Dari peristiwa isra mikraj, yang paling berkesan bagi saya adalah saat Rasulullah naik ke Sidratulmuntaha untuk menerima perintah salat. Kewajiban salat sebanyak lima puluh kali sehari oleh Rasulullah diterima dengan penuh ketaatan.
Rasulullah pun turun dengan membawa amanah paling penting dalam agama. Tanpa ada sedikit keraguan di hati. Ketika sampai di langit keenam, Nabi Musa bertanya dengan penuh penasaran: “Apa perintah-Nya? (hingga dipanggil langsung menghadap-Nya). “Salat lima puluh waktu sehari,” jawab Rasulullah. Sontak Nabi Musa kaget dan berkata: “Umatmu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Nabi Musa menyarankan untuk kembali meminta keringanan.
Atas saran Nabi Musa, Rasulullah naik lagi ke Sidratulmuntaha untuk meminta keringanan. Beliau hawatir umatnya tidak mampu melaksanakan kewajiban yang begitu banyak. Sebenarnya Rasulullah merasa malu untuk meminta keringanan, tapi beliau korbankan egonya demi umatnya. Rasulullah tidak ingin melihat umatnya lari dari agama hanya karena ritual keagamaan yang terlalu mengikat.
Beberapa kali Rasulullah naik-turun hingga akhirnya perintah salat menjadi lima waktu sehari. Nabi Musa tetap membujuk Rasulullah agar minta dikurangi lagi. Nabi Musa tetap tidak yakin umat Nabi Muhammad mampu melaksanakan salat lima waktu. Rasulullah pun menjawab: “Saya sudah banyak memohon takhfif (keringanan) kepada-Nya hingga saya malu. Akan tetapi kali ini saya rela dan menerima sepenuhnya.” Berkat kebesaran hati dan kecintaan terhadap umatnya, Allah SWT mengapresiasi dengan tetap meberikan pahala lima puluh salat untuk umat Nabi Muhammad SAW.
Begitulah Nabi kita. Beliau selalu berusaha memberikan kemudahan untuk umatnya. Bahkan dalam kesempatan lain Rasulullah berpesan, “Sesungguhnya agama ini sangat mudah,“ juga pesan yang sama, “Permudahlah! Dan janganlah mempersulit!” Seharusnya mereka yang mengaku pewaris nabi (ulama) juga bisa mencerminkan kearifan dan kebijaksanaan yang sama seperti Nabinya.
Kontributor: Qoimuddin Said, Aktivis dan Koordinator LBM PCINU Mesir 2014-2016