Aturan-aturan tentang perempuan bukan produk perkembangan zaman atau adat istiadat yang terus berubah. Aturan tersebut telah ada sejak kemunculan Islam sendiri. Oleh karena hal tersebut, kita tidak pernah mendengar suara-suara yang mengkritik aturan-aturan Islam terkait perempuan dengan mengatasnamakan menolong mereka, kecuali di zaman sekarang ini. Dalam sejarahnya, Islam tidak mengenal istilah “hukum atau aturan perempuan” secara khusus, sebab sedari awal ia membawa nilai humanisme yang tidak mengotak-ngotakkan antara perempuan dan laki-laki. Agama Islam hadir untuk mengangkat derajat perempuan setara dengan laki-laki, mengingat saat itu kaum Jahiliah berlaku lalim terhadap kaum wanita, mengubur setiap bayi wanita misalkan.
Untuk memahami nilai humanisme yang digaungkan Islam, kita juga mesti mengerti realita yang terjadi di antara bangsa Arab Jahiliah pada empat belas abad yang lalu. Jika saat ini Islam dengan hukum yang memperbolehkan laki-laki menikahi empat perempuan dianggap mendiskreditkan perempuan, maka kita akan menemukan hal lain jika benar-benar memahami situasi saat itu. Bahwa dengan kebolehan laki-laki menikahi empat perempuan, Islam justru menyelamatkan perempuan dengan memberi batasan, setelah sebelumnya kaum Jahiliyah malah seenaknya menikahi berapa pun perempuan yang diinginkan.
Lalu, mengapa isu-isu diskriminasi Islam terhadap perempuan baru muncul akhir-akhir ini? Ya, bukan karena cendekiawan zaman dulu tidak perhatian dengan persoalan perempuan atau sebab mereka tidak memiliki pemahaman mendalam terkait masalah-masalah perempuan dalam syariat Islam. Akan tetapi, saat itu orang Barat masih sibuk dengan urusan mereka sendiri, yaitu sibuk memperbaiki diri atas ketertinggalan mereka dari orang Timur. Hingga ketika mereka merasa telah bangkit dari keterbelakangan, Islam dinilai sebagai salah satu halangan yang bisa menghambat keberhasilan mereka untuk menguasai dunia. Oleh karenanya, mereka sangat ingin melemahkan pengaruh Islam di muka bumi ini.
Setelah menimbang beberapa aspek, orang Barat menemukan bahwa jalur pendidikan merupakan senjata utama untuk bisa mewujudkan hal di atas. Mereka mendapati bahwa perempuan memiliki andil besar dalam keberhasilan sebuah pendidikan. Sehingga mereka memutuskan untuk menyerang Islam dengan memanfaatkan fakta tersebut. Bagaimana caranya?
Mereka mencoba menghasut para muslimah dengan berusaha menanamkan pada pikiran mereka bahwa Islam telah berlaku tidak adil terhadap perempuan. Islam juga tidak memanusiakan perempuan dengan mengingkari hak-hak perempuan yang seharusnya melekat pada setiap manusia. Mereka juga mencekoki para muslimah tentang aturan serta batasan perempuan di Barat yang dianggap lebih memanusiakan perempuan. Hukum Barat digambarkan sebagai satu-satunya aturan yang sangat memperhatikan hak-hak, menyetarakan perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Dari situlah kemudian banyak Muslimah yang termakan oleh seruan mereka lantas gencar menyebarkan paham-paham tersebut ke sesama, bahkan kepada anak-anak mereka yang kelak akan menjadi penerus. Dengan begitu, kekuatan Islam akan melemah di tangan generasinya sendiri.
Hal yang sangat disayangkan adalah, tidak semua umat Islam bijak menyikapi hal tersebut. Di antaranya ada dua tipologi sikap kurang bijak muslim yang cukup membuat kita prihatin. Pertama, kelompok Islam KTP yang hanya menampakkan Islam secara zahir, namun ia justru loyal kepada paham-paham Barat. Kedua, kelompok orang-orang yang paham benar mengenai Islam, percaya dengan setiap aturan-aturan syariat. Namun sayang, karena terlalu bersemangat dan menggebu-gebu dengan tanpa bekal yang cukup, gebrakan-gebrakan mereka tidak tepat sasaran dan justru merugikan Islam. Apa yang mereka sampaikan sama sekali tidak dapat menangkis paham-paham Barat tersebut. Dua tipologi muslim seperti inilah yang sangat miris dan patut untuk kita hindari.
Tragedi lain yang cukup disayangkan juga adalah, bagaimana kita seolah mengamini bahwa perempuan-perempuan Barat sangat perhatian dengan kita. Mereka menangis sebab prihatin dengan kondisi kita yang dianggap telah dilalimi Islam. Kita percaya bahwa perempuan Barat di sana menjalani kehidupan yang bahagia dengan segala macam hak yang terpenuhi. Hidup bebas dapat melakukan apapun yang diinginkan. Namun, ketahuilah! Sesungguhnya mereka yang pura-pura menangisi kondisi perempuan muslimah, justru sedang tenggelam dalam lautan kesengsaraan, kehinaan dan kemiskinan.
Hal miris lainnya adalah, bagaimana saat ini kita lihat banyak Muslim di antara kita yang menyuarakan pembelaannya terhadap Islam terkait tuduhan diskriminasi terhadap perempuan, namun mereka masih di bawah bayang-bayang kekaguman terhadap Barat, baik secara ideologi berpikir, adat-budaya, atau pun hukum-hukum yang berlaku di sana. Mereka tidak bisa melepaskan pemikiran-pemikiran mereka dari keterpengaruhan Barat.
Kita sudah melihat banyak sekali cendekiawan yang secara khusus membahas persoalan di atas. Sayangnya, hasil kajian mereka tidak begitu membekas dalam pikiran kita. Selain sebab terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Barat, juga karena pembahasan yang diulas tidak menyentuh hal-hal yang esensial. Ruh kemanusiaan tak mendapat sentuhan analisis yang semestinya.
Oleh karenanya, dalam kitab ini Syekh Ramadhan al-Buthi mengupas habis persoalan perempuan; antara hukum di Barat dan Islam, dengan tidak terpengaruh oleh keelokan peradaban Barat seperti penulis-penulis lain. Syekh Ramadhan al-Buthi menganalisis hukum berserta kondisi perempuan di Barat. Beliau menghadirkan wacana-wacana segar untuk menyikapi hal tersebut. Pembahasan akan berkutat pada kedudukan perempuan menurut Islam yang mana tema ini banyak sekali menuai serangan dari Barat, seperti tuduhan bahwa Islam menelantarkan perempuan dan tak mengindahkan hak-hak perempuan sebagai seorang manusia.
Sebagaimana penuturan di atas, kita seharusnya memahami hukum-hukum Islam secara kontekstual, yaitu memahami kondisi dan situasi saat wahyu diturunkan. Syekh Ramadhan al-Buthi di dalam kitab ini juga akan mengulas tradisi berikut batasan-batasan kaum Jahiliah terhadap perempuan. Beliau juga mengkaji bagaimana kehadiran Islam saat itu membawa nilai-nilai kemanusian yang merupakan angin segar bagi perempuan-perempuan Arab. Maka dari itu, harus diakui dan diyakini, bahwa Islam bukan datang membawa sekelumit masalah (seperti yang dituduhkan saat ini). Ia justru datang menghadirkan solusi; dulu, sekarang, dan sampai akhir zaman.
*Resume Ngaji Fatayat kitab “al-Mar’ah bayn Thughyân al-Nidhâm al-Garbiy wa Lathâif al-Tasyrî’ al-Rabbaniy” pertemuan pertama, Rabu, 4 Agustus 2021 di Sekretariat PCINU Mesir, Darrasah. Ditulis oleh Tanzila Feby NA.