Pasca ujian akhir tahun ajaran 2020-2021 universitas al-Azhar, kelompok kajian Said Aqil Siradj Center (SASC) kembali melanjutkan program kajian regulernya dengan grand tema “Orientalisme”, pada tanggal 9 Agustus 2021 di Sekretariat SASC. Sementara itu, judul pembahasan yang dibawakan ialah “Ibnu Khaldun dan Barat; Harmonisasi Pandangan Barat Terhadap Ibnu Khaldun dan Karya-Karyanya” dengan sdr. Abdul Muntholib selaku pemakalah kajian.
Pemilihan judul yang dibawakan oleh penulis bukan tanpa alasan. Abdul Munthlib dalam makalahnya mengatakan bahwa ia memilih Ibnu Khaldun sebagai objek kajiannya dikarenakan kemasyhurannya—dalam bidang keilmuan khususnya—di berbagai belahan dunia. Bahkan kemasyhuran Ibnu Khaldun bisa dilihat dari penerjemahan karyanya ke bahasa asing, semisal penerjemahan karya “Muqaddimah Ibni Khaldûn” yang dilakukan oleh Issac Sylvestre de Sacy.
Namun ternyata, kemasyhuran yang akhirnya bersinggungan dengan para orientalis tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri. Mereka menghawatirkan bahwa Ibnu Khaldun dan karyanya akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan Barat. Sehingga pada titik ini, sebagian orientalis mencoba merancukan biografi dan karyanya sebagai bentuk perlawanan. Maka dari problematika di atas, pemakalah terdorong untuk menuliskan pergulatan Barat terhadap Ibnu Khaldun beserta karya-karyanya; sebagai objek kajian.
Pada sub judul pertama Abdul Muntholib memaparkan histori Ibnu Khaldun sebagai landasan awal sebelum menganalisis objek kajian. Kemudian dalam sub judul kedua, pemakalah membahas Ibnu Khaldun dan Barat dalam sudut pandang sejarah. Terakhir pembahasan pokok, penulis memaparkan harmonisasi pandangan Barat terhadap Ibnu Khaldun. Dalam pembahasan pokok tersebut Abdul Muntholib berusaha menerangkan persepsi Barat terhadap Ibnu Khaldun dengan tiga bagian permasalahan. Pertama, orisinalitas nasab Ibnu Khaldun dan keterikatan dengan lingkungannya. Kedua, Ibnu Khaldun di antara klaim sekuler dan fanatik. Ketiga, Ibnu Khaldun dan kitab Muqaddimahnya dalam pandangan Barat.
Namun meskipun Abdul Muntholib telah memaparkan makalahnya dengan rapi dan apik, ia pun tidak luput dari kritik peserta kajian, terutama pada sub judul yang terakhir. Hal ini dikarenakan pemakalah kurang menjelaskan makna dari kata “harmonisasi” dalam makalah tersebut, sehingga muncul ketidakpuasan dari peserta; baik dari segi linguistik maupun metodologi ilmiah.
Dalam penjelasannya, penulis mengatakan bahwa “harmonisasi” yang dimaksud adalah melihat Ibnu Khaldun sebagai objek kajian dalam pandangan barat ataupun yang terpengaruh oleh pemikirannya. Akan tetapi, menurut Nizam Noor Hadi, makna tersebut justru mempersempit makna dari harmonisasi tersebut. Kemudian yang menjadi sorotan dalam kritik makalah juga yaitu, metode komparatif yang dipaparkan penulis. Metode komparatif yang dibawakan oleh Abdul Muntholib dirasa kurang menyeluruh. Hal ini tentunya tidak lepas dari pemaparan pemakalah yang menyebutkan dua kutub persepsi Barat namun kurang memaparkan keharmonisan persepsi Barat itu sendiri.
Hemat pendapat dari Alfarobi, dalam penulisan makalah komparatif, untuk menemukan harmonisasi tersebut perlunya pembacaan yang lebih menyeluruh dan utuh terhadap teks Muqaddimah. Selanjutnya, setelah sesi komentar dan tanggapan, kajian reguler yang bertepatan dengan awal tahun baru Hijriah ini diakhiri dengan makan bersama. (Rakib)