Mengatur keluarga berarti mengatur pondasi peradaban. Keluarga merupakan satuan terkecil sebuah masyarakat. Jika keluarga bisa membentuk insan berilmu dan berintegritas, maka masyarakat akan kuat dan harmonis. Oleh karena mengatur keluarga sama maknanya dengan mengatur tiap-tiap individu dalam perannya sebagai mukalaf, maka persoalan keluarga menjadi tak pernah luput dari perhatian maqashid syariah.
Ada tiga dasar dalam pengaturan sistem keluarga yang sangat penting. Ketiganya ialah hubungan pernikahan, kekerabatan dan kekerabatan sebab pernikahan (shihr). Syariat Islam juga mengatur cara untuk memutus hubungan tersebut.
Hubungan pernikahan
Tujuan sebenarnya dari pernikahan adalah menciptakan hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan sehingga dari hubungan tersebut dapat dipastikan nasab dari si anak. Hubungan semacam ini benar-benar efektif untuk menjaga keduanya dari perzinaan.
Ketentuan-ketentuan di dalam akad nikah tidak seperti akad dalam muamalah lainnya. Ketentuan tersebut mencakup pembedaan nikah dari zina, pertama; dan kedua, pembedaan nikah dari akad sewa.
Pada ketentuan pertama, syariat memberikan tiga aturan. Pertama, adanya wali. Keberadaan wali diperlukan agar ia dapat ikut serta menjaga perempuan. Kedua, mahar. Mahar di dalam syariat adalah sebagai syiar pernikahan, bukan sebagai ganti atas istri. Ketiga, publikasi sehingga masyarakat dapat ikut serta mengawasi pernikahan.
Sementara pada ketentuan kedua, syariat melarang adanya tenggat waktu dalam pernikahan. Memberikan tenggat waktu akan membuat nikah seperti akad sewa. Belum lagi, dengan memberi tenggat, pernikahan akan keluar dari tujuan aslinya. Masing-masing pasangan hanya akan menunggu tiba masa tenggatnya habis, berpikir untuk menentukan pengganti baru saat tenggatnya habis; bukannya berpikir untuk melanggengkan pernikahan bersama pasangan, menjalin cinta yang ikhlas dan saling menjaga satu sama lain.
Hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan bermula dari ikatan ayah dan anak. Sementara ikatan tersebut bermula dari hubungan pernikahan yang sah menurut syariat.
Syariat melihat ikatan kekerabatan sebagai ikatan yang menimbulkan rasa hormat dan wibawa di antara anggota kerabat. Oleh karenanya, demi menjaga rasa hormat tersebut syariat mengharamkan pernikahan antarsesama kerabat dekat.
Hubungan kekerabatan sebab pernikahan (shihr)
Pernikahan, selain memberikan hubungan antara kedua mempelai juga memberikan hubungan khusus antarkedua anggota kerabat mempelai seperti mertua, saudara ipar dan anak tiri. Setiap dari masing-masing anggota keluarga menjadi kerabat dari si mempelai yang harus dihormati dan haram untuk dinikahi.
Cara memutus hubungan
Selain menjelaskan bagaimana proses pengikatan hubungan dari ketiga jenis hubungan di atas, maqashid syariah juga mengatur pemutusannya. Sebagaimana maklum, pemutusan hubungan merupakan hal negatif, sehingga tata cara yang santun dan sesuai nilai-nilai kemanusiaan menjadi niscaya.
Pertama, memutus hubungan pernikahan. Syariat mengaturnya dalam bentuk hukum talak dari suami, talak dari hakim dan fasakh. Ketentuan pemutusan semacam ini mesti dipertimbangkan dalam upaya mencari jalan dengan mudarat yang paling rendah. Talak masih lebih baik dari pada sebuah hubungan toksik.
Kedua, memutus hubungan kekerabatan. Cara untuk memutus kekerabatan adalah dengan memutus sumbernya, yaitu hubungan ayah dan anak. Syariat memberikan dua cara untuk melakukannya. Pertama, li’an atau sangkalan nasab anak kepada si ayah dengan menuduh zina pada ibunya. Rasulullah SAW tidak memperbolehkan li’an hanya berdasar ketidakmiripan seseorang dengan ayahnya. Kedua, pembuktian nasab anak pada orang lain. Hal ini seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika beliau mengharuskan penisbatan anak adopsi (tabanni) kepada ayah yang sebenarnya (kandung).
Ketiga, memutus hubungan kekerabatan sebab pernikahan dengan memutus sebab dari hubungan tersebut: hubungan pernikahan atau kekerabatan.
Maqashid harta
Syariat Islam mendorong umatnya untuk mengumpulkan kekayaan dan menjadikan harta sebagai salah satu maqashidnya. Kiranya, kita telah mengetahui bahwa dalil yang menunjukkan hal tersebut cukup banyak. Kendati demikian, syariat tidak memberikan perintah secara lugas untuk mengumpulkan harta karena selain kebaikannya, harta juga bisa menimbulkan musibah. Alih-alih memanfaatkan harta untuk bersyukur, banyak dari mereka yang justru memanfaatkan harta hanya untuk kepentingan egonya.
Selain dalam ranah privat, harta merupakan faktor penting berlangsungnya kehidupan dalam tataran komunitas yang lebih luas, negara misalnya. Kekayaan bangsa atau aset bangsa merupakan salah satu aspek yang diperlukan agar sebuah bangsa dapat maksimal bersiap untuk bersaing dengan bangsa lain. Terdapat lima sifat yang memungkinkan sebuah harta dapat dijadikan aset bangsa. Pertama, ia dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Kedua, dapat dimanfaat oleh banyak orang. Ketiga, dapat diperdagangkan. Keempat, memiliki jumlah yang terbatas; dan kelima, perlu usaha untuk mendapatkannya.
*Resume kajian kitab Maqâshid al-Syarî’ah karangan Ibnu Asyur oleh M. Ali Arinal Haq sebagai pemateri. Disampaikan pada Selasa (24/08) bertempat di Gamalia.