Olahraga sepakbola menjadi salah satu olahraga yang memiliki peminat paling banyak di dunia. Sedangkan, kejuaraan tertinggi dalam persepakbolaan dunia adalah piala dunia. Piala dunia menjadi ajang yang sangat prestisius bagi kalangan pecinta bola, negara yang memenangkan piala dunia akan memiliki daya tawar yang sangat tinggi dalam kancah internasional. Oleh karenanya piala dunia selalu menjadi tontonan yang sangat menarik bagi masyarakat antar bangsa. Semangat patriotisme, nasionalisme dan cinta tanah air akan bergemuruh di setiap sudut stadion, rumah dan pos ronda selama perhelatan piala dunia.
Pada tahun ini, piala dunia 2022 diselenggarakan di Qatar. Qatar sendiri merupakan negara kedua di benua Asia yang menghelat piala dunia setelah piala dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan. Qatar juga menjadi negara Timur Tengah pertama sekaligus negara Islam pertama yang menyelenggarakan piala dunia. Dengan mayoritas penduduknya beragama Islam dan pemberlakuan syariat Islam yang ketat, Qatar menjadi keunikan tersendiri dalam sejarah piala dunia. Sebelum piala dunia 2022 agenda empat tahunan ini selalu diselenggarakan di negara-negara non Islam.
Semenjak diselenggarakan pertama kali pada tahun 1930 piala dunia selalu mampu menarik animo dan perhatian masyarakat global begitu besar, euforia yang tinggi, iklan di mana-mana, perbincangan tentang negara jagoan, bahkan jumlah bandar-bandar bola meningkat dua kali lipat ketika perhelatan piala dunia. Namun, pada perhelatan piala dunia tahun ini semua hal tersebut kurang terasa.
Berbagai faktor menyelimuti piala dunia 2022 di Qatar sehingga perhelatannya terasa sepi, menurut para pengamat salah satu faktornya adalah anak muda zaman sekarang yang sudah tidak memiliki ketertarikan lagi terhadap olahraga sepakbola, mereka lebih senang dengan game online dalam gadget mereka masing-masing. Hal itu mulai terasa ketika perhelatan piala dunia 2018 di Rusia, animo dan antusias anak mudanya tidak sebesar pada perhelatan piala dunia sebelumnya di Brazil dan di Afrika selatan. Sehingga mayoritas yang meramaikan dan memeriahkan piala dunia 2018 banyak dari generasi milenial dan baby boomer.
Berbeda kondisinya pada perhelatan piala dunia 2022 kali ini, selain tingkat ketertarikan anak mudanya pada sepakbola yang rendah, status negara Qatar yang merupakan negara Islam dengan pemberlakuan syariat yang ketat juga menjadi faktor piala dunia 2022 di Qatar lebih terasa sepi lagi. Berbagai kanal pemberitaan menyebutkan bahwa perhelatan piala dunia 2022 di Qatar akan terasa lebih sepi daripada piala dunia sebelumnya karena adanya pelarangan minuman alkohol dan ONS (One Night Stand) atau hubungan sex satu malam. Ditambah lagi dengan pelarangan segala atribut LGBTQ selama terselenggaranya piala dunia 2022 oleh asosiasi sepakbola Qatar. Isu HAM yang bergema dan mengarah kepada pemerintah Qatar juga menambah rentetan faktor penyebab piala dunia 2022 terasa sepi. Kabarnya, pemerintah Qatar banyak memenjarakan pelaku gay, lesbian dan homoseksual lainnya.
Pelbagai hal yang disebutkan tadi, bagi umat muslim adalah hal yang benar dan patut dirayakan. Di berbagai media sosial terlihat umat muslim dengan bangga memperlihatkan bagaimana atribut-atribut agamanya menjadi bagian dari perhelatan piala dunia. Akan tetapi, hal tersebut tidak disukai oleh suporter negara-negara benua Eropa dan Amerika, meminum alkohol selama pertandingan sudah menjadi tradisi yang turun menurun dilakukan. Atau bagi para pegiat HAM dan LGBT sangat menjengkelkan mendengar peraturan-peraturan yang mendiskriminasi mereka pada perhelatan piala dunia 2022. Akibatnya, banyak protes yang dilayangkan kepada pemerintah Qatar oleh suporter negara-negara benua Eropa dan Amerika. Bahkan seruan boikot terhadap Qatar sudah bergulir sebelum pembukaan piala dunia 2022 pada 20 November kemarin.
Dari segala permasalahan yang menyelimuti piala dunia di Qatar, terlihat agama seolah-olah menjadi faktor penghalang atau tembok yang tinggi bagi suksesnya terselenggaranya piala dunia 2022. Seolah-olah Islam menjadi batu sandungan bagi Qatar untuk meningkatkan daya tawar negaranya kepada turis mancanegara. Seakan-akan Islam membuat negara Qatar menjadi tidak ramah kepada para suporter negara lain yang memiliki keyakinan berbeda.
Posisi agama dalam ranah publik belum menemukan posisi idealnya. Fakta bahwa piala dunia 2022 menjadi sepi ketika agama mengambil peran lebih besar dalam kebijakan publik, adalah bukti bahwa agama belum mampu beradaptasi terhadap sistem sosial yang berlaku. Akan tetapi, membiarkan situasi di mana agama tetap disingkirkan dari ranah publik dan dikesampingkan ke ranah privat juga tidak memberikan solusi untuk masa depan yang cerah bagi manusia.
Setelah abad pertengahan, agama hanya diminta legitimasinya terhadap skenario penyelamatan sejauh mendukung, sementara untuk dimensi yang tidak mendukung ia akan disingkirkan. Masih banyak yang skeptis bahwa jika agama masuk ke ruang publik, seolah sudah pasti akan mengulang situasi di abad pertengahan Eropa di mana agama memperkuat kekuasaan untuk penindasan kemanusiaan dan menjauhkan umatnya dari kesejahteraan. Fakta bahwa doktrin agama yang terbangun dalam sistem sosial paguyuban (gemeinschaft) masih belum banyak disadari oleh umat beragama sendiri. Misalnya, bagi mereka yang secara mapan memegang agama sebagai jalan keluar secara eksklusif, akan kesulitan menerobos doktrin kesetaraan mutlak dan universal bagi semua manusia.
Untuk kemudian menjadikan agama sebagai penjebol batas eksklusivisme, harus mengubah paradigma dari dalam beragama itu sendiri. Umat beragama harus sadar bahwa sistem sosial sekarang sudah berubah dari paguyuban (gemeinschaft) ke patembayan (gesselchaft) atau negara bangsa. Sehingga sudah tidak relevan lagi memaksakan doktrin agama paguyuban ke dalam sistem sosial baru tersebut, misalnya mengadopsi eksklusivisme agama ke dalam sistem negara bangsa. Namun juga bukan berarti pasrah pada sistem yang diskenariokan oleh sekularisme dan bertahan di ruang privat.
Meski Para pemikir terkemuka, seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Freudm berpendapat bahwa pengaruh agama secara bertahap akan memudar seiring dengan gelombang sekularisasi akibat masifnya rasionalisasi, birokratisasi, dan urbanisasi, setidaknya sampai awal abad ke-21 ini Islam masih eksis memberi pengaruh bagi kehidupan sosial. Studi yang dilakukan oleh Omelicheva dari Departemen Ilmu Politik Universitas Kansas berargumen bahwa sebagai sebuah sistem kepercayaan, Islam (baca agama) memanifestasikan dirinya melalui wacana-wacana, yang tidak hanya memberikan kejelasan pada praktik-praktik keagamaan dan kepercayaan, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kontrol dan regulasi sosial.
Islam sebagai instrumen kontrol dan regulasi sosial juga harus memiliki semangat kesetaraan yang menjadi ruh model tatanan dunia saat ini. Umat beragama harus bisa beradaptasi terhadap sistem negara bangsa sehingga ketika agama mengambil peran dalam ranah publik tidak serta merta menjadi anti-tesis terhadap tatanan yang sudah mapan.
Penulis: Kisthosil Fachim (Mahasiswa Tingkat 3 Fakultas Syariah Islamiah Universitas Al-Azhar, aktif di Lakpesdam PCINU Mesir)