Oleh: Alfan Khumaidi, Lc.*
Sahabat adalah siapapun mereka yang bertemu Rasulullah dalam keadaan beriman, baik ikut ambil bagian dalam jejer pandita maupun tidak. Kedudukan Sahabat terlampau agung dibandingkan generasi setelahnya. Rasul Saw. mengatakan bahwa para sahabatnya seperti nabi-nabi Bani Israil. Keberadaannya menjadi pelita dan bintang sebagai petunjuk oleh generasi selanjutnya. Mereka menyaksikan turunnya wahyu, kapan, di mana dan untuk apa dan siapa wahyu turun. Oleh karenanya, mereka orang-orang terdekat yang mampu memahami apa yang dikandung tiap nash yang turun.
Mereka begitu harmonis dan syahdu. Saling asih dan asuh satu sama lain. Asyik masyuk menjadi oksigen yang menghidupi mereka. Juga betapa Rasul Saw. mencintai mereka. Begitu asihnya Rasul Saw. pada para sahabatnya sampai beliau menahan lapar, hingga ashhâbu as-suffah (santri serambi masjid Rasul) menjadi tanda bahwa Rasul sedang tidak memiliki barang sebiji gandumpun untuk dimakan. Sebab kalau ada yang bisa dimakan di ndalem maka orang pertama yang memakannya adalah para santri di serambi masjid beliau itu, kalau mereka sampai kelaparan bertanda Rasul lebih dari itu!
Keharmonisan para sahabat mulai surup saat Rasul Saw. mangkat kersaneng Gusti. Di era setelah kekhalifahan Umar bin Khathab, terjadi fitnah besar yang mengepung rumah khalifah Utsman bin Affan hingga berakhir terbunuhnya menantu Nabi tersebut, sampai terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Saw. yang juga khalifah setelah Utsman. Pasca fitnah besar meletus, antar sahabat tidak lagi harmonis. Ada gap tebal yang terus dipertebal, mulai dari ideologi sampai politik!
Dulu di zaman para sahabat tidak ada taradhdhi (ucapan radhiyaallhu ‘anh) satu sama lain, sebab kedudukan mereka sama. Kedudukan shuhbah yang sekian tingkat di atas puncak para wali. Setinggi apapun kedudukan wali, paribasan sundul langit pun tidak akan mampu sejajar dengan level sahabat. Hingga fitnah kian besar dan dirawat dengan berbagai kepentingan, ulama merasa perlu mengucapkan taradhdhi pada para sahabat kala menyebut nama mereka. Saat melangitkan selawat dan salam, yang tadinya hanya hanya terbatas pada Rasulullah dan keluarganya, kini selawat juga ditujukan kepada para sahabat yang bening itu. Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ muhammad wa ‘alâ âlihi washahbihî ajma’în.
Di Mesir, paruh awal abad kedua hijriyah, masyarakat Mesir tidak menyukai tradisi menghujat para Sahabat yang biasa dilakukan beberapa kelompok Islam saat itu, seperti yang dilakukan kelompok Syi’ah kepada Sayyidina Utsman bin Affan. Sebagaimana juga cacian dan hinaan dialamatkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib oleh mimbar-mimbar Dinasti Umayyah, yang pada akhirnya dihentikan oleh Khalifah Umar bin Abdel Aziz. Di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad (W. 175 H), tokoh puncak keilmuan Mesir di zamannya, mujtahid pemilik mazhab fikih yang oleh Imam Syafi’i dikatakan beliau lebih fakih daripada Imam Malik dan juga menjadi salah satu guru bagi Imam Bukhari sehingga riwayatnya tidak sedikit di dalam kitab paling sahih setelah al-Qur’an tersebut; lalu Imam Laits bin Sa’ad menceritakan keutamaan-keutamaan Sayyidina Utsman hingga mereka bungkam dan berbalik menghormati.
Di Homs, salah satu kota Syiria, masyarakatnya tidak suka sampai taraf mencaci Sayidina Ali bin Abi Thalib hingga datanglah Ismail bin Iyasy lalu ia menceriterakan keutamaan-keutamaan ayah Hasan dan Husen itu hingga mereka bungkam dan berbalik menghormati.
Di Kufah lebih parah, di zaman Imam Abu Hanifah (W. 150 H) tidak sedikit orang-orang yang membenci dan mencaci menantu Rasulullah, Utsman bin Affan, yang memperistri dua putri Rasulullah hingga dijuluki dzunnurain (pemilik dua permata), seseorang yang malaikat saja malu padanya. Salah seorang di antaranya hingga menganggapnya bukan orang muslim. Ia (sebut saja Polan) meyakini bahwa Utsman orang Yahudi. Keyakinan yang dipegang teguh sejak lama. Tidak ada satu orang pun yang mampu memberikan jawaban yang memuaskan padanya bahwa Utsman bukan Yahudi. Datanglah Imam Abu Hanifah, puncak keilmuan madrasah ahlu ra’yi Baghdad yang kecerdasannya melebihi akalnya. Dia datang ke rumah Polan dengan maksud melamar putrinya untuk orang lain.
“Saya datang untuk melamar putri anda, untuk laki-laki yang mulia, hafal kitab Allah, jutawan nan dermawan”
“O, tuan, meski tidak sebegitu sempurna pun saya mau”
“Hanya saja ada satu masalah”
“Apa itu”
“Dia Yahudi!”
Tiba-tiba muka Polan berubah. Ia merasa dipermainkan sama Imam Abu Hanifah.
“Subhanallah! Kamu memerintahkan aku menikahkan putriku dengan seorang Yahudi?!”
“Kenapa tidak mau, Rasulullah saja menikahkan dua putrinya dengan Yahudi!” Maksudnya Utsman bin Affan.
Ia pun tersadar bahwa tidak mungkin menuduh Rasulullah seceroboh itu menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi, iapun kemudian bertaubat dari apa yang ia yakini sebelumnya.
Sahabat, betapapun agung nan luhur kedudukan mereka, mereka tetaplah manusia. Ada kekeliruan, kesalahan, kemaksiatan baik kecil maupun besar. Mereka, kata guru kami sebagaimana saya dengar saat bersimpuh di bawah kaki Syekh Abdullah Izzuddin, adalah kambing yang dikorbankan (kabsyul fida’) untuk umat Islam guna sebagai praktek terapan hukum yang dibawa oleh syariat. Mereka faham apa yang mereka lakukan, hanya saja, seolah, kesadaran mereka diangkat sejenak untuk melakukan hal yang keliru dalam kaca mata syariat. Sampai Imam Nawawi (676 H) berkata, “Jika tiada perang antara Ali dan Muawiyah, niscaya kita tidak akan tahu apa hukumnya bughât (pemberontak),”
Kemelut perang saudara antara Ali dan Muawiyah dampaknya masih terasa sampai sekarang. Dari pecah perang tersebut umat Islam menjadi terkelompok dalam beberapa ruang. Kendati demikian ditemukan banyak ulama yang enggan membicarakannya, mengambil jalan aman hingga muncul kaidah “wamâ jarâ baina as shahâbati naskutu: apa yang terjadi di antara sahabat kami enggan membicarakannya”; mereka abstain dalam bersikap tentang yang terjadi antar sahabat, terlebih mengomentari personalnya![]
_________
*Mahasiswa pasca sarjana dan menjadi Wakil Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir saat ini.