Ketika mengepung benteng Konstantinopel, Sultan al-Fatih mengutus Ahmad Pasya, putra Waliyuddin untuk menemui gurunya, seorang wali saleh, Syekh Muhammad bin Hamzah yang masyhur dengan julukan Aq Syamsuddin dan mengajaknya ke tempat pengepungan. Ketika sampai di tempat, Syekh Aq Syamsuddin berkata, “Kaum muslimin akan berhasil memasuki benteng ini dari tempat ‘anu’, pada hari ‘anu’ pada waktu pagi.”
Ahmad Pasya mengisahkan,
“Ketika tiba waktu yang disebutkan oleh Syekh Aq Syamsuddin, tentara kaum muslimin belum juga berhasil menembus benteng tersebut. Kami sangat khawatir dengan keadaan itu. Saya pun segera pergi menemui Syekh di dalam tendanya. Ketika sampai di depan tenda, salah satu pelayannya melarang saya untuk masuk ke dalam tenda sesuai dengan pesan Syekh.
Lalu saya mengangkat tali kain tenda dan melihat Syekh sedang bersujud di atas lantai tanpa penutup kepala. Ia larut dalam doanya sembari menangis. Tidak lama setelah itu, ia pun bangkit dan mengucapkan takbir lalu berkata, “Alhamdulillah! Allah telah memberikan kemenangan kepada kita dan membukakan pintu benteng.”
Mendengar itu saya langsung melihat ke arah benteng yang dimaksud oleh Syekh. Benar adanya. Saat itu juga saya melihat pasukan kaum muslimin berhasil masuk ke dalam benteng, kemudian Allah pun memberikan kemenangan kepada kami berkat doa sang Syekh. Ketika Sultan al-Fatih berada di dalam benteng, saya katakan kepadanya, “Kemenangan ini persis seperti yang diberitahukan oleh Syekh.” Mendengar hal itu, Sultan al-Fatih berkata, “Demi Allah, kebahagiaanku karena kemenangan ini tidak melebihi kebahagiaanku karena adanya Syekh Aq Syamsuddin pada zaman saya ini.”
Pada hari berikutnya, Sultan al-Fatih mendatangi Syekh di dalam tendanya yang ketika itu sedang dalam posisi tiduran. Lalu Sultan Muhammad al-Fatih masuk dan mencium tangannya dan berkata, “Saya datang untuk suatu keperluan.”
Syekh menjawab, “Apa keperluanmu?”
“Saya ingin ikut berkhalwat bersamamu untuk beberapa hari”, kata Sultan al-Fatih.
“Tidak boleh. Kamu tidak boleh ikut berkhalwat”, tukas Syekh.
Sultan terus mendesak agar diperbolehkan ikut berkhalwat, namun Syaikh tetap menolak permintaan Sultan.
Dengan nada emosi sultan pun berkata, “Orang biasa datang kepada Anda untuk ikut berkhalwat langsung Anda izinkan, kenapa Anda tidak mengizinkan saya!”
Dengan tenang Syekh menjelaskan alasannya. “Jika engkau ikut berkhalwat, engkau akan mendapati kenikmatan yang tiada tara. Jabatan dan kekuasaan pun akan jatuh dari pandanganmu. Semua itu menjadi tidak ada artinya lagi bagimu. Jika engkau meninggalkan jabatanmu, tentu akan akan terjadi kekacauan, dan keseimbangan pun hilang. Ini tentu akan membuat Allah murka kepada kita semua. Sedangkan tujuan dari khalwat adalah tercapainya keadilan. Maka yang harus kau lakukan adalah hal-hal ini.” Syekh menyampaikan sejumlah pesan dan nasihat kepada sang Sultan.
Sultan Fatih mendengarkan nasihat dan pesan Syekh dengan penuh kepatuhan, Ia pun menerima keputusan Syekh yang melarangnya untuk ikut berkhalwat.
Sultan lalu memberikan dua ribu dinar emas kepada Syekh, namun ia tidak berkenan untuk menerimanya.
Kemudian Sultan al-Fatih bangkit dan mohon pamit. Dari sejak kedatangan hingga berpamitan, Sultan melihat Syekh selalu dalam posisi yang sama, yaitu tiduran.
Setelah keluar dari tenda, Sultan berkata kepada Ahmad Pasya yang menemaninya, “Syekh tadi tidak berdiri sama sekali ketika aku datang maupun ketika aku pergi.”
Sultan tampak kurang nyaman dengan sikap Syekh Aq Syamsuddin.
Ahmad Pasya menjelaskan, “Syekh melihat ada ghurur (rasa bangga) pada diri Anda karena keberhasilan yang Anda raih. Sebuah prestasi gemilang yang tidak pernah berhasil dicapai oleh para sultan besar sebelum Anda. Syekh adalah seorang murabi. Dengan sikapnya tersebut beliau ingin menghilangkan ghurur dari Anda.”
Pada beberapa hari berikutnya, Sultan al-Fatih juga meminta kepada Syekh Aq Syamsuddin untuk menunjukkan makam Sayiduna Abu Ayyub al-Anshari RA. Di dalam literatur-literatur sejarah disebutkan bahwa makam beliau ada di dekat benteng Konstantinopel, namun ketika itu lokasinya tidak diketahui. Kemudian Syekh Aq Syamsuddin memberitahu bahwa ia selalu melihat pancaran sinar di tempat tertentu, kemungkinan besar itu adalah makam Abu Ayyub al-Anshari RA. Dikarenakan Sultan ingin membuktikan kebenaran apa yang dikatakan Syekh, dan atas izin beliau, tempat itu kemudian digali dan ditemukan sebuah marmer yang padanya tertera sebuah tulisan yang menunjukkan bahwa itu adalah makam Abu Ayyub al-Anshari RA.
Kisah ini disebutkan oleh Syekh Thas Zadah Kubra (w. 968 H/1561 M) dalam karyanya al-Syaqâiq al-Nu’mâniyyah fî ‘Ulamâ al-Daulah al-Utsmâniyyah, yang berisi biografi para ulama Dinasti Utsmaniyyah. Disebutkan juga oleh Imam al-Syaukani (w. 1255 H/1839 M) di dalam karyanya al-Badr al-Thâli’ fî Mahâsin man ba’da al-Qarn al-Sâbi’. Sebuah kitab yang berisi biografi para tokoh setelah abad ketujuh Hijriah hingga masa beliau.
Keduanya menyebutkan kisah tersebut dalam biografi Syekh Muhammad bin Hamzah yang masyhur dengan julukan Aq Syamsuddin (w. 1459 M). Beliau meninggalkan sejumlah karya dalam tasawuf dan ilmu kedokteran.
*Tulisan ini merupakan status di akun facebook Dr. KH. Ahmad Ikhwani (Wakil Rais Syuriyah PCINU Mesir), dialih-mediakan seizin beliau.