Setiap kamis malam, Nalar Turats-komunitas kajian kultural NU- mengadakan diskusi kitab Musykilat al-Afkar dari pemikiran Malik ibn Nabi. Setelah mengkhatamkan kitab Madzbahat al-Turats oleh George Tarabishi, Malik ibn Nabi terbilang cocok menjadi bahan diskusi lanjutan. Gaya pemikiran Malik ibn Nabi yang seimbang dan komprehensif menawarkan gagasan yang membangun nilai-nilai kebudayaan. Berbeda halnya dengan kecenderungan dari pemikir muslim lain yang provokatif karena tidak seimbang dan menegasikan turats, ruhani, dan tradisionalisme sebagaimana diterangkan oleh George Tarabishi dalam Madzbahat al-Turats.
Sebagai suatu gerakan kebudayaan tradisionalis, Islam muncul dari Bangsa Arab yang terisolasi dan diapit oleh dua bangsa besar, yaitu Romawi dan Persia. Pada saat itu, Bangsa Arab masih sibuk mengurusi keunggulan antar suku dan mu’alaqqat sab’ah-nya (tujuh syair terbaik yang tergantung di Kakbah). Sedangkan bangsa lain sudah membincangkan sistem kerajaan dan perkembangan kemajuan bangsa mereka. Faktanya, Islam tidak muncul di antara dua bangsa besar tersebut. Seolah-olah ada isyarat, Islam harus mendobrak tatanan sosial Arab yang terpuruk menjadi bangsa yang maju.
Fenomena ini menjadi landasan teori Malik ibn Nabi, bahwasanya suatu peradaban melewati beberapa tahapan: Fase sebelum peradaban, puncak peradaban, dan yang terakhir fase setelah peradaban/ kemunduran. Di sisi lain, pandangan ibn Nabi (baca; Bennabi) tersebut menunjukkan keterpengaruhannya terhadap gagasan Ibnu Khaldun akan siklus dalam peradaban. Namun, Malik bin Nabi tidak mengadopsi gagasan Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa suku Badui dapat membangun negara yang berpindah-pindah, yang akan mengalami kejayaan sebelum akhirnya menghadapi kehancuran. Sebagai gantinya, Bennabi menguraikan pemikiran Ibn Khaldun tersebut dan mengembangkan konsep 3 tangga peradaban: spiritual, rasional, dan naluri.
Seperti yang diterangkan di atas, Bangsa Arab masih sibuk dengan kesukuannya sebelum muncul Islam dan tidak ada tanda-tanda kemajuan di dalamnya. Sehingga sampai pada titik datang seseorang di antara mereka yang diberi keistimewaan berupa wahyu. Bagi Bennabi, wahyu yang berupa Al-Qur’an itu merupakan cikal bakal dan spirit dari kejayaan peradaban Islam dan Arab. Nilai-nilai dari Al-Qur’an mampu memantik spirit individu hingga organisme untuk membentuk struktur dan prinsip gerakan dalam Islam. Salah satunya, Al-Qur’an secara lugas melantik manusia menjadi khalifah di bumi, kemudian dijelaskan oleh Bennabi bahwa tugas kekhilafahan manusia di muka bumi ialah berpihak kepada kebaikan dan kebenaran, serta menegasikan keburukan dan kerusakan.
Lain halnya dengan Muhammad Iqbal dalam magnum opusnya, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, yang mengatakan bahwa sumber semangat pergerakan Islam adalah pengalaman manunggal Nabi Muhammad SAW. Kembalinya Nabi SAW dari langit tertinggi pada peristiwa Mi’raj untuk membenamkan diri ke dalam kancah zaman dengan maksud mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah. Dengan itu pula, Nabi Muhammad SAW menciptakan suasana dunia ideal baru.
Bagi kalangan sufi, pengalaman manunggal yang dialami oleh Nabi SAW merupakan ketentraman yang paripurna. Namun bagi Nabi SAW, ketentraman ini dijadikan sebagai kebangkitan kekuatan psikologis, yang kemudian berupaya untuk metransformasikannya ke dalam dunia manusia secara sempurna. Pengalaman religiusnya yang menjelma menjadi kekuatan dunia adalah suatu hal yang utama bagi Nabi. Atas dasar semangat spiritual itu Islam mulai masuk ke gelanggang peradaban.
Dengan demikian, sejatinya Islam tidak terlalu berorientasi kuantitas materialis, ataupun menjadikan dirinya sebagai superior bagi kalangan lain. Prinsip Islam hanya mengajak dan tidak memaksa kehendak yang lain. Hal ini dikarenakan Islam mengakui nilai masing-masing individu sebagaimana adanya, dan tidak memandang ras atau suku hingga menegasikan hubungan darah sebagai dasar kesatuan. Persepsi demikian bersifat kreatif dan memungkinkan manusia untuk mengemansipasi diri dari dunia ini. Implementasi doktrin Al-Qur’an ini menghasilkan pergerakan yang dinamis dan seimbang, sehingga perkembangan Islam menjadi keniscayaan.
Penulis : Nizar Nurfadillah
Editor : Raja Amar Jayakarta