Oleh: Dr. Muhyiddin Afifi(2)
Diterjemahkan oleh saudari Chalimah Assa’diyah
Sepanjang sejarah, Yerusalem menjadi pusat perhatian sejarawan, intelektual, ilmuwan, dan peneliti. Sejarah kota ini dimulai pada milenium ke-4 SM., tatkala keturunan Kanaan -orang-orang Arab- membangun kota yang mereka namakan “Yerusalem”. “Yerushalem” atau “Shalem” artinya adalah Tempat Tuhan Salem. Penyebutan inilah yang kemudian kita kenal sampai sekarang, meski dalam perjalanan sejarah mengalami beberapa kali perubahan nama. “Yerushalayim” juga dikenal dengan “Urushalim” sebagaimana disebut dalam al-Kitab.
Pada abad 10 SM. di bawah kepemimpinan Raja Daud a.s., kaum Ibrani menguasai Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaan, mereka juga berhasil menyatukan suku-suku yang mendiami wilayah tersebut. Namun, kaum Ibrani mulai melakukan penyelewengan dari jalan yang benar. Mereka kembali menyembah berhala, mengingkari keesaan Tuhan, melakukan dosa-dosa besar, menyombongkan diri, dan membunuh para nabi. Karenanya Allah menurunkan azab, hingga pada akhirnya kaum ini dikalahkan dan dikuasai oleh musuh.
Pada tahun 636 M./16 H., umat Islam menaklukkan kota Yerusalem. Selama masa penaklukan, kaum Yahudi memulai hidup baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Terlebih ketika Umar bin Khattab bersama umat Islam melakukan perbaikan kota yang banyak mengalami kerusakan.
Selanjutnya umat Islam melakukan perbaikan masjid-masjid nabi terdahulu, merenovasinya satu persatu, dan menjaga kesucian seluruh tempat peribadatan tanpa membeda-bedakan antar pemeluk agama samawi. Dalam perjalanannya, kota ini tumbuh menjadi pusat peradaban rohani di mana masjid, gereja, dan tempat peribadatan lain berdiri berdampingan dengan damai.
Kemudian kaum Yahudi hendak mengganti sebutan “Yerushalem” -yang diambil dari nama kaum Kanaan- menjadi “Yerushalayim” dengan tambahan aksen Ibrani. Namun, perubahan nama tersebut disangsikan kebenarannya. Sebab, bukti arkeologi, sejarah dan linguistik menunjukkan bahwa penamaan kota ini (Yerushalem) diambil dari kaum Kanaan. Pada akhirnya kota ini lebih dikenal sebagai “Baitul Maqdis” setelah penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam.
Baitul Maqdis berada di bawah kekuasaan umat Islam selama 13 abad, kemudian kekuasaan itu beralih setelah tentara salib merebut banyak wilayah Palestina dan menjajah Baitul Maqdis selama 100 tahun.(3) Baitul Maqdis, yang berada dalam wewenang umat Islam sejak penaklukan Islam pada masa Umar bin Khattab hingga pada 5 Juni 1967 M. kini dalam penjajahan Zionis Yahudi dalam agresi baru-baru ini.
Sejarah diatas menguatkan Arabisme Baitul Maqdis dan kedudukannya yang suci. Ia juga menegaskan semangat umat Islam dalam menjaga kesucian dan kesakralannya bagi pengikut Yahudi, Nasrani, dan Islam sendiri. Semua ini diwujudkan dengan menjamin kebebasan beragama dan keamanan tempat peribadatan sesama pemeluk agama samawi, seperti halnya perjanjian dan piagam yang pernah ditetapkan pada masa nabi Muhammad Saw. dan Khulafa al-Rasyidin radliyallahu ‘anhum.
Namun, kaum Yahudi dan para penguasa Zionis berusaha menjalankan misi yahudisasi Baitul Maqdis melalui pendudukan dan pengusiran orang Arab -umat Islam dan Nasrani- dari tanah dan rumah mereka. Kaum Yahudi menguasai tempat-tempat penting umat Islam dan Nasrani, membongkar makam-makam, mengubah ciri khas kota tersebut dan menodai kesucian kota,terutama masjid al-Aqsha dan gereja Makam Kudus. Mereka bahkan merusak masjid-masjid, gereja, dan menguasai sebagian besar wilayah kota.
Pada tahun 1572 M. berdasarkan catatan resmi Pengadilan Syariah,(4) kaum Yahudi yang tinggal di Palestina berjumlah 115 jiwa dan bertambah menjadi 150 jiwa pada tahun 1688 M. Jumlah tersebut tidak mengalami kenaikan signifikan sepanjang abad ke-18 M. Baru kemudian pada abad 19 M jumlah kaum Yahudi mengalami kenaikan pesat ketika Palestina dijajah oleh bangsa asing.
Dalam banyak kesempatan, kebijakan ekspansionis Israel atas Palestina telah ditegaskan oleh para pemimpin mereka. Israel berbicara mengenai ambisi mereka mendirikan sebuah negara dengan bentang wilayah dari sungai Nil sampai sungai Eufrat. Demi mewujudkannya mereka menjajah Palestina dan Baitul Maqdis serta menerapkan undang-undang administratif dan legislatif Israel di negara Palestina. Hal ini ditujukan untuk menghancurkan seluruh pengaruh Arab-Islam di wilayah Palestina: menghancurkan masjid-masjid dan gereja; menodai kesucian Islam dan Nasrani; mencuri peninggalan berharga umat Islam dan Nasrani; dan juga merencanakan penghancuran masjidal-Aqsha.(5)
Ambisi ekspansionis Israel tidak berhenti pada satu titik tertentu. Mereka sengaja melakukan pemalsuan sejarah dan pembohongan publik dengan memanfaatkan propaganda media. Israel juga mendoktrin generasinya agar memiliki pandangan bahwa umat Islam dan Arab-lah yang merebut tanah Palestina.
Perhatian Zionis Terhadap Pendidikan dan Pengajaran(6)
Gerakan Zionis menitikberatkan pada sektor pendidikan dan pengajaran. Sejak disetujuinya mandat Inggris atas Palestina sebelum berdirinya negara Israel, Zionis sangat berhasrat untuk mengusai dua sektor tersebut.
Setelah negara Israel menyatakan berdiri pada tahun 1948 M. Ben Gurion mendeklarasikan Piagam Kemerdekaan di Tel Aviv pada 14 Mei 1948 M. di hadapan kaum elit Zionis. Piagam inilah yang kemudian dijadikan sebagai sistem permanen oleh umat Yahudi.
Isi piagam ini sangat berhati-hati, mereka tidak menyebutkan batas wilayah teritorial negara Israel. Hal ini untuk menyatakan bahwa luas wilayah negara Israel adalah tidak terbatas, sekaligus untuk menjalankan kebijakan ekspansionis.
Piagam ini juga mengisyaratkan beberapa hal, di antaranya:
– Bahwa kaum Yahudi adalah bangsa yang satu. Oleh karena itu, orang Yahudi di seluruh dunia harus dipersatukan dalam satu wilayah, satu bahasa; Ibrani dan satu agama; Yahudi.
– Bahwa bumi Israel (Palestina) adalah tanah air bangsa Yahudi.
– Menanamkan kesadaran kepada generasi Yahudi bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang berusaha menghancurkan Israel, dan menanamkan semangat patriotisme yang menggebu kepada generasinya untuk melawan umat Islam. Kaum Yahudi juga menanamkan kesadaran bahwa Allah Swt. telah menjanjikan kepada mereka untuk menjadi khalifah di muka bumi. Selain itu, mereka mengingatkan penghinaan dan pembantaian yang dilakukan bangsa lain atas kaum Yahudi.
Dalam konteks tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Israel meletakkan prinsip dan nilai pendidikan yang dijadikan sebagai pedoman dalam ilmu humaniora: Geografi, Sejarah, PPKN, Keagamaan, Akidah Yahudi dan kajian yang ditetapkan secara resmi yang bersifat tetap, kontinu dan dinamis.
Contoh materi pelajaran dalam buku-buku pelajaran Israel; Prinsip dan nilai Pendidikan Zionis:
– Ras Yahudi adalah aktor kemajuan di tanah Palestina. Tanpa adanya ras ini,bangsa Arab tentu mengabaikan tanah Israel selama berabad-abad. Maka dari itu, demi cita-cita yahudisasi Palestina mereka harus menyatukan kembali ras Yahudi.
– Sengaja mengabaikan sejarah Arab dan Arab-Islam di Palestina secara keseluruhan.
– Menganggap bangsa Arab -pemilik sah tanah Palestina- sebagai penjajah tanah air; menganggap ekspansi Islam sebagai bentuk penjajahan dan sebagai serangan atas tanah air kaum Yahudi.
Kesadaran Generasi Sebagai Fondasi Pemulihan Yerusalem
Pada dasarnya Israel berfokus pada kontrol kurikulum dan keperluan mendidik generasi dengan doktrin tertentu yang bertujuan melayani kebutuhan mereka saat ini dan masa mendatang. Selain itu juga bertujuan untuk menentukan orientasi hidup mereka, meski dipenuhi dengan kebohongan dan manipulasi sejarah yang terselip dalam buku-buku pelajaran. Dengan demikian, doktrin yang mereka gagas bisa mendidik generasi yang mampu melindungi tanah air Israel -yang mereka anggap telah dijajah- dan memosisikan bangsa Arab sebagai musuh.
Saya ingin mengatakan ketika kita menolak keputusan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memangnya apa yang kita ketahui tentang Yerusalem? Metode mana yang mengajarkan kepada generasi Islam mengenai permasalahan dan arabisme Yerusalem? Bagaimana sejarahnya bangsa Arab menjadi pemilik sah tanah Yerusalem selama berabad-abad? Bagaimana interaksi bangsa Arab dengan umat lain -Yahudi dan Nasrani- setelah penaklukan Islam di Yerusalem? Bagaimana masjid, gereja, dan tempat peribadatan agama samawi berdiri bersandingan?
Untuk membebaskan Palestina, kita harus membangun kesadaran setiap generasi melalui proses pendidikan di seluruh kurikulum pendidikan, sesuai dengan jenjang yang sedang ditempuh. Demi hal ini, kita perlu bersatu padu dalam menggarap proyek budaya untuk mengubah keadaan umat saat ini -dengan menjadikan Yerusalem sebagai garapan utama. Sampai di sini, ide Grand Syekh al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thayyib akan pentingnya menyiapkan diktat pelajaran yang memuat sejarah, kedudukan, dan arabisme Palestina pada seluruh jenjang pendidikan al-Azhar patut dipuji. Dan sejauh ini al-Azhar sudah memulainya.
Al-Azhar telah membentuk komite khusus untuk menyempurnakan diktat-diktat tersebut. Semua ini adalah wujud keseriusan al-Azhar -sepanjang sejarahnya- dalam mengatasi konflik Palestina; melindungi Yerusalem dan arabismenya; dan sebagai bentuk perlawanaan terhadap yahudisasi atau usaha Israel untuk melenyapkan identitas Arab di Yerusalem. Al-Azhar juga menegaskan bahwa sekalipun terdapat pendudukan Zionis dan pengumuman bahwa al-Quds adalah ibu kota Israel, tidak akan menghapus identitas Palestina dari hati bangsa Arab dan Islam. Di sini al-Azhar juga membangkitkan semangat bangsa Arab dan umat Islam untuk mengembalikan Yerusalem ke pangkuan Islam. Semua usaha ini diwujudkan melalui pengenalan Yerusalem kepada generasi muda.
Ketika berbicara masalah kesadaran, yang kita maksud adalah pentingnya kesadaran komprehensif melalui buku, diktat pelajaran, cerita dan film anak-anak, novel, media, kompetisi kebudayaan, film, dan sinetron.
Majelis Kibâr al-Ûlamâ’ (ulama-ulama senior al-Azhar) juga telah mengajak seluruh institusi ilmiah dan pendidikan, kementerian wakaf dan lembaga fatwa di negara Arab dan Islam untuk lebih memperhatikan isu Yerusalem. Lembaga besar ini menghimbau untuk memuat permasalahan Palestina dalam diktat-diktat pelajaran dan pendidikan, khutbah Jumat, program-program budaya, dan media untuk memulihkan isu krusial yang dihadapi.
Pentingnya pendidikan telah dicontohkan para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum sejak dahulu. Mereka sangat serius dalam mendidik generasi penerus mereka dengan kisah peperangan nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan dari Ismail bin Muhammad bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata: “Ayah mengenalkan kepada kami peperangan yang dilakukan Nabi SAW dan mengulanginya, serta peperangan yang dilakukan pasukannya, lalu berkata: “wahai anakku, ini adalah jejak pendahulu kalian, maka jangan sekali-kali kalian melupakannya!”.(7) Alhasil tumbuhlah generasi yang sadar akan sejarah dan peradabannya, sehingga tercipta generasi yang berkualitas. Oleh karena itu, kesadaran generasi atas permasalahan Baitul Maqdis merupakan salah satu kunci pembebasan Palestina.[]
Bersambung…
- Yang juga diartikan dengan “Karakter Arab”.
- Sekretaris jenderal Majma’ El Buuts Al Islamiyah.
- Makânah Bait al-Maqdis Fí al-Islâm, Ishaq Musa Al-Husaini, 57-59, buku muktamar keempat Majma’ El Buhuts Al Islamiyah, Rajab 1388 H/1968 M.
- Catatan Resmi Pengadilan Syariah Palestina, Otorisasi Hukum Hal. 23 Th 1253 H.
- Zionis wa Palestin, Dr. Sayyid Naufal, Hal. 166.
- Shûrah al‘Arab wa al-Muslimîn fi al-Manâhij al-Dirâsiyyah Haula al-‘Âlam- al-‘Ârab Mukhribûna wa Qatlah, Harun Hasyim, Hal. 185-186.
- Al-Jâmi’ li Akhlâq al-Râwî wa Adâb al-Sâmí’, Al Khatib Al Baghdadi, 2/195 No. 1590.
Artikel asli dari majalah Azhar edisi Jumadil Ula 1439 H/Januari 2018 M.