Pada tanggal 19 Agustus 2024, bertempat di Sekretariat PCINU Mesir, LBM dan Asjawa Center menggelar sebuah seminar fatwa yang dihadiri oleh para tokoh dan akademisi. Acara yang dimulai pukul 19.00 WLK ini diawali dengan pembukaan oleh Master of Ceremony (MC), dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir, yang kemudian memasuki sesi inti seminar dengan dipandu oleh seorang moderator.
Dalam sesi penyampaian materi, Prof. K. H Asrorun Niam Sholeh selaku narasumber menjelaskan pandangan Islam tentang khitan perempuan, beliau menekankan bahwa meskipun ada narasi yang menyebutkan bahaya khitan perempuan berdasarkan kasus-kasus tertentu, hal ini harus ditinjau dari ideologi yang melatarbelakangi narasi tersebut. Menurut narasumber, sering kali narasi tersebut dipengaruhi oleh isu gender dan bukan semata-mata berdasarkan fakta medis. Dalam pandangan Islam, khitan perempuan tidak merusak alat kelamin atau membahayakan kesehatan, karena praktik yang dianjurkan hanyalah pemotongan tipis dari selaput yang menutupi klitoris, yang bertujuan untuk membuka bagian kepala klitoris tanpa menimbulkan mafsadat.
Lebih lanjut, narasumber membahas perbedaan metode fatwa antara NU dan MUI. Meskipun pada dasarnya kedua organisasi ini merujuk pada pendapat ulama dari empat mazhab, NU cenderung lebih eksplisit dalam menyampaikan hasil fatwa kepada publik dengan menjelaskan secara rinci pandangan para ulama. Sebaliknya, MUI menyajikan fatwa dalam bentuk poin-poin yang dirumuskan ke dalam pasal-pasal, sehingga lebih mudah dipahami dan diimplementasikan dalam peraturan atau undang-undang. Narasumber juga menyoroti bahwa keputusan bahtsul masail di NU harus melewati proses validasi oleh dewan syuriyah sebelum diputuskan sebagai hasil akhir, berbeda dengan MUI yang keputusannya langsung disampaikan kepada publik setelah mencapai kesepakatan.
Narasumber menekankan bahwa baik NU maupun MUI tetap berpegang pada pendapat ulama empat mazhab, kecuali dalam perkara mujtahadah dengan illat yang berbeda. Dalam hal ini, metode tarjih digunakan untuk memilih dalil yang lebih kuat. NU bahkan memperinci lagi mengenai siapa yang lebih ‘alim dan wara’, serta yang lebih rajih pendapatnya dalam mazhab.
Di akhir sesi, narasumber menekankan pentingnya penelitian ulang terhadap fatwa-fatwa yang sudah ada, karena ada kemungkinan keliru atau adanya illat baru yang harus dipertimbangkan. Ia juga menjelaskan bahwa hukum Islam dan kedudukan fatwa berkembang, dimana fatwa bersifat ghair mulzim atau tidak mengikat, berbeda dengan qadha’ yang bersifat mengikat. Namun, fatwa MUI sekarang ini bersifat mulzim syar’an wa qanūnan (mengikat secara syariat dan aturan, terlebih ketika sudah menjadi UU Negara), sehingga tidak dapat dibatalkan oleh fatwa lain dan bersifat otonom, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan anggota MUI.
Setelah sesi diskusi yang berlangsung selama 30 menit, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab, penyerahan plakat dan sesi foto bersama, yang kemudian ditutup dengan ramah tamah. Seminar ini memberikan wawasan mendalam tentang perbedaan metode fatwa di Indonesia dan pentingnya penafsiran yang tepat dalam hukum Islam. (Raja)