Tepat tengah hari, seminar yang bertemakan “Membudayakan Kesadaran Ekologis dan Perilaku Ramah Lingkungan di Masisir” dan peluncuran buku hasil penelitian Lembaga Research Center PCINU Mesir dimulai.
Pembangunan berkelanjutan atau SDGs, bukan isu yang baru. Sejak 2015, kurang lebih 193 pemimpin dunia merapatkan barisan untuk mengesahkan tujuan SDGs yang berisi 17 poin penting. Namun, tema ini mendapati momentumnya ketika Fakultas Ushuluddin mengadakan muktamar ketiga: al-Tanmiyah al-Mustadamah (SDGs) dalam perspektif Islam (Maret, 2022).
SDGs memiliki empat pilar titik fokus, yaitu pembangunan moral, ekonomi, hukum dan lingkungan. Pilar yang terakhir ini, menjadi tema yang hangat untuk dibicarakan. Ini pula yang coba diketengahkan oleh para narasumber untuk menjadi pengantar dalam seminar di Aula KAHHA PCINU Mesir (11/02/23). Setidaknya, ada dua agenda penting yang menginisiasi, yaitu KTT perubahan iklim (COP27) di Syarm Syeikh dan peringatan 1 abad Nahdlatul Ulama (sebagai salah satu rekomendasi muktamar 34 di Lampung dan salah satu poin NU Women).
Katakanlah secara umum, terma lingkungan dan perubahan iklim bukanlah isu baru dalam kacamata Islam. Alquran dan hadis dengan lantang menyerukan konservasi dan mengecam laku perusakan terhadap lingkungan karena masalah buruk yang ditimbulkan. Pertanyaannya, tindakan apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Bagaimana Mesir dan dunia Arab menanggapi isu perubahan iklim? Serta bagaimana pengaruh kesadaran ekologi terhadap perilaku ramah lingkungan Masisir?
Kita tahu bahwa kondisi bumi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Intensitas bencana alam semakin tinggi. Kebakaran hutan di Australia dan Indonesia, gelombang panas di Amerika dan Eropa adalah salah satu contohnya. Atau yang paling mutakhir, Turki dan Suriah dilanda gempa bumi. Gempa bumi terbesar dalam sejarah Turki, yang korbannya mencapai 20.000 orang tewas dan puluhan ribu luka-luka. Apabila gempa bumi ini akibat perubahan iklim, berarti perubahan iklim merupakan isu yang sangat serius, ia perlu ditangani dengan cara-cara yang benar.
Ada hal-hal yang bisa dilakukan untuk menangani hal ini—dalam bahasa Pak Dubes RI Kairo disebut smart environment for decent life, salah satunya yaitu mengakhiri kendaraan berpolusi dan menanam lebih banyak pohon untuk menyerap emisi karbon. Upaya ini jika diterjemah dalam konteks Indonesia berupa pengurangan kebakaran hutan yang mencapai 82%. Lalu, bagaimana dengan konteks Mesir dan dunia Arab?
Mesir menjadi tuan rumah COP27 di Syarm Syeikh. Rencananya, COP28 akan digelar di Dubai—yang keduanya berada di wilayah Timur Tengah. Artinya, dunia Arab punya perhatian besar terhadap perubahan iklim. Sekaligus menandakan bahwa dunia Arab ingin menjadi bagian dari perkembangan teknologi generasi keempat dan kelima (energi baru terbarukan/EBT).
Mesir menjadi pusat gas alam di Timut Tengah atau di Mediterania bagian timur. Gas alam dikenal sebagai energi ramah lingkungan. Gas alam yang menjadi basis masa depan EBT ini, ditemukan di ladang el-Zuhur. Yang dari penemuan ini, peta ekonomi Mesir mengalami perubahan. Dari yang awalnya mengimpor gas alam, saat ini Mesir mengekspor gas tersebut ke berbagai negara. Mesir punya potensi dan komitmen besar terhadap isu perubahan iklim. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah bagaimana dengan Masisir?
Setelah tim LRC melakukan riset ekologi Masisir pada November lalu, kesadaran ekologi Masisir terhitung cukup tinggi, yaitu mencapai 95,7%, namun kesadaran ini tidak berbanding lurus dengan laku keseharian mereka. Perilaku ramah lingkungan Masisir hanya berada di angka 10,8%. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kesadaran saja tidak memengaruhi kepedulian kita terhadap lingkungan. Sebagaimana kita tahu dan hafal betul “al-Nadzafah Min al-Iman”, namun buram dan tidak tahu bagaimana aplikasinya.
Tentunya, banyak nilai dan faktor lain (di luar kesadaran tadi) yang turut memengaruhi laku dan kepedulian manusia. Barangkali jika nilai dan faktor ini ditanamkan sejak dini, hasilnya akan terlihat signifikan. Sejak kita berada di jenjang sekolah menengah atau di pondok: semisal takziran yang berupa potong rambut bagi santri putra dan nderes Alquran di depan Ndalem bagi santri putri, bisa diganti dengan menanam pohon di halaman pondok.
Seminar yang dihadiri 68 peserta, berakhir menjelang waktu Maghrib, namun diskusi mengenai tema ini tidak pernah berakhir.
Pewarta: Sawdah