Beribadah tidak melulu akan menuai pahala. Namun, beribadah terkadang berujung “dosa” pada satu sisi karena terlalu berlebihan. Perilaku berlebihan ini tersirat dalam kisah tiga orang sahabat yang datang menemui istri-istri Nabi untuk mengetahui cara Nabi beribadah. Nahas, setelah mereka mengetahui ibadah Nabi, mereka berasumsi bahwa Nabi sudah diampuni dosa-dosanya, sehingga layak bagi Nabi beribadah tidak terlalu berat. Dengan demikian, masing-masing dari mereka ada yang berkeinginan untuk senantiasa berpuasa, tidak tidur malam, dan ada yang tidak ingin menikahi perempuan.
Sikap tiga sahabat tersebut mendapat teguran tegas dari Nabi, sehingga beliau bersabda, “Demi Allah! Saya lebih takut dan bertakwa kepada Allah daripada kalian. Siapa yang tidak suka pada sunahku, maka mereka tidak termasuk golonganku.” Perilaku berlebihan dalam menjalani agama ini secara tidak langsung menegasikan esensi ajaran agama itu sendiri, yaitu kemudahan.
Menurut Abd al-Raqib terdapat dua alasan yang melatarbelakangi larangan Nabi tersebut. Pertama, mereka tidak akan menyeimbangkan antara dimensi rohani dan jasmani, sehingga cenderung menelantarkan hak salah satu dari keduanya. Kedua, mereka bertendensi akan menelantarkan hak orang lain yang masih berada di bawah tanggung jawabnya. Dengan dua alasan tersebut, beribadah yang berlebihan dapat berujung pada keharaman.
Hampir seirama dengan paradigma hukum al-Raqib, Imam Akbar al-Azhar menegaskan bahwa ibadah apa pun yang masih berkenaan dengan orang lain (baca: awam) tidak boleh diperberat sekalipun itu shalat. Sebagaimana Muadz bin Jabal pernah ditegur oleh Nabi karena mengimami salat isya’ dengan membaca surah al-Baqarah pada rakaat pertama. Sudah barang tentu bacaan surah itu akan memakan waktu sekitar satu jam lebih. Akibatnya, terdapat seorang makmum laki-laki yang meninggalkan salat berjamaah dengannya (mufaroqoh), kemudian ia mendirikan salatnya sendiri.
Sikap Nabi ketika menegur Muadz menyertakan saran untuk membaca surah al-Quran yang pendek, seperti al-Dhuha, al-Lail dan lain semacamnya. Bila ditinjau dari kacamata fikih, sikap seorang makmum di atas dapat dibenarkan dan tidak termasuk dalam kategori perilaku arbitrer dalam salat yang dapat dihukumi makruh. Tersebab, meringankan salat adalah salah satu perintah Nabi untuk mempermudah orang awam. Hal ini dilatarbelakangi atas beraneka ragamanya keadaan seorang makmum, seperti pekerja harian, lansia, dan orang-orang yang berpotensi merasakan kepayahan lainnya.
Tidak berlebihan jika Imam Akbar al-Azhar memberikan sikap bahwa seorang imam yang memperlama salatnya termasuk dari “kemaksiatan”, sehingga tidak harus untuk diikuti atau bermakmum dengannya. Tendensi Imam Akbar atas sikap tersebut berangkat dari anjuran hukum syariat itu sendiri, yaitu kemudahan untuk orang awam. Ungkapan awam__orang yang berada pada taraf taklid dan wajib mengikuti ulamanya__di sini, Saya ekspresikan sebagai masyarakat umum yang tidak terbiasa dengan salat yang lama.
Tidak sedikit ulama yang berusaha untuk mempermudah orang awam dalam berinteraksi dengan hukum, baik berkaitan dengan ibadah murni, sosial, adat, dan lain sebagainya. Ibn Abd al-Bar dan Muhammad bin Yahya sepakat bahwa hukum yang tidak sampai pada taraf salah yang jelas dan nyata (khata’ bayyin) tetap boleh untuk diimpelementasikan, dengan catatan terdapat seorang ulama yang memperbolehkannya. Tersebab, poros dari tujuan para ulama akan bermuara pada kemudahan, hanya standardisasi mereka saja yang berbeda terhadap kemudahan itu sendiri.
Kendati kemudahan (al-taysir) itu ditekankan dan menjadi esensi hukum Islam, tetapi kemudahan yang dimaksud di sini tidak berarti mengentengkan (al-tasahul). Terdapat perbedaan signifikan dari dua eksistensi tersebut; Pertama, kemudahan berarti memperbolehkan suatu persoalan (qodliyah) dan berdasarkan dalil atau alasan yang ditetapkan oleh salah seorang ulama. Kedua, mengentengkan berarti memperbolehkan suatu persoalan dengan sembrono (taqshir) dan tidak pernah tahu dalil atau alasan dari sesuatu hukum tersebut.
Dengan demikian, terdapat standardisasi seorang ulama yang sah untuk dijadikan sandaran, sehingga penetapan hukumnya dapat diterapkan. Standardisasi itu ialah balig dan berakal, adil atau tidak fasik, paham atas karakter dari tujuan ucapan (fiqh al-nafs), paham al-Quran dan yang mengitarinya, paham hadis dan yang mengitarinya, mengetahui masil al-ijma’, mengetahui ushul fikih, dan mengetahui Bahasa Arab.
Begitu pula dengan kemudahan, terdapat standardisasi yang harus terpenuhi supaya tidak sama dengan perilaku mengentengkan. Standardisasi tersebut berupa tidak ada pertentangan dengan al-Quran dan hadis serta hal-hal yang mengitari keduanya. Terdapat maqosid al-Syariah yang dituju, menilik dampak tersirat atas adanya hukum itu sendiri (al-nadzru fi al-maalat), menyesuaikan dengan keadaan seorang mukalaf, serta menakar maslahat dan mafsadat.
Adanya standardisasi di muka, bertujuan untuk memberikan pengawasan dan penjagaan atas hukum Islam agar tetap berada dalam relnya. Sekalipun memudahkan suatu hukum menjadi prioritas, tetapi tidak serta-merta menutup mata atas kredibilitas pengesahan hukum itu sendiri. Pada tahap berikutnya, seseorang harus berhati-hati dalam mengerjakan suatu kemudahan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Kendati kemudahan di sini menekan untuk direalisasikan, tetapi perilaku memberatkan diri sendiri dalam beribadah tidak menjadi masalah di kala tidak ada illat hukum yang menjadi keharaman. Sebagaimana Nabi yang dikomentari oleh Sayyidah Aisyah saat beribadah hingga bengkak kedua kakinya. Kemudian, Nabi menjawab komentar tersebut, “Bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?” Hal itu mengindikasikan bahwa Nabi sangat gemar untuk beribadah dalam merepresentasikan kehambaannya, terutama ibadah salat malam.
Nabi selaku qudwah hasanah dengan ibadahnya yang sedemikian rupa, tidak sampai menelantarkan hak-hak orang lain yang melekat pada dirinya dan hak atas dirinya sendiri. Maka dari itu, melihat sekala prioritas dan kemampuan diri sendiri dalam melakukan sesuatu sangat diperhatikan dalam hukum Islam. Semua hal positif, termasuk ibadah sekalipun akan berujung negatif manakala tidak dibersamai dengan mengetahui kondisi dan status yang dihadapi. Dengan demikian, sangat disayangkan jika hak Allah yang dilakukan seolah menjadi sumbu masalah atas terlantarnya kewajiban-kewajiban lainnya. Tabik!
Penulis : Saiful Rijal
Editor : Raja Amar Jayakarta