Oleh: M. Jihan Muqoddas
Bahkan sejak kanak-kanak pun
kita kena dusta!
Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku
tanah tumpah darahku! Tanah di mana darahku
tumpah oleh sangkur senjata tentara
oleh pistol polisi!
Bagaimana mungkin tanah di mana darahku
ditumpahkan oleh kekuasaan
masih harus kusebut tanah airku!
—Saut Situmorang
Saya, Anda, dan mungkin pacar Anda barangkali akan mengangguk-angguk setelah mendengar potongan puisi “Negeri Terluka” gubahan Saut Situmorang, penyair nyentrik itu. Lewat berita-berita yang berseliweran di beberapa stasiun televisi atau beberapa saluran media Indonesia, kita dapat menyaksikan dengan jelas betapa setiap baris puisi Saut benar-benar menjadi refleksi kritis atas berbagai fakta pahit yang pernah, sedang dan sepertinya akan terus terjadi di “Negeri Kita Tercinta”. Masih segar di ingatan kita tentu pemberitaan mengenai kasus kematian Afif Maulana beberapa waktu lalu yang diduga kuat meninggal setelah dianiaya oleh oknum kepolisian di Padang. Atau, sedikit mundur ke belakang, kasus empat aktivis lingkungan di Karimunjawa yang dikriminalisasi oleh kepolisian setempat dengan UU ITE setelah menyuarakan kegelisahannya soal aktivitas tambak udang ilegal.
Jelas bukan waktu yang singkat bagi Indonesia untuk melewati 79 tahun usia kemerdekaan, sejak dibacakannya naskah teks proklamasi oleh Presiden ke-1 RI Bung Karno—didampingi Bung Hatta—di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta kala itu. Menjadi ironi ketika arti kesucian dari spirit kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para leluhur kita, dikangkangi lalu dikencingi begitu saja oleh beberapa oknum pemangku kepentingan tidak bertanggung jawab yang mencari penghidupan di Ibu Pertiwi dengan tidak mengizinkan yang lain “hidup”. Sesama anak bangsa, setiap individu tentu memiliki hak yang sama untuk menghirup napas secara bebas tanpa harus diliputi oleh kecemasan bukan?
Kemerdekaan sejatinya mengandung makna yang lebih kompleks dari sekadar kedautan berbangsa dan bernegara. Saya justru berpandangan bahwa kedaulatan berbangsa dan bernegara hanya merupakan langkah awal untuk menuju kemerdekaan yang lebih rumit dan subtantif, sebuah kemerdekaan yang rasa-rasanya hampir hilang dari kita selama ini. Apa yang disampaikan Saut melalui simbol-simbol metaforis seperti pada ungkapan “sangkur senjata tentara” dan “pistol polisi” sejatinya mengekspresikan makna mendalam tentang kemerdekaan individu yang terjajah dan dijarah oleh para “penyamun” yang berlagak tengil di jagat negeri kita.
Barangkali ada benarnya apa yang dikatakan oleh Soekarno bahwa perjuangan para pendahulu lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan oknum bangsa kita sendiri. Dalam konteks era digital saat ini, saya melihat secara lebih prinsip bahwa tantangan terhadap kemerdekaan justru tidak datang dari pihak luar, melainkan muncul dari pihak dalam yang saat ini “duduk-duduk” di kursi-kursi pemerintahan. Dengan memakai topeng yang seolah mencitrakan sebuah pengabdian terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, para cecunguk itu celingak-celinguk sembari terus bersiasat untuk mengamankan posisi penting mereka di sektor-sektor yang berkaitan. Ketimbang menghayati peran sebagai pengabdi negara, mereka justru lebih menjalani peran lain sebagai penjarah kemerdekaan, persisnya kemerdekaan individu dengan pelbagai bentuknya.
Berbicara tentang kemerdekaan individu, tidak sedikit pemangku kepentingan di tanah air kita yang memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk mengeruk kebebasan seorang diri dan menggulung kebebasan orang lain. Dengan kata lain, untung dikeruk untuk kepuasan sendiri, sedangkan rugi digulung untuk kesengsaraan orang lain. Tentu, hal ini mencederai keutuhan makna dari kemerdekaan individu itu sendiri. Dalam bersosialisasi dengan orang lain, selaku individu yang menjadi bagian dari jaringan komunal yang lebih luas, bukankah kita senantiasa tertuntut untuk dapat meletakkan prinsip kemerdekaan individu yang berpihak terhadap semua orang alih-alih hanya terkhusus kepada salah seorang?
Indonesia memang sudah merdeka sejak puluhan tahun yang lalu, tetapi substansi dari kemerdekaan itu rasa-rasanya belum benar-benar terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Saya menyadari betul bahwa kemerdekaan di Indonesia seperti hanya menjadi “payung perayaan” bagi sekelompok elite yang jumlahnya tidak seberapa itu, alih-alih memayungi seluruh elemen anak bangsa yang sampai saat ini terus berupaya mencari puing-puing keadilan di bawah kibaran Sang Merah Putih—yang konon akan senantiasa melambangkan keberpihakan kepada kebenaran itu. Di bawah payung perayaan itu, sekelompok elite tersebut menghardik, mengancam, dan menindas orang-orang yang lemah, baik lemah secara pengetahuan, lemah secara kekuasaan, maupun lemah secara keuangan.
Beberapa kali membaca tulisan-tulisan di kolom Opini koran harian Kompas, sudah cukup membuat saya mengelus dada. Republik kita tercinta masih saja tak henti-hentinya memproduksi para aktor yang cita-citanya hanya bermuara soal “kepuasan” dan “kekuasaan”. Angga Indraswara, seorang Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik di London School of Economics (LSE), memuat sebuah tulisan berjudul “Republik Pemburu Bancakan” pada Sabtu, 20 Juli 2024. Saya kira judul itu cukup mewakili kerasahan publik selama ini tentang “kapal besar” Indonesia beserta nahkoda dan awak kapalnya, yang tidak lagi berjalan sejurus dengan cita-cita para pendiri bangsa yang berkorban sebagai martir kemerdekaan.
Persisnya Indonesia tengah dilanda oleh setumpuk “Fenomena Gunung Es” yang membelokkan prinsip demokrasi yang selama ini dipilih sebagai arah berbangsa dan bernegara. Kita dipersaksikan betapa rumitnya proses demokratisasi Indonesia, terlebih dengan belum terpenuhinya hak-hak yang menjamin kemerdekaan individu yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak bangsa seperti kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi. Itu belum ditambah dengan kalutnya praktik para elite negeri kita yang hanya mementingkan kepentingan-kepentingan yang bukan bagian dari kemaslahatan umum. Contohnya adalah praktik “bancaan kolosal” atau “bagi-bagi kue” kekuasaan yang lazim ditemukan dalam gelanggang perpolitikan Indonesia.
Para elite itu seolah lupa bahwa Negeri Republik Indonesia ini, seperti pernah dikatakan Soekarno, adalah bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan juga milik suatu adat-istiadat, apalagi hanya milik sekelompok elite. Akan tetapi, Indonesia yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke ini merupakan milik semua anak bangsa, sehingga setiap keputusan-keputusan besar yang diambil harus dimusyawarahkan sesuai kemaslahatan bersama. Cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejatinya hanya akan terwujud setelah menunaikan dasar pemikiran sebelumnya tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Menuju Dirgahayu Republik Indonesia ke-79 ini, tentu kita sama-sama berharap bahwa selain menjadi bangsa yang merdeka secara konstitusional, Indonesia juga menjadi bangsa yang merdeka secara mental. Maka, setiap mental bermuatan rakus yang menjatuhkan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, adil, makmur, dan beradab, sudah semestinya dinegasikan. Dengan demikian, segenap elemen bangsa dapat benar-benar merasakan bahwa kita pernah begitu merdeka. Salam merdeka!
Esai ini merupakan pemenang juara 2 dalam acara “Lomba Menulis Esai PCINU Mesir 2024” yang diselenggarakan oleh LTN-NU Mesir.