Setiap pemikir, ulama, ataupun penyair adalah bahasa daripada zamannya. Dari situ kita melihat bahwa pemikiran, ide, kata-kata tak jarang berangkat dari hembusan angin ruang dan kegelisahannya. Rupanya itu catatan singkat yang setidaknya terekam dalam pengamatan saya pribadi.
Dari sini kemudian kita ingin membaca kegelisahan Syekh Mahmud Syaltut, Grand Syekh Azhar pada masa 1958-1963 M. Melalui karya-karya beliau, terlihat jelas bahwa beliau begitu menggelisahkan zamannya, terkhusus soal penghayatan umat Islam terhadap Al-Quran. Syekh Syaltut menyoroti, bahwa saat ini Al-Quran kurang begitu diposisikan, atau bahkan dipahami sebagai kitab suci, baik secara substansial maupun fungsional.
Artinya bagaimana? Begini, saat ini Al-Quran tak ubahnya sebagai pengisi dalam tradisi-tradisi belaka, seperti halnya dibacakan di saat ada kematian. Atau terpahami secara laku esoteris (untuk rohani) dalam mengharap pahala harfiah saja (lil qurba), tanpa ada penghayatan lebih lanjut tentang muatan makna yang justru hal itulah misi kenabian Muhammad Saw. yakni mengantarkan kehidupan manusia menuju Allah Swt. melalui penjelasan-penjelasan syariatnya (at-ta’âlîm ad-dîniyyah).
Dalam bukunya yang berjudul al-Islâm wa ‘Alâqôt al-Duwâliyyah baina as-Silm wa al-Harb, beliau mengawali tulisannya dengan pembahasan cara ideal menafsirkan kembali Al-Quran. Di sana beliau mengritik kecenderungan orang-orang yang menafsirkan ayat, atau lebih tepatnya melakukan pendekatan terhadap Al-Quran melalui jubah-jubah aliran tertentu. Kecenderungan semacam ini berdampak pada status Al-Quran yang semestinya terpahami sebagai kitab ajaran tertinggi, pada akhirnya menjadi lunak pada sikap-sikap aliran tertentu. Seperti dalam kasus, “ayat ini tidak sesuai dengan Ahlusunah, maka takwil yang tepat adalah demikian…” atau “ayat ini tidak sesuai dengan pendapat mazhab fikih Hanafi, maka takwilnya seperti ini dan ini…” atau juga “ayat ini dan itu tidak cocok dengan konteks pensyariatan al-qital, maka ayat tersebut dinasikh.
Cara pemaknaan terhadap Al-Quran yang seperti inilah kemudian menjadikan Al-Quran, dalam istilah Syekh Syaltut, sebagai ‘kitab furuk’ (sekunder) sedangkan semestinya Al-Quran ialah ‘kitab pokok’ (primer), atau sebatas kitab pengikut aliran tertentu saja (tâbi’), padahal semestinya Al-Quran ialah kitab rujukan fundamental (matbû’).
Menurut beliau kecenderungan seperti ini jelaslah bertentangan dengan surat an-Nisa ayat 59. Yakni, dengan maksud kembali kepada Allah Swt. melalui kitab sucinya dan juga kepada utusannya melalui Sunahnya yang luhur. Namun, Syekh Syaltut menegaskan, kini dalam praktiknya orang-orang membalik arahan tersebut. Mereka malah mengubah tata cara syariat yang tepat, yaitu dengan mengembalikan Al-Quran dan Sunah kepada pandangan-pandangannya sendiri atau sesuai aliran yang dia ikuti.
Menariknya, dalam pandangannya tersebut Syekh Syaltut merujuk pada Imam Fakhruddin ar-Rozi dalam tafsirnya atas surat at-Taubah ayat 31 yang berarti, “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah.”
Dalam tafsir tersebut beliau mengutip maqolah gurunya, “Telah aku jumpai sebuah golongan dari para pengikut mazhab fikih, saat aku bacakan kepada mereka beberapa ayat tentang sebuah persoalan, sedangkan ayat tersebut tidak sesuai dengan mazhab mereka, lantas mereka pun tak menerima ayat tersebut. Lalu mereka memandangku dengan penuh keheranan, “bagaimana mungkin untuk mengamalkan ayat-ayat ini secara zahir, sedangkan riwayat dari para pendahulu kita tidaklah seperti itu?!.”
Apa yang mesti kita catat dari pandangan Syekh Syaltut di atas bukanlah sebuah kecenderungan layaknya kaum fundamentalis yang tak menerima apa saja selain Al-Quran dan Hadis belaka. Bukan itu. Namun lebih tepatnya adalah sebuah upaya pengikisan fanatisme yang justru menghalangi seseorang menuju cakrawala Al-Quran. Meskipun perbedaan pendapat atas interpretasi ayat-ayat Al-Quran adalah keniscayaan, namun satu hal yang mesti dijadikan pedoman adalah bahwasanya Al-Quran (dan kemudian Sunah) adalah muara tertinggi pengambilan inspirasi-inspirasi keilmuan Islam.
Apapun jadinya, tidaklah tepat jika kita terburu-buru membungkusi diri kita dengan sempitnya cara pandang yang justru secara tidak langsung memberi sekat antara kita dengan Al-Quran. Bahkan suatu fakta yang menarik lagi, kini kita begitu sulit menuju keislaman yang utuh. Umat Islam begitu dikotak-kotak dengan sistem modern yang disebut ilmu umum dan ilmu agama. Bahkan dalam ilmu agama sendiri tak jarang kita masih dipotong sedemikian kecil-kecil lagi menjadi fan-fan. Seperti syariah, tarbiyah, ushuluddin, bahasa dan lain sebagainya. Bukan berarti penjurusan itu tidaklah penting, itu pastilah konyol. Namun jurusan itu dibentuk tak lebih dari sekedar sarana pematangan sekaligus mempermudah urusan teknis semata. Tapi pada dasarnya keidealan beragama adalah kelengkapan (setidaknya dalam proses) mempelajari bahasa, akidah, fikih, tasawuf dan seterusnya.
Setelah kritik yang tersebut di atas, kemudian Syekh Syaltut menerangkan bagaimana cara paling ideal dalam menafsiri Al-Quran saat ini. Yakni dengan mengumpulkan beberapa ayat yang berkaitan dengan satu tema tertentu, menganalisisnya baik secara lafaz dan makanya, lalu mengurai hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain sehingga menjadi terpahami suatu hukum yang berkaitan dalam satu tema tertentu. Tema seperti inilah yang kemudian mampu memberikan pemahaman bahwa Al-Quran bukanlah buku-buku wirid yang kurang memberi penjelasan dan pemaknaan hidup nyata (eksoterik). Akan tetapi, dengan mengkaji Al-Quran menggunakan cara tersebut, kita menjadi paham bagaimana status Al-Quran sebagai inspirasi pertama hukum ajaran Islam (usul al-tasyri’), relasi antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan, Al-Quran dan keluarga, Al-Quran dan etika sosial, Al-Quran dan perekonomian dan seterusnya.
Dengan cara seperti ini, kita menjadi paham bahwa Al-Quran memang diturunkan untuk mengejar relevansi zaman, menguraikan berbagai persoalan dan begitu dekat dengan kehidupan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Sungguh, Al-Quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Al-Isra: 9)
Rupanya, Syekh Syaltut tidak main-main dengan apa yang ia sebut sebagai “metode baru” dalam penafsiran Al-Quran tersebut. Terbukti, beliau telah menulis sebuah buku berjudul “al-Qur’an wa al-Mar’ah”, yakni sebuah kajian yang mengupas secara tuntas status perempuan dalam Al-Quran. Selain itu, beliau juga menulis buku berjudul “al-Qur’an wa al-Qitâl“, yakni mengupas perihal peperangan dengan pendekatan Al-Quran.
Itulah poin penting yang mesti kita pelajari dari spirit intelektualitas Syekh Syaltut. Dan kalau boleh jujur, pemikiran beliau begitu relevan dalam kehidupan beragama kita saat ini.
Kita telah menjadikan Al-Quran bergantungan di atas ranting-ranting pohon keimanan kita saja. Kita kurang berhasrat bagaimana caranya agar pohon itu juga menumbuhkan dedaunan yang lebat serta buah-buahan segar kehidupan agar kita bisa menyantapnya, sebagai inspirasi hidayah dan ilmu pengetahuan.
Rupanya kita terburu-buru puas dengan membaca buku-buku dalam disiplin keilmuan tertentu, seperti buku-buku akidah yang dengan kutipan beberapa ayat ketuhanan, atau buku-buku fikih dengan kutipan ayat-ayat hukumnya. Bukan, bukannya kita diajari anti dengan buku-buku tersebut, namun lebih tepatnya, selain hanya senang menenggak air yang tertuang di atas cawan kita, ternyata ada sumber air terpendam di dalam menyimpan lebih banyak air yang lebih menyegarkan.
Editor: Taufan Fuad Ramadan