KAIRO, numesir.net—Salah satu wacana yang tengah digalakkan pemerintah Mesir saat ini adalah pemberdayaan peran perempuan. Gayung bersambut, PC GP Ansor Mesir bersama PCI Fatayat NU Mesir meluncurkan buku ‘Muslimah yang Kami Ketahui’ di Aula KAHHA PCINU Mesir Darrasah pada Kamis, 21 Juli 2022. Acara ini sendiri dikemas menjadi bincang santai dari beberapa penulis juga Cak Sewu, pegiat kajian yang diundang menjadi pembicara utama.
Ketua PCI Fatayat NU Mesir, Dzurriyah Ahsantiyah dalam sambutannya menjelaskan bahwa buku ini merupakan bentuk inisiatif Ansor dan Fatayat dalam menanggapi isu perbincangan gender yang mulai dikaitkan dengan agama. Sebagai pemungkas sambutannya, dirinya mengingatkan kader Ansor dan Fatayat di Mesir agar tidak berpuas diri dan selalu berupaya untuk terus berkarya.
Sawdah A. Fauzi sebagai panelis pertama memulai pembahasan dengan menyoroti latarbelakang penulisan buku. ‘Muslimah yang Kami Ketahui’ boleh saja menjadi representasi Masisir terhadap isu gender yang tengah marak. Namun menariknya, awal mula penulisan buku ini justru datang dengan alasan yang amat sederhana; kaburnya pemahaman tentang perempuan muslimah itu sendiri. Secara fokus, Sawdah masuk kepada pembahasan budaya patriakis yang kian mengakar di masyarakat kita dan usaha pelanggengannya. Salah satu usaha tersebut, adanya penafsiran ayat al-Quran dan hadis yang masih cenderung pada nilai-nilai patriakis. Akibatnya, edukasi agama pun menjadi kabur dan terkesan kurang mengakomodir realitas yang terjadi.
Selanjutnya, Sawdah menyampaikan bahwa buku ‘Muslimah yang Kami Ketahui’ berupaya menawarkan solusi terhadap problematika di atas dengan menganalisa potret perempuan muslimah generasi awal, utamanya shahabiyah, guna membantu memahami nash agama sesuai konteks turunnya nash tersebut. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Mbak Dzur di muka, “Di dalam buku ini, teman-teman dapat membaca beberapa potret shahabiyah yang dimunculkan, yang mungkin nama-namanya masih jarang terdengar di telinga kita, untuk meng-counter apa yang tidak seharusnya menjadi pemahaman masyarakat.”
Selanjutnya, Tanzila Feby Nur Aini, Lc, panelis kedua, membawa pembahasan perempuan dalam ranah privat. Dirinya memaparkan bahwa Islam hadir untuk memanusiakan kembali perempuan, setelah sebelumnya dianggap seperti barang yang bisa dimiliki dan dipergunakan semaunya. Menyoal kemanusian, Tanzila memandang bahwa medan pertama untuk mengamalkan praktek kemanusian adalah dalam tataran rumah tangga. Sebab, relasi antara kedua orang tua menjadi hal pertama yang dilihat seorang anak. “Maka dari itu, penting kiranya menjaga supaya relasi suami-istri tetap sehat,” tegas Tanzila.
Di titik ini, dengan membawa beberapa dalil penguat, Tanzila menjelaskan tentang lima pilar penyangga kehidupan rumah tangga yang mencakup komitmen, kesalingan, muasyaroh bi-lima’ruf, musyawarah, dan kerelaan. Tak lupa, ia juga turut memberikan potret kisah rumah tangga muslim generasi awal sebagai bagian dalam pemaparan.
Membicarakan ranah domestik perempuan tidak akan lengkap tanpa menyinggung peran perempuan di ranah publik. Hilmi Sirajul Fuadi sebagai panelis terakhir membuka perbincangan dengan sejarah kelam perempuan di peradaban besar masa lalu, seperti Romawi, Yunani, Cina, India, Barat, hingga bangsa Arab primordial.
Perempuan di mata mereka saat itu tidak pernah mempunyai hak untuk terlibat dalam hal apa pun. Dalam kasus ekstrim, perempuan bahkan dianggap sebagai hal hina atau sumber penderitaan yang terjadi selama berabad-abad. Gaungan feminisme gelombang pertama baru muncul pada tahun 1792 melalui buku A Vindication of Rights of Woman milik Marry Wollstencraft yang digadang sebagai ibu fenimisme.
Namun, Hilmi atau yang akrab disapa Gus Ahil mengingatkan bahwa sebenarnya sejak datang di Jazirah Arab pada abad ke-7, Islam membawa perempuan ke posisi yang setara dengan laki-laki secara konseptual. Gus Ahil juga banyak memberikan potret shahabiyah yang aktif dalam ranah sosial, intelektual, politik, bahkan tak jarang ayat al-Quran turun sebagai respon atas aduan beberapa perempuan.
Selanjutnya, Gus Ahil berbicara mengenai konsep wanita karir. Mengutip dari Syekh Ramadhan al-Buthi, Gus Ahil menjelaskan bahwa di Barat, perempuan dewasa mempunyai kewajiban untuk menghidupi dirinya sendiri. Namun, dalam Islam, ketika seorang perempuan menikah, kewajiban itu berpindah ke pundak laki-laki. Perempuan tidak lagi mempunyai kewajiban untuk bekerja, tapi bukan berarti perempuan kehilangan hak untuk tetap memilih bekerja.
Ulasan ketiga panelis itu ditutup dengan pemaparan Cak Sewu sebagai pembicara utama sekaligus melengkapi apa yang sudah dibahas terlebih dahulu.
Dalam pemaparannya, Cak Sewu juga merefleksikan perjalanan Revolusi NU perihal intelektual perempuan. Cak Sewu menyebutkan, untuk sampai pada titik ini, di mana perempuan diberi bahkan membuat panggung sendiri, NU—utamanya Mbah Hasyim banyak mengalami rintangan. Saat awal mula mendirikan Muslimat yang salah satu programnya adalah mengajarkan baca tulis pada perempuan. Mbah Hasyim mendapat banyak sekali cercaan. Bahkan salah satunya datang dari ulama asal Pasuruan, ia menyebutkan bahwa dengan program itu NU sudah keluar dari rel syariat. Lebih dari itu, secara ekstrim menyebut bahwa NU sudah membuat syariat baru.
Materi yang dibahas dalam bincang santai ini benar-benar berhasil menarik perhatian audiens. Terbukti setelah istirahat shalat maghrib, sekitar lima puluh peserta yang hadir berebut mendapat kesempatan bertanya. Tak heran, Rais Syuriah PCINU Mesir mengharapkan acara semacam ini harus lebih sering diadakan, “Karena apa yang kita baca, bila tidak kita bincangkan; satu, tidak melekat; dua, tidak bertambah,” begitu tutur beliau yang akrab disapa Pak Mukhlason.
Dalam sesi wawancara, Gus Ahil mengungkapkan harapannya agar buku ‘Muslimah yang Kami Ketahui’ turut mewarnai perbincangan mengenai perempuan, khususnya dari sudut pandang keislaman. “Terkait segmentasi, apakah ini khusus untuk Masisir? Tentu saja enggak. Justru, harapannya ini, tuh, dijual di Indonesia. Tapi, karena satu dan lain hal kita tunda dulu dan kita luncurkan dulu secara lokal di sini, baru nanti kita kejar ke Indonesia,” tutup Gus Ahil yang juga merupakan ketua GP Ansor Mesir itu.
Pewarta: Tafri Itsbatul Hukmi, Redaktur Buletin Bedug PCINU Mesir