mafahim, yang menegaskan bahwa klaim bid’ah dalam aspek ibadah tidak berlaku untuk hal-hal yang bersifat adat dan budaya, selama tidak bertentangan dengan syariat.

Qiyas sebagai Legal Reasoning dalam Memahami Bid’ah

Untuk memahami apakah sesuatu tergolong bid’ah yang sesat, pendekatan qiyas sangat diperlukan. Qiyas adalah metode penalaran hukum Islam yang tidak terbatas pada teknis penafsiran belaka. Dalam definisinya, As-Syatibi membatasi bid’ah pada perkara yang mukhtara’ah (tidak memiliki dasar dalam syariat). Izzuddin bin Abdissalam pun membagi bid’ah menjadi lima kategori berdasarkan penyelarasan hukum dengan kaidah fiqh.

Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Wajiz fi Usul Al-Fiqh mendefinisikan qiyas sebagai:

إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما في علة الحكم
“Menyelaraskan suatu perkara yang tidak memiliki legitimasi hukum secara syariat dengan perkara yang memiliki nash hukum karena adanya kesamaan illat.”

Dalam konteks bid’ah, qiyas berfungsi sebagai legal reasoning untuk menempatkan perkara baru dalam hukum Islam. Misalnya, Ibnu Taimiyah (dinukil oleh Abdullah Al-Ghumari) menolak qiyas yang digunakan untuk melegitimasi azan dalam shalat Id karena azan merupakan kekhususan shalat Jumat.

Contoh lain adalah kodifikasi ilmu ushul fiqh, yang menurut Izzuddin bin Abdissalam tergolong bid’ah wajib. Hal ini didasarkan pada metode qiyas, di mana perkara asalnya adalah praktik sahabat dalam menggali hukum melalui kaidah ushul fiqh, meskipun pada masa mereka kaidah tersebut belum terkodifikasi secara sistematis. Oleh karena itu, meskipun kodifikasi ilmu ushul fiqh adalah perkara baru, ia memiliki landasan dalam syariat karena bertujuan menjaga dan memperjelas kaidah ijtihad.

Menjadikan ijtihad sebagai illat hukum asal dalam hal ini kiranya tidak berlebihan karena ijtihad bersifat ril dan sebagai indikator yang mengacu kepada substansi kaidah yang bersifat pasti sehingga ada dan tiadanya hukum tergantung kepada ada dan tiadanya ijtihad. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam mendefinisikan illat menegaskan bahwa Illat adalah suatu hal yang bersifat ril, pasti atau terstruktur, menjadi penentu hukum yang mana ada dan tidak adanya hukum bergantung kepadanya.

Kesimpulan

Membid’ahkan sesuatu secara tergesa-gesa tanpa memperhatikan kaidah keilmuan dapat berujung pada kesalahan berpikir dan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam. Inovasi dalam agama tidak boleh serta-merta ditolak, tetapi harus dianalisis berdasarkan prinsip qiyas dan landasan ilmiah yang diwariskan ulama. Oleh karena itu, dalam menyikapi fenomena baru yang tidak terhindarkan, yang lebih benar adalah melakukan pendekatan berdasarkan metode keilmuan yang telah diwariskan turun-temurun, bukan dengan menuntut keserupaan mutlak dengan masa salaf.

Meskipun pemaparan ini belum mencakup keseluruhan aspek, penulis berpegang pada prinsip bahwa apa yang tidak dapat dijangkau secara menyeluruh bukan berarti harus ditinggalkan semuanya.

Tags: bid’ahFiqihlegal reasoningqiyasushul fiqih
ShareTweetSend
numesir

numesir

Akun tim redaksi numesir.net 2022-2024. Dikelola oleh Divisi Website Lembaga Ta’lif wa Nasyr (LTN) PCINU Mesir.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

25 April 2025
Taliban dan Pembawa Panji Hitam dari Khurasan

Taliban dan Pembawa Panji Hitam dari Khurasan

27 October 2021
FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

1 May 2025
Abdullah bin Saba’ dan Transmisi Ajaran Islam Otentik

Abdullah bin Saba’ dan Transmisi Ajaran Islam Otentik

25 May 2023
Dinamika Qunut dan Legalitasnya dalam Fikih Empat Mazhab

Dinamika Qunut dan Legalitasnya dalam Fikih Empat Mazhab

7 March 2025
Delegasi PCINU Mesir Hadiri Forum “Listen and Talk” di Markaz Muktamar Al-Azhar

Delegasi PCINU Mesir Hadiri Forum “Listen and Talk” di Markaz Muktamar Al-Azhar

7 May 2025
FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

FKDNU Adakan Sarasehan Bersama Tiga Pengurus PBNU

1 May 2025
PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

PD-PKPNU PCINU Mesir Angkatan I Resmi Dibuka, Hadirkan Instruktur PBNU dan 60 Peserta

25 April 2025
Qiyas Sebagai Legal Reasoning dalam Menyikapi Fallacy Mengenai Bid’ah

Qiyas Sebagai Legal Reasoning dalam Menyikapi Fallacy Mengenai Bid’ah

4 April 2025
Telaah Hukum Ikhtilat: Antara Konsistensi Fikih dan Wacana Kesetaraan Gender

Telaah Hukum Ikhtilat: Antara Konsistensi Fikih dan Wacana Kesetaraan Gender

18 March 2025

Numesri.net putih

Tentang Kami | Kontak | Redaksi | Kirim Tulisan

Ikuti juga sosial media kami

  • Profil
  • Warta
  • Opini
  • Kolom
  • Internasional
  • Sejarah
  • Kajian
  • Tokoh
  • Ubuddiyah
  • Terjemah